Jurnalisme Tukang Rekam

Rabu, 19 September 2018 | 20:32 WIB
0
686
Jurnalisme Tukang Rekam

Saya ingat kejadian beberapa tahun lalu. Ada seorang tukang las di Bali yang mengaku menjadi “Iron Man”. Ia mengaku telah menciptakan alat penggerak lengannya yang lumpuh. Alat itu dikendalikan dengan gelombang otak. Hebatnya lagi, alat-alat itu ia buat dengan memakai bahan-bahan atau komponen yang ia kumpulkan dari rongsokan

Saya menonton video rekaman siaran sebuah TV lokal di Bali. Pembawa berita maupun reporternya mengabarkan persis seperti isi klaim Tawan, si tukang las itu. Tidak ada nada skeptis. Mereka, para jurnalis itu, percaya bahwa alat itu benar bisa bekerja.

Belakangan baru berkembang kecurigaan soal kebenaran klaim itu. Tapi lucunya, tidak ada wartawan yang mampu memastikan kebenarannya. Yang bisa dilakukan oleh wartawan hanyalah mewawancarai orang-orang, yang konyolnya, tidak melihat langsung alat buatan Tawan tadi. Waktu itu saya sampai jengkel dan menegur kawan saya wartawan BBC, karena pola beritanya seperti itu juga.

Wartawan kita sekarang banyak yang hanya berperan sebagai tukang rekam. Ada tokoh A yang mengatakan sekarang sedang turun hujan. Wartawan memberitakannya dengan judul: Sekarang Sedang Turun Hujan. Lalu, kabar itu dibantah oleh tokoh B. Lalu wartawan menulis lagi, Sekarang Tidak Sedang Turun Hujan. Wartawan merasa sudah memberitakan fakta, dengan prinsip cover both sides.

Padahal bukan itu tugas wartawan. Kalau ada sumber informasi yang mengatakan hujan sedang turun, tugas wartawan bukan mewawancarai tokoh lain untuk mengkomfirmasi, tapi ia harus pergi ke luar, untuk melihat apakah sedang hujan atau tidak. Ia harus menulis berita berdasar hal itu.

Ketika Prabowo mengklaim biaya pembangunan LRT, misalnya, sejauh berita yang saya baca tidak ada wartawan yang mampu menyajikan data yang ia gali sendiri dari riset. Mereka hanya memberitakan omongan berbagai pihak.

Bahkan sekarang berkembang pola yang lebih parah. Wartawan mengutip informasi di media sosial tanpa melakukan pemeriksaan. Anies Baswedang memajang fotonya sedang bersalaman dengan Presiden Turki Erdogan, lalu media memberitakan Erdogan menerima kunjungan Anies. Padahal Anies cuma mencegat Erdogan yang hendak salat Jumat.

Ada dokter bernama Taruna Ikrar yang mengaku dicalonkam sebagai penerima Hadiah Nobel, media-media memberitakannya. TV One menayangkan profil Taruna, lengkap dengan pernyataan bahwa dia dicalonkan.

Kelak, justru warganet yang melakukan penyelidikan, dan didapatkan pernyataan dari University California bahwa pencalonan itu bohong. Lalu apa yang dilakukan media? Mereka memberitakan, berdasar hasil penyelidikan warganet tadi.

Ceritanya belum selesai. Taruna kemudian “meluruskan” informasi, bahwa dia tidak pernah mengaku dicalonkan sebagai penerima Hadiah Nobel. Itu wartawan salah interpretasi, katanya. Konyolnya, media memuat bantahan itu. Tempo dan Kompas memuatnya.

Saya kontak teman-teman saya wartawan senior di kedua media itu, berharap berita itu dikoreksi. Tapi tidak ada koreksi. Akhirnya saya hanya bisa menarik nafas dalam-dalam. Pekoooooooook!

Masih banyak lagi contoh lain.

Wartawan hanya berperan sebagai tukang rekam, lalu menyebarkannya. Media kita berisi sampah belaka.

***