Rupanya Jokowi Tidak Belajar dari Kekalahan Megawati dan Wiranto

Selasa, 14 Agustus 2018 | 12:42 WIB
0
703
Rupanya Jokowi Tidak Belajar dari Kekalahan Megawati dan Wiranto

Ketika itu, KHA Hasyim Muzadi digandeng sebagai cawapres Megawati Soekarnoputri, dan KH Sholahuddin Wahid dijadikan cawapres Wiranto. Kedua cawapres dari NU itu ternyata tidak berhasil memenangkan pertarungan pada Pilpres 2004.

Cobalah kita tengok bagaimana tiga pilpres langsung (2004, 2009, dan 2014). Sejak 2004, Indonesia memiliki mekanisme baru dalam pilpres. Bila sebelumnya pilpres dipilih lewat suara wakil rakyat di DPR/MPR, maka tahun itu, ditentukan oleh suara rakyat langsung.

Artinya, semua warga negara Indonesia berhak memilih pemimpinnya. Mereka yang datang dari berbagai kalangan ekonomi, profesi hingga daerah diperhitungkan suaranya. Pada Pilpres itu, paslon Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) menjadi pemenang.

Ada lima paslon yang maju kala itu. Mereka adalah: Wiranto-Sholahuddin Wahid, Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, Amien Rais-Siswono Yudo Husodo, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, dan Hamzah Haz-Agum Gumelar.

Dalam kontestasi tersebut, mereka melewati dua tahapan pemilihan, sebelum akhirnya bisa mengalahkan lawan-lawannya. Pada putaran pertama, SBY-JK unggul dengan 33,58 persen suara atau meraup 36.070.622.

Tempat kedua adalah Megawati-Hasyim dengan perolehan suara 28.186.780 atau 26,24 persen. Karena tidak ada pasangan yang meraih suara lebih dari 50 persen pada putaran pertama, dua pasangan teratas kemudian bertarung di putaran kedua.

Hasilnya SBY-JK menang telak dengan selisih cukup jauh yakni: 69.266.350 (60,62%) melawan 44.990.704 (39,38%). Berselang lima tahun kemudian atau tahun 2009, SBY kembali maju sebagai calon presiden.

Tapi, kali ini dia menggandeng paslon berbeda, Boediono. Mantan wakilnya, Jusuf Kalla, berubah menjadi lawan karena maju bersama Wiranto. Dan, satu lawan lagi, yakni paslon Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto.

Meski diikuti oleh tiga paslon, Pada Pilpres 2009 hanya berjalan satu putaran. Sebab, SBY-Boediono meraih suara signifikan dibandingkan 2 paslon lawannya. Kala itu, SBY-Boediono meraup suara 73.874.562 (60,80%).

Perolehan suara SBY-Boediono jauh meninggalkan lawannya Megawati-Prabowo yang cuma meraih suara 32.548.105 (26,79%) dan JK-Wiranto 15.081.814 (12,41%). Pada Pilpres 2014 berlangsung dengan peserta yang lebih ramping.

Hanya ada dua pasangan yang maju dalam pemilihan langsung, mereka adalah Joko Widodo-Jusuf Kalla melawan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Jokowi-JK meraup 70.997.833 (53,15 persen). Sementara itu, paslon nomor urut satu, Prabowo-Hatta, 62.576.444 (46,85 persen).

Pada Pilpres 2019 nanti, capres petahana Joko Widodo menggandeng KH Ma’ruf Amin, Rois Aam PBNU yang juga Ketua MUI menjadi cawapresnya. Sedangkan, Prabowo Subianto jadi menggaet Wagub DKI Jakarta Sandiaga Uno sebagai cawapresnya.

Mengapa Ma’ruf

Pertanyaan yang sering muncul setelah Jokowi menggandeng Ma’ruf adalah mengapa capres petahana ini memilih Kiai Ma’ruf? Bukankah karena beliau ini sudah uzur karena usia telah mencapai 75 tahun. Jawaban Jokowi: Nasional-Religius!

Jokowi menyatakan mempunyai alasan khusus mengapa memilih sosok Kiai Ma’ruf yang cukup senior. “Kami saling melengkapi, nasionalis-religius,” kata Jokowi kepada wartawan di Restoran Plataran, Jakarta, Kamis (9/8/2018), mengutip CNNIndonesia.com.

Dalam pertemuan itu, jajaran ketua umum dan sekretaris jenderal parpol pendukung Jokowi ikut berkumpul di Plataran. Mereka semua menyatakan setuju atas keputusan Jokowi memilih Ma'ruf Amin, dengan membubuhkan tanda tangan dalam surat persetujuan.

Kiai Ma'ruf bukan kader partai politik. Namun, dia menduduki posisi sentral yaitu Rais Aam Nahdlatul Ulama, ormas Islam terbesar di Indonesia. Ia pernah menjabat di legislatif, Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hubungan Antar Agama, MPR RI, dan di Dewan Pengarah Badan Pembina Ideologi Pancasila.

Itulah yang menjadi alasan mengapa Jokowi akhirnya memilih Kiai Ma’ruf daripada Mahfud MD yang sebelumnya disebut-sebut sebagai calon kuat pendamping Jokowi di Pilpres 2019. Namun, di detik akhir, Mahfud MD tersingkir, meski sudah siap-siap.

“Saya tidak kecewa, kaget saja, karena sudah diminta mempersiapkan diri, bahkan sudah agak detail,” kata Mahfud MD, dalam wawancara di Kompas TV, pada Kamis (9/8/2018) sore. “Biasa di dalam politik, itu tidak apa-apa,” lanjutnya

Menurut mantan Menteri Pertahanan di era Presiden Abdurrahman Wahid itu, “Kita harus lebih mengutamakan keselamatan negara ini daripada sekadar nama Mahfud MD, nama Ma'ruf Amin,” tuturnya, seperti dikutip Kompas.com, Kamis (9/8/2018).

Latar belakang dipilihnya Kiai Ma’ruf, sebagai kalangan ulama disebut bisa menjembatani capres petahana Jokowi dengan pemilih Islam. Tapi, jika ditelisik jejak digital ke kebelakang, PDIP punya kenangan pahit saat menggandenga cawapres berlatar belakang ulama.

Seperti pada Pilpres 2004, kala itu Megawati Soekarnoputri berpasangan dengan KH Hasyim Muzadi yang notabene adalah Ketua Umum PBNU, yang harus tumbang dari paslon Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK).

Sebelumnya, menurut analis komunikasi politik UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta Gun Gun Heryanto, situasi yang pernah dialami Megawati dulu tidak bisa disamakan dengan kondisi politik sekarang. Di mana jika Jokowi benar akan menggandeng Ma'ruf.

“Setiap momentum kaya 2009 dengan 2019 yang pak Ma'ruf akan dipaketkan, tentu tidak bisa secara apple to apple, dibandingkan posisi bu Mega dulu dengan pak Hasyim karena suasana politik cukup berbeda,” ujarnya, seperti dilansir Jawapos.com, Sabtu (28/7/2018).

Gun menuturkan, layak atau tidaknya seseorang ditunjuk sebagai cawapres bukan hanya bergantung pada latar belakangnya. Namum, aspek elektoral menjadi hal pertama yang harus dipertimbangkan.

Figur dengan elektabilitas tinggi tentu akan meningkatkan keterpilihan capresnya, namun jika cawapres itu popularitasnya rendah, maka akan membebani pasangannya dalam bersaing dengan calon lain.

“Yang jelas figur (cawapres) itu harus punya landasan elektoralnya, baik itu popularitas, elektabilitas, dan aksebtabilitasnya,” lanjut Gun. Selain itu, cawapres tersebut juga harus memperkuat koalisi.

Artinya, dukungan dari partai koalisi terhadap figur tersebut harus bersifat mutlak. “Seperti loyal nggak ketika nama pak Jokowi dan Ma'ruf Amin bisa mengikat di internal masing-masing partai yang diusung,” tegas Gun.

Menurut Gun, aspek terakhir yang harus dipertimbangkan dalam menunjuk cawapres yaitu tingkat penerimaan masyarakat. Di mana figur tersebut mampu menjadi harapan bagi publik dalam menyelesaikan permasalahan bangsa.

Pengalaman Wiranto saat menggandeng KH Sholahuddin Wahid pada Pilpres 2004 mestinya juga menjadi pertimbangan Jokowi untuk memutuskan dalam memilih cawapres. Kurang apa lagi, seorang trah KH Hasyim As’ary, ulama pendiri NU yang digandeng.

Toh, seperti halnya Megawati-Hasyim, paslon Wiranto-Sholah harus puas dengan kekalahan mereka dari SBY-JK. Hasyim Muzadi saat itu tercatat sebagai tokoh NU dan Ketua Umum PBNU. Begitu pula, Sholahuddin Wahid yang juga tokoh PBNU.

Tapi, ya sudahlah, Kiai Ma’ruf sudah menjadi pilihan 9 parpol pengusung dan pendukung Jokowi. Sebagai rakyat, kita berharap, jangan sampai Kiai Ma’ruf “diganti” di tengah jalan oleh parpol Koalisi Jokowi dengan dasar PKPU Nomor 15 Tahun 2017.

Pasal 78 ayat (1) Penggantian Bakal Calon atau Calon dapat dilakukan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik atau Calon perseorangan, dalam hal: a. dinyatakan tidak memenuhi syarat kesehatan; b. berhalangan tetap; atau c. dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

(2) Berhalangan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi keadaan: a. meninggal dunia; atau b. tidak mampu melaksanakan tugas secara permanen. (3) Berhalangan tetap karena meninggal dunia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dibuktikan dengan surat keterangan dari lurah/kepala desa atau sebutan lain atau camat setempat.

(4) Berhalangan tetap karena tidak mampu melaksanakan tugas secara permanen sebagaimana dimaksud apda ayat (2) huruf b dibuktikan dengan surat keterangan dari rumah sakit pemerintah.

***