Itu yang sedang terjadi, dan seharusnya kita hindari. Partai politik tanpa ideologi, tanpa platform. Mereka bisa berkoalisi dengan siapa saja. Yang penting memenangkan pemilihan. Program kerja tidak lagi penting. Garis kebijakan juga tidak lagi penting.
Pemilih juga menjadi makin pragmatis. Yang penting yang didukung menang. Tidak peduli siapa campur siapa.
Tidakkah konyