Jokowi, Revolusi Mental dan Pragmatisme Politik

Sabtu, 18 Agustus 2018 | 23:55 WIB
0
610
Jokowi, Revolusi Mental dan Pragmatisme Politik

Semula penulis optimis dengan program revolusi mental Jokowi. Indonesia memang perlu pembenahan dalam mental berpikir, menguatkan kemauan bekerja dan berinovasi, kreatif berpikir untuk meningkatkan kekuatan menghadapi persaingan global, dan tahan banting menghadapi tekanan.

Meskipun anak-anak muda sekarang lahir dalam zaman dengan kemudahan-kemudahan karena majunya teknologi digital namun tantangan itu tidak terletak pada kecerdasan intelektual dan daya kreasi. Kemunduran anak muda sekarang adalah pada sempitnya ruang sosial, interaksi antar manusia, penghargaan sebagai seorang manusia yang tidak bisa hidup pada orang lain.

Mereka dan kita sekarang ini bersembunyi pada teknologi yang menyebabkan tubuh malas bergerak, lebih senang berselancar di dunia maya sehingga tidak perlu menyempatkan waktu duduk bareng dengan kontak mata langsung saling berdialog dalam suasana akrab. Anak—anak muda dan kita lebih senang duduk menyepi di sudut kafe, cekikak-cekikik sendirian, sambil jari tidak henti-hentinya memencet tuts gawai.

“Ini era milenial bung, makan bisa dipesan dengan aplikasi go food, belanja baju, asesoris apapun bisa dipesan tanpa perlu pindah dari kursi”. Dengan jari-jari lincah menyentuh gadget semuanya beres.

Uang? Tidak perlu memegangnya hanya untuk sekedar belaja. Sudah ada kartu kredit, ATM mulai ditinggalkan ketika sudah aplikasi pembayaran lewat HP. Cukup tunjukkan  bukti pembayaran dengan cara di capture lalu dikirimkan kepada penjual, selesai.

Transfer? tidak perlu repot datang ke ATM. Aplikasi di gawai sudah tercipta untuk memudahkan transfer antar bank, antar penjual dan pembeli. Jadi sampai pantat nempel di kursi hampir semua pekerjaan selesai dilakukan. Memang mengagumkan teknologi digital, tetapi apakah membantu memanusiakan manusia? Tidak!

Manusia sudah mulai terjebak dalam ruang sosial maya, dunia seakan-akan sudah amat dekat tetapi secara jiwa dan ikatan emosional begitu jauh. Saya anda dan hampir semua netizen pasti mengakui bisa jadi kita akan diam-diaman saat dikumpulkan di suatu tempat.

Ketika di media sosial tampak akrab bahkan konyol dan begitu atraktif (dalam bayangan imajinasi kita) ternyata beda jauh saat ngobrol bareng. Oh ternyata kau aslinya pendiam, tidak suka melucu, tidak hobi ngobrol, tetapi kenapa di dunia maya lucu, konyol dan atraktif. Itulah yang dinamakan keakraban semu.

Jadi terbayang bagaimana susahnya mengubah mental orang. Bisa jika tiap orang  berani berubah, susah jika tiap orang nggugu karepe dewe(tidak mau diatur)

Kembali ke bahasan semula tentang Jokowi. Bagi sebagian orang Jokowi masih dipercaya sebagai Presiden jujur dengan reputasi baik. Penulispun mengakui sampai saat ini seburuk-buruknya Jokowi penulis tetap respek dengan kepemimpinannya. Ia masih orang yang sama yang memimpin dengan hati, memimpin dengan keteladanan.

Dari wajahnya penulis masih percaya bahwa ada kesungguhan bekerja.Penulis masih percaya bahwa pribadinya. Sederhana khan!? Masalahnya adalah lingkungan kerjanya dipenuhi oleh politisi yang bekerja pragmatis, politisi dua muka, dengan polesan nasionalisme yang sengaja ditampakkan dengan cara pencitraan.

Mereka tidak pernah benar-benar bekerja sebagai pelayan rakyat tetapi ada misi terselubung untuk memuluskan jalan menuju kekuasaan. Banyak Brutus-brutus berkeliaran, sampai pembisik-pembisik  yang bekerja untuk diri sendiri dan kepentingan partai semata.

Jokowi seperti terjebak dalam pusaran masalah politik yang ruwet. Ia harus hati-hati, sebab jika salah melangkah maka jebakan-jebakan sudah menantinya. Politik itu manis di bibir cuma orang tidak tahu keinginan hati setiap politisi yang merasa akrab dan dekat dengan pimpinan tertinggi negara.

