Pragmatisme Politik

Jumat, 10 Agustus 2018 | 15:44 WIB
0
864
Pragmatisme Politik

Itu yang sedang terjadi, dan seharusnya kita hindari. Partai politik tanpa ideologi, tanpa platform. Mereka bisa berkoalisi dengan siapa saja. Yang penting memenangkan pemilihan. Program kerja tidak lagi penting. Garis kebijakan juga tidak lagi penting.

Pemilih juga menjadi makin pragmatis. Yang penting yang didukung menang. Tidak peduli siapa campur siapa.

Tidakkah konyol ketika dulu pendukung Jokowi mencaci Ngabalin, lalu kini mereka senang melihat kelakuan Ngabalin? Kenapa? Karena Ngabalin kini di dekat Jokowi. Lebih ekstrem lagi, lupakah mereka bagaimana mereka dulu jengkel pada Ma'ruf Amin? Kini mereka memuji Ma'ruf.

Saya dulu mendukung Anies Baswedan. Saat dia dipecat Jokowi saya masih mendukung dia, tanpa keberatan dengan pilihan Jokowi untuk memecat dia. Saya baru mengritik keras Anies ketika ia sowan ke rumah Rizieq. Kenapa? Karena platform politik saya tidak bisa bersatu dengan Rizieq. Ketika ada politikus bersama Rizieq, saya tidak bisa bersama dia.

Apa platform Ma'ruf? Jelas dia berbeda platform dengan saya. Dia kemungkinan besar anti sekularsime. Mungkin Anda sudah lupa soal fatwa MUI yang mengharamkan sekularisme dan pluralisme. Anda juga mungkin lupa bagaimana MUI di bawah pimpinan Ma'ruf mengeluarkan label halal pada sebuah bisnis money game, lalu bisnis itu menipu banyak orang. Juga soal tafsir Ma'ruf atas ucapan Ahok, yang jadi bukti inti yang menyeret Ahok ke penjara.

Itu belum seberapa. Kita kembali ke cerita pragmatisme tadi. Jangan campurkan agama dengan politik, kata Jokowi. Tapi karena kubu lawan memainkan agama, maka Jokowi pun ikut memainkan agama. Artinya, ini pragmatisme paling dasar. Tidak ada lagi platform, ideologi, program yang perlu dipertimbangkan. Satu-satunya yang penting adalah bagaimana menang.

Kalau politikus bersikap seperti itu saya masih bisa maklum. Mereka memang begitu. Tapi pemilih tidak perlu seperti itu. Jokowi menang, Prabowo menang, apa bedanya? Sama-sama akan ada orang tidak kompeten dan korup dalam pemerintahan. Jokowi tidak sempurna, Prabowo tidak sempurna.

Makanya, bagi saya lebih penting untuk menjaga sikap, bertahan dengan platform. Kalau kita sebagai pemilih mau saja digiring dengan alasan-alasan pragmatisme, maka kita sebenarnya cuma komoditas. Ingat, jangan memaklumi politikus. Mereka punya sejuta alasan yang bisa dipakai untuk membuat Anda maklum.

Saya masih ingat, dulu saya pernah tanya pada seorang intelektual muslim, kenapa mendukung Soeharto? Jawab dia, kalau Soeharto tidak didukung, Moerdani akan naik. Saya bilang, Soeharto berhasil menciptakan Moerdani, untuk menakut-nakuti umat Islam. Lalu serentak mereka meminta perlindungan Soeharto.

Alasan "mending pilih Jokowi ketimbang Prabowo yang berkuasa" itu terdengar sama seperti alasan untuk memilih Soeharto. Sama-sama pragmatis.

Saya tidak mau terjebak pada pragmatisme itu. Waktu Pilgub DKI tahun 2012 saya pilih Faisal Basri, meski sejak awal saya tahu Faisal akan kalah. Di Pilgub 2017 saya pilih Ahok, meski saya sudah menduga bahwa Ahok akan kalah. Ya, sejak putaran pertama saya sudah menduga kuat bahwa Ahok akan kalah.

Pilihan saya kalah tidak apa-apa buat saya. Yang penting saya tidak berkompromi, menggadaikan platform saya. Kecuali kalau saya sudah pindah domain jadi politikus.

Berulang-ulang mesti saya tegaskan, Anda mau tetap pilih Jokowi ya silakan. Anda mau pragmatis silakan. Itu pilihan Anda. Saya tidak keberatan. Ini sikap saya.

***