"Operation Red Sea", Saat Militer China Unjuk Gigi

Minggu, 9 September 2018 | 07:50 WIB
0
2972
"Operation Red Sea", Saat Militer China Unjuk Gigi

Salah satu cara mengisi kebosanan dalam penerbangan panjang Jakarta – Tokyo – Mexico City adalah dengan menonton film di pesawat, khususnya film-film baru (new releases) yang belum sempat ditonton. Dari beberapa film baru yang ditawarkan, salah satu film yang menarik perhatian adalah “Operation Red Sea”.

Menarik karena film tersebut bertema perang, salah satu tema film yang saya sukai, dan setahu saya film tersebut belum beredar di Jabodetabek. Dari googling diketahui bahwa “Operation Red Sea” benar-benar film baru produksi 2018 buatan China dan disutradarai oleh Dante Lam, salah satu sutradara kondang di negeri panda serta disponsori antara lain oleh Chinese People’s Liberation Army (PLA).

Film ini dibuat sebagai kado ulang tahun ke-90 dari Chinese PLA dan Kongres Nasional ke-19 Partai Komunis China. Begiti ditayangkan pada Mei 2018, film ini langsung disambut hangat masyarakat China dan menjadikannya sebagai salah satu film box office di China.

Cerita film sendiri diadaptasi dari kisah sukses pasukan khusus AL China saat membebaskan sekitar 200 warga negara China yang disandera di Yaman pada 2015, hanya saja nama negaranya diganti menjadi Yewarai.

Cerita diawali dengan adegan penyerbuan 8 orang anggota pasukan elit Angkatan Laut yang disebut Jialong (Naga Laut) ke sebuah kapal barang China yang tengah dikuasai perompak di Teluk Aden, Somalia. Dengan dukungan penuh dari kapal perang AL China dan helikopter, ke delapan anggota pasukan elit Jialong sukses melumpuhkan seluruh perompak dan mengambil alih kapal barang.

Berhasil dengan misi di perairan Somalia, Jialong kemudian mendapatkan penugasan berikutnya untuk menyelamatkan seorang Konsul China dan sejumlah warga negara China yang disandera di sebuah negeri di Timur Tengah yang bernama Yewarai. Di Yewarai sedang berlangsung perang saudara sehingga pemerintah yang sah tidak dapat mengontrol jalannya pemerintahan.

Karena tidak dapat mengontrol jalannya pemerintahan, Pemerintah Yewarai kemudian mengijinkan tentara China masuk ke dalam wilayahnya dan melakukan operasi penyelamatan. Lewat pertempuran sengit, didukung tank dan peralatan militer canggih dan bantuan tempur dari kapal laut yang berlabuh di perairan laut merah, Jialong berhasil menyelamatkan Konsul China dan sejumlah warga negara China.

Baru saja usai dengan tugas kedua, Jialong kembali mendapatkan penugasan di Yewarai. Kali ini anggota Jialong mendapat tugas untuk menyelamatkan seorang warga negara China yang disandera kelompok pemberontak di sebuah kilang minyak milik perusahaan China di Yewarai.

Kembali lewat pertempuran sengit melawan tentara pemberontak dan didukung peralatan canggih seperti drone yang bisa membawa bom, Jialong berhasil menyelamatkan warga negara China yang disandera, termasuk seorang wartawati keturunan China yang sudah menjadi warga negara Perancis.

Secara keseluruhan aksi dalam film ini sangat mengasyikan, tidak ubahnya seperti menonton film perang Hollywood “Black Hawk Down”. Sementara menyaksikan adegan duel antara snipper Jialong dan tentara pemberontak seperti melihat duel Tom Bennet dan musuhnya dalam film “Snipper”.

Lewat film bernuansa Hollywood dalam Operation Red Sea, maka era film China yang menampilkan jagoan dengan keahlian bela diri seperti kung fu telah berlalu. Film China kini diwarnai dengan sosok-sosok jagoan yang dilengkapi persenjataan modern dan tidak kalah hebatnya dengan Rambo atau pasukan elit militer seperti Navy Seal dan Green Beretnya Amerika Serikat.

Salut dengan kemampuan Dante Lam dalam membuat film perang secara cukup detail, termasuk menggunakan perangkat militer yang sesungguhnya, seperti kapal perang AL China Lingyi yang pernah terlibat dalam operasi penyelamatan sandera di teluk Aden, pantai Somalia.

Menyaksikan aksi Jialong dan penggunaan perangkat militer China dalam film ini, kita mau tidak mau akan kagum melihat kehebatan dan kedisiplinan pasukan serta kecanggihan peralatan tempur yang digunakan.

Melalui film ini kita juga melihat keseriusan China dalam melindungi warga negara dan wilayahnya. Lihat saja, hanya untuk menyelamatkan seorang warga negaranya yang disandera di suatu negara, Pemerintah China bersedia mengirimkan sebuah pasukan khusus dengan didukung armada laut yang kuat dan masuk hingga jauh ke daratan.

Meski film tersebut fiksi, tapi melihat adegan di film tersebut, saya jadi mempertanyakan jika ada seorang warga negara China yang bekerja di suatu perusahaan milik China di Indonesia disandera kelompok tertentu, apakah mereka juga akan kirim pasukan elitnya, meski tentunya harus ijin kepada Pemerintah Indonesis?

Pertanyaan saya tersebut tidak berlebihan jika melihat pengalaman AL China mengejar kapal TNI AL di Laut Natuna beberapa waktu lalu. Saat itu kapal TNI AL berhasil menangkap kapal nelayan China yang masuk wilayah Indonesia, namun kemudian dikejar kapal AL China dan dipaksa melepaskan kapal nelayan yang sudah ditangkap tersebut.

Kembali ke film “Operation Red Sea” banyak yang menilai bahwa film fiksi tersebut sebenarnya merupakan propaganda Chinese PLA untuk memperlihatkan kekuatan dan kemampuan militernya ke dunia internasional sekaligus menyampaikan pesan “Jangan main-main dengan China”.

Dugaan adanya propaganda tidak terlepas dari adanya dukungan penuh Pemerintah China melalui PLA dan institusi lainnya sehingga film ini terwujud. Dukungan PLA terlihat misalnya dari penggunaan kapal perang AL Lingyi dan peralatan militer lainnya. Selain itu, Presiden Xi Jinping konon juga sudah menonton film ini dan menyatakan kepuasannya.

Pesan propaganda juga terlihat di akhir film ketika armada AL China berparade di laut dengan pesan siap melindungi wilayah laut China. Bagi yang mengikuti isu Laut China Selatan, pasti paham bahwa laut yang dimaksud dalam bagian akhir film adalah Laut China Selatan. Jangan main-main di Laut China Selatan, kami (China) siap mengamankan dan mempertahankannya, begitu kira-kira pesan yang ingin disampaikan.

Akhirnya, menyaksikan gambaran tentang kekuatan baru China, rasanya kita tidak boleh mengabaikannya. Meski fiksi, tantangan China seperti di depan mata.

***