Blangkon Jogja Ahmad Dhani

Sabtu, 8 September 2018 | 21:54 WIB
0
1399
Blangkon Jogja Ahmad Dhani

 Baiklah saya harus menuliskannya, karena akhirnya tidak tahan juga atribut kultur yang saya hidupi dengan seksama diinjak-injak sedemikian rupa. Saya harus bilang sejak awal, bahwa apa yang dilakukan oleh Ahmad Dhani dengan menggunakan blangkon dalam aktivitas politiknya itu mengekor, mencontek, dan mencuri spirit apa yang telah puluhan tahun oleh sedulur dan sahabat saya Zastrouw Al-Ngatawi kenakan, seorang yang teduh yang selama sekian lama menjadi asisten pribadi Sang Guru Bangsa Abdurrahman Wahid.

Dulu sekali Ahmad Dani pada zamannya belum beralih istri, suka berkunjung ke kediaman Gus Dur. Bahkan saat Lebaran pun, ia langsung memprioritaskannya untuk duluan datang untuk sungkem. Dengan menggunakan blangkon ia ingin bercitra sebagai Jawa dan NU.

Tapi nampaknya itulah yang disebut pencitraan, sayangnya saat ini tersisa sedikitpun kearifan, kejembaran, atau kebijakan yang menurun pada dirinya. Atau saya malah duga sebaliknya, saking baiknya Gus Dur justru juga melahirkan sedemikian banyak brutus, tentu harus disebut satu yang lainnya adalah Gus Imin. Yang sebagai murid kinasih, justru tega menendang Gus Dur dan menjadikan PKB sebagai kendaraan politik secara "sebenarnya" sangat ilelal dan a-moral. Tindakan tidak punya malu, yang sialnya masih lestari hingga hari ini.

Lalu tahukah Dhani makna sebuah blangkon, sedikit lebih dari sekedar penutup kepala? Tampaknya ia sama sekali tidak!

Istilah blangkon berasal dari kata ‘blangko’, dipakai untuk merujuk pada sesuatu yang siap pakai. Sebab awalnya penutup kepala ini memang tidak bisa langsung dipakai begitu saja. Melainkan diikat melalui proses pembuatan simpul yang cukup rumit. Banyak postcard kuno, mengekspose bagaimana orang Jawa menggunakan kain sebelum menjadi penutup kepala. Apa yang dinamakan sebagai iket. Karena ia mengikat kepala dengan cara menutupinya.

Sebagaimana umum diketahui, dalam kultur Mataram sendiri iket blangkon terbagi mahzab Jogja dan Sala. Apa yang digunakan Dhani itu bergaya Jogja.

Nah disinilah fatalnya! Blangkon Jogja dengan ciri mondolan di belakangnya itu, hanya pantas digunakan oleh pria yang berambut panjang. Mondolan yang sering diartikan sebagai kemampuan menjaga rahasia itu, sesungguhnya sebagai pemberat agar rambut panjangnya bisa tampak lebih rapih.

Oh ya, zaman dulu para priyayi Jogja itu umumnya berambut panjang, karena secara teks ia ingin terlihat macho, maskulin, dan kalau bahasa hari ini "sangar". Kalau hari ini mungkin kira-kira seperti penampakan Cik Sri Krishna, penyanyi balad yang rambutnya panjang terurai (sayang ia memilih dirasta). Lah blangkon itu jadi jatuh harga, ketika dipakai di kepala Dhani yang gundul plontos. Cih!

Bagi saya anak ini, Ahmad Dhani memang jagonya melecehkan segala sesuatu. Suka menggunakan labelling yang kadang kurang mempertimbangkan faktor resikonya di kemudian hari. Dulu sekali saat ia menerbitkan album musiknya Kasidah Cinta, sama sekali, tanpa seijin penterjemah bukunya, Hartojo Andangjaya (alm) seorang sufis Jawa yang hidupnya ya seperti buku itu sendiri: sederhana dan bersahaja. Ia membawa teks tersebut, ke dalam dunia hura-hura yang ramai dan gegap gempita. Padahal Kasidah Cinta, adalah perayaan cinta kasih dalam dunia yang paling sunyi dan hening. Ngawur sak pole!

Mungkin ia saat itu lagi senang-senangnya belajar sufisme, tergila-gila dengan tokoh-tokohnya sehingga menamai ketiga anaknya dengan nama-nama besar tokoh sufi. Apa lacur? Salah satu anaknya yang Abdul Qodir Jaelani.yang kerap dipanggil Si Dul justru menjadi "pembunuh", karena mencelakai sedemikian banyak orang. Ketika mobilnya ngebut tak terkontrol menghantam bis di tengah hirup pikuk jalan tol. Dihukum? Tidak, katanya ia masih di bawah umur.

Pertunjukan ala panggung selebritis yang semestinya sudah mencoret namanya dari dunia publik, yang waras sekira yang dibutuhkan adalah moralitas, integritas, dan kredibilitas. Dan sialnya ia masih tetap bersliweran di ranah publik untuk sebuah gerakan setengah makar bernama #2019GantiPresiden.

Saya sebenarnya tidak peduli betul dengan gerakan itu, sebagai bagian dari aktivitas demokrasi baik-baik saja. Hanya saja ia dengan tandemnya Neno Warisman memakai simbol-simbol yang secara tidak langsung berkaitan dengan saya. Dani melecehkan simbol-simbol budaya Jawa, Neno merendahkan atribut agama yang hingga sampai saat ini masih saya peluk: Islam.

Coba tengok keduanya memiliki persamaan, menggunakan simbol penutup kepala secara berlebihan. Menunjukkan bahwa ada yang salah (dan itu akut) dalam isi kepala keduanya!

***