Jalan Melingkar Jokowi

Rabu, 15 Agustus 2018 | 21:01 WIB
0
329
Jalan Melingkar Jokowi

Sudah mendengar pengakuan Mahfud MD tak jadi cawapres Jokowi? Jauh sebelum itu, bukan hanya orang terdekat Mahfud, publik tidak bodoh untuk mengetahuinya. Pengakuan Mahfud hanya afirmasi.

Jika kemudian SAS, juga KMA, atau CI mengatakan ini takdir Allah; di situ kelamisan dan ketulusan dua hal yang mudah dibedakan. Nehru (1964) mengatakan; Politik dan Agama telah kedaluwarsa. Waktunya telah tiba bagi Ilmu Pengetahuan dan Spiritualitas

Ketika Jokowi mengumumkan pencapresan dan pencawapresan tanpa didampingi cawapres, itu sudah menunjuk drama yang terjadi. Tidak Jokowi banget. Jokowi sang media darling itu, pasti akan mendemonstrasikan otentisitasnya (yang kemudian kita tahu ia akan naik Chooper Gold memboncengkan Mahfud MD ke KPU).

“Politikus hanya berpikir pemilihan umum berikutnya,” kata James Freeman Clarke, seorang teolog, “sementara negarawan berpikir generasi yang akan datang.” Disitu PKB, PDIP atau Golkar, menjerat Jokowi dengan ketakutan mereka pada Pemilu 2024. Kenegarawanan Mahfud dan pernyataannya jelas; Negara lebih penting, dan dia bersama Jokowi.

Mahfud punya banyak catatan hukum para elite negeri (karena itu Jokowi memilihnya, dan parpol pendukungnya ketakutan). Demikian juga ketika Ahok berkata akan membantu Jokowi pada Pilpres 2019. Bukan demi 2024, tapi masih kerasnya barisan Orbais Soeharto berkeliaran, sebagaimana diteriakkan Titiek Soeharto, “I shall return!”

Reformasi 1998 terlalu cepat dilupakan. Para aktor reformasi beraksi dan berkilah, tapi buyar dengan agenda masing-masing. Siapa yang mendapat legitimasi? Setelah rakyat memilih langsung presidennya, dan kecewa atas jenderal yang ringkih, Jokowi muncul dan mampu menyingkirkan Prabowo. Rakyat capek dengan kegagahan ksatria palsu.

Rakyat waktu itu, dan kapan pun, akan lebih percaya pada yang mereka bisa percaya. Yakni kepemimpinan yang tulus. Bagaimana mengukur ketulusan? Tak mudah mengukur ketulusan, apalagi jika tak mau jujur melihat track-recordnya.

Kerasnya perlawanan anti-Jokowi, untuk kembali “merebut” (ini bahasa dalam berbagai baliho kelompok Prabowo) kekuasaan, memberikan pesan jelas. Lagi-lagi Jokowi harus memilih jalan melingkar, dari sejak militer, kemudian partai politik, dan kemudian kini agama. Apa boleh buat, mengutip Mahfud, bukan soal capres-cawapres, tapi sebagaimana tuitan Rachland Nashidik, ketika (2014) Demokrat menolak Prabowo.

Di situ Jokowi bisa dilihat lebih jernih. Bukan sekedar ngamuk menjadi golput. Karena dimana-mana, golput adalah pemberi karpet merah pada yang lebih buruk. Mau contoh? Atas ajakan golput Arief Budiman (1971), Golongan Karya yang menjadi common enemy, menang pemilu. Dan kita heroik meneladan kekalahan senior kita itu.

Kini kita biarkan Jokowi terseok. Tertunda lagi. Mencari jalan terobosan, yang tentu beda dengan ketika dia di Mapala UGM dulu. Menaklukkan kepala batu Indonesia.

***