Presiden mesti pandai berkompromi meskipun hati nuraninya berontak. Ia harusnya memilih yang terbaik tetapi realitas politik  menghendaki lain. Tarik ulur kepentingan membuat Presiden memilih yang menguntungkan dirinya meskipun dengan konsekwensi ia akan ditinggalkan oleh sebagian, teman, fans, pengidola yang kecewa dengan pilihannya.

Ia menghadapi persoalan pelik dari ribuan bahkan jutaan keinginan masyarakat. Sudah bekerja totalpun masih banyak yang nyinyir mengatakan “oalah Presiden kok plonga-plongo saja.” Padahal sudah banyak pekerjaan besar yang selesai dituntaskan semasa kepemimpinannya. Jika Presiden terlalu baper nanti dibilang Presiden kok kerjaannya mengeluh. Jika diam saja Presiden kok susah ngomong.

Serba susah menghadapi jutaan pribadi yang memandang jabatan presiden  seperti pekerjaan dewa, yang bisa memuaskan semua orang dan mau mendengar setiap keluhan masyarakat. Kalau masyarakatnya hanya sebesar pulau Jawa mungkin pekerjaan tidak akan serumit memimpin ribuan pulau, suku, etnis, dengan bahasa yang sangat beragam.

Ketika memulai pekerjaan di pinggiran Indonesia masyarakat perkotaan merasa ditinggalkan dan tidak diperhatikan. Terlalu mementingkan pembangunan di Jawa dikatakan Jawa sentris. Ketika seorang politisi yang dianggap cakap dan ahli dalam mendampingi presiden tersingkir di detik-detik terakhir suara kekecewaan meluncur deras di media sosial.

Banyak orang yang kecewa berubah haluan, golput dan ungkapan kekesalan lain. Padahal lawan Jokowi sendiri (mungkin) tidak lebih baik dari Jokowi sendiri.

Menjadi pemimpin yang dekat dengan rakyat dan media daring memang serba susah. Ia harus sempurna di mata netizen, tahu keinginan mereka dan tidak boleh mengecewakan. Sebab sekali kecewa netizen bisa lebih kasar dari mulut-mulut politisi Senayan. Coba sekarang jika kalian menjadi Jokowi apa yang harus dilakukan menghadapi dilema yang mengurung dirinya. Tentu pusing tujuh keliling.

Politik adalah adalah dinamika kehidupan masyarakat. Pada tingkat pimpinan (middle Up) perlu strategi, hitung-hitungan politik tingkat tinggi sehingga para pimpinan itu tetap berada dalam kisaran kekuasaan. Kekalahan adalah tragedi dan tentu mengecewakan. Mereka harus bangkit kembali untuk mendekat dalam lingkaran kekuasaan.

Saat di luar kekuasaan itulah mereka menyerang titik lemah pemerintah yang sedang berkuasa, sedang jika mereka menang berbagai dalih untuk menutupi kekurangan dilakukan agar dia bisa menghela serangan-serangan kritik lawan politiknya.

Yang jelas menjadi politikus itu harus siap menggunakan jurus pragmatis. Hal- hal yang menguntungkan dirinya meskipun dengan cara licik boleh saja dilakukan asal bisa menang. Itulah sebenarnya realitas politik. Mahar dan transaksi jasa dengan sejumlah uang sebenarnya bukanlah perkara mengherankan dan menghebohkan.

Semua pimpinan parpol mengamini untuk menggerakkan roda partai tentu butuh biaya ( munafik jika mereka mengelak), namun dalam koridor informasi yang dikonsumsi publik tentu mereka harus pandai-pandai menyembunyikan borok. Yang dikeluarkan dan ditampilkan tentu “yang baik-baik saja”.

Dengan bahasa bersayap mereka akan menghindari jebakan pertanyaan yang membuat mereka ditekan atau diarahkan untuk mengakui bahwa mereka bekerja demi uang dan kekuasaan. Tentu di media mereka harus menjaga imej.

Masyarakat kadang terlalu terpukau dengan bahasa politisi, tetapi sudahlah biarkan waktu berjalan, yang penting hati nurani tetap bersih untuk memilih pemimpin yang masih bernurani dan tahu keinginan rakyat. Mungkin tidak banyak pemimpin yang cukup bagus, tetapi penulis merasa Jokowi masih lebih bagus dari seabreg politisi di sekelilingnya.

***