Setiap zaman menghasilkan tokoh-tokoh mahasiswa. Mereka dengan tenaga dan semangat muda berteriak, mengoreksi berbagai kesalahan penguasa, nyaris tanpa rasa takut. Banyak yang masuk penjara atau jadi korban aksi kekerasan. Tapi sering pula ceritanya berbelok dramatis ketika mereka beranjak tua.
Dulu banyak mahasiswa yang melawan Soekarno. Kita mengenal nama-nama seperti Cosmas Batubara, Sofjan Wanandi, Abdul Gafur, Arif Budiman, Soe Hok Gie, dan sebagainya. Ramai-ramai mereka menumbangkan Soekarno dan melawan PKI. Lalu, sesudah itu, tidak sedikit yang kemudia menjadi elit pemerintahan, dan lupa pada yang dulu mereka perjuangkan. Sejumlah nama yang saya sebut di atas adalah elit Orde Baru, kecuali 2 nama terakhir.
Pada generasi saya, di tahun 90-an ada nama-nama seperti Fadjroel Rachman, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Andi Arief, Denny Indrayana, Nirwan Arsuka, Fadli Zon, Fachri Hamzah, Budiman Sujatmiko, dan sebagainya.
Cerita seperti waktu Orde Baru berulang. Setelah berhasil menumbangkan Orde Baru, sebagian dari mereka menjadi elit dalam pemerintahan. Hanya saja, kalau dinilai dari tingkatannya, kebanyakan hanya sanggup jadi elit kelas 2, berbeda dengan generasi Akbar Tanjung dan kawan-kawan.
Denny Indrayana yang dulu sangat kritis, kita kenal jadi corong SBY ketika masuk ke pemerintahan. Kemudian dia menghilang dari peredaran. Fadjroel jadi anak manis setelah jadi komisaris BUMN. Jumhur sempat menikmati posisi sebagai Kepala BNP2TKI. Budiman Sujatmiko, masuk PDIP.
Hanya Nirwan Arsuka yang menjauh dari keramaian politik. Dia bergerilya untuk kegiatan literasi.
Para mahasiswa itu pada dasarnya adalah politikus. Ada yang berpolitik dengan berangkat dari kesadaran terhadap berbagai ketimpangan yang mereka saksikan. Dalam perjalanannya, sebagian dari mereka ada yang menemukan kesadaran bahwa politik bisa membuat mereka hidup enak. Lalu mereka asyik mengikuti jalan baru itu.
Ada yang sejak awal memang membidik jalan politik itu. Sejak mahasiswa mereka sudah berkolaborasi dengan politikus. Misalnya, gosip yang pernah saya dengar soal demonstrasi 5 Agustus 1989 di ITB yang dilakukan Fadjroel dan kawan-kawan adalah pesanan Soedharmono yang waktu itu gerah melihat popularitas Rudini. Demikian pula dengan Peristiwa Malari, yang kabarnya adalah gerakan yang berawal dari konflik di antara para jenderal.
Ada mahasiswa yang berpolitik beranjak dari gagasannya, dan terus begitu sampai mereka dewasa.
Saya dulu aktivis mahasiswa juga, tapi bukan tokoh. Saya sejak dulu menghindar dari hiruk pikuk politik. Kalau ada orang berorasi politik, saya hanya melihat saja. Lalu saya balik ke Gelanggang Mahasiswa, mengurus berbagai tetek bengek untuk pelaksanaan salat Jumat. Atau menyiapkan training manajemen untuk pengelola masjid-masjid kampus.
Kalau Anda lihat mahasiswa sekarang berdemo, dan sejak awal sudah tampak rapat dengan politikus, tidak usah heran. Mereka belajar dari para senior.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews