Mahfud MD (2): Gus Dur Tidak Mau Didikte Oleh Siapapun!

Minggu, 12 Agustus 2018 | 13:29 WIB
0
508
Mahfud MD (2): Gus Dur Tidak Mau Didikte Oleh Siapapun!

Saya pribadi terbilang beruntung bisa berhubungan langsung dengan mantan Menteri Pertahanan era Presiden Abdurrahman Wahid itu. Sehingga, saya sempat “mengintip” pemikiran Mahfud MD seputar pandangannya tentang Gus Dur.

Menurut Mahfud MD, begitu menariknya subyek Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai obyek kajian sehingga banyak pakar maupun pengamat yang menulis tentang dirinya, baik sebelum meninggal maupun sesudahnya.

Tulisan-tulisan itu beraneka ragam. Ada yang ditulis khusus, ada yang menjadi bagian dari sebuah tulisan. Ada yang menulis secara ilmiah dengan pertanyaan akademik dan metodologi tertentu, ada yang menulis sebagai opini biasa.

“Pokoknya banyak sekali tulisan-tulisan tentang Gus Dur yang bisa dikatakan bahwa semuanya menjadi bahan yang sangat berharga untuk kegiatan studi di Indonesia,” tulis Mahfud MD dalam sebuah pengantar buku yang saya ajukan.

Bukan hanya dalam bidang agama, tapi juga dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Dulu, pada Desember 2007, Mahfud MD ikut menguji sebuah disertasi tentang Gus Dur di Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta.

Disertasi ditulis Munawar Ahmad, dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Jogjakarta tersebut berjudul, “Kajian Kritis terhadap Pemikiran KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 1970-2000”, dan menghasilkan, antara lain, lima traktat tentang pemikiran Gus Dur.

Buku yang saya ajukan saat itu berjudul,“Gus Dur, IntelektualOrganik-Tradisional”, buku baru yang juga berasal dari disertasi doktor (kini, Rektor Universitas Negeri Surabaya Prof. DR. Warsono).

Disertasi tersebut ditulis ulang dan diterbitkan dari disertasinya yang dipertahankan di Universitas Airlangga (UA) Surabaya dengan judul semula, “Wacana Politik Kyai Era Presiden Abdurrahman Wahid Alias Gus Dur”.

Dalam Kata Pengantar di buku Prof. Warsono itu, Mahfud MD menyebut, Gus Dur adalah seorang tokoh besar yang bukan hanya sangat berpengaruh di Indonesia, tetapi juga di dunia internasional.

Ia pernah membaca dan percaya pada sebuah tulisan yang mengatakan, dalam satu abad terakhir ini hanya ada 4 orang di dunia yang kematiannya diantar dan ditangisi jutaan orang sampai berhari-hari lamanya, yakni, Mahatma Gandhi (India), John F. Kennedy (USA), Ayatullah Khomeiny (Iran), dan Gus Dur (Indonesia).

Rizal Ramli, Menteri Keuangan era Presiden Gus Dur dan Menko Kemaritiman era Presiden Jokowi kerapkali mengemukakan episode pembicaraannya dengan seorang Indonesianis dari Cornell University, New York.

Yakni, Benedict Andeson, Indonesianis yang Konon dimusuhi oleh rezim Orde Baru. Ia berkomentar tentang kunjungannya ke makam Gus Dur. Kata sang Indonesianis, dari semua makam tokoh yang banyak dikunjungi oleh rakyat Indonesia, makam Gus Dur-lah yang paling banyak dan paling sering dikunjungi.

Anderson juga mengatakan, makam Gus Dur selalu mendapat kunjungan ribuan orang karena Gus Dur dicintai oleh rakyatnya dan kepemimpinannya sangat otentik sebagai pemimpin rakyat.

“Para pendukung Gus Dur yang seperti saya tentu sangat senang mendengar penilaian tersebut,” ungkap Mahfud MD. Tapi kalau dalam soal berjubel dan tak henti-hentinya kunjungan ke makam Gus Dur tentu saja bisa dijelaskan.

Bahwa, dari sisi lain, hal tersebut disebabkan Gus Dur adalah juga tokoh NU yang sangat terkemuka dan warga NU yang jumlahnya puluhan juta memang mempunyai tradisi berziarah ke makam.

Gus Dur adalah contoh manusia Indonesia yang multi talenta. Sebagai tokoh dengan kiprahnya yang luar biasa, dia bisa ditulis dari berbagai disiplin. Dia bisa ditulis dari sudut ilmu politik, sejarah, budaya, agama, sosial, ekonomi, dan banyak hal lagi.

Buku Gus Dur, Intelektual Organik-Tradisional yang ditulis oleh Prof. Warsono ini memfokuskan perhatiannya pada politik kiai yang dinilai gagal membangun soliditas untuk mendukung dan mempertahankan pemerintahan Gus Dur (1999-2001).

Salah satu hal penting yang dikemukakan di dalam buku Prof. Warsono ini adalah fakta ketidakmampuan hegemoni kiai di kalangan NU untuk menghegemoni elit-elit politik sehingga Gus Dur jatuh dari kekuasaannya.

“Masalahnya, elit-elit politik itu sebagian terbesar bukan berlatar belakang santri yang bisa berempati secara politik kepada Gus Dur,” sebut Mahfud MD. Penyebab lainnya, disamping karena para kiai banyak yang bersikap tawadhu’ dan tawakkal.

Sehingga menyerahkan penyelesaian persoalan itu kepada Allah SWT dengan banyak berdoa. Ada juga kiai-kiai yang memang tidak dalam satu barisan dengan kekuatan politik Gus Dur yang dimotori oleh PKB.

Menurutnya, kejatuhan Gus Dur menjadi niscaya di tengah-tengah ketidakmampuan hegemoni kiai tersebut untuk menghegemoni elit-elit politik. “Saya setuju dengan Prof. Warsono tentang apa-apa yang ditemukannya dalam penelitiannya itu,” ujarnya.

Ia hanya ingin memberi penekanan tentang hal-hal yang dilihat dan dialami sendiri terkait begitu mudahnya Gus Dur dijatuhkan. Yang paling terkesan baginya adalah keteguhan pendirian Gus Dur yang didorong rasa harga dirinya yang sangat tinggi.

“Gus Dur tidak mau didikte oleh siapapun,” tulis Mahfud MD. Di mana para politisi PKB saat menjelang kejatuhan Gus Dur, seperti Muhamin Iskandar alias Cak Imin? Justru Mahfud MD-lah yang ketika itu berjuang untuk Gus Dur.

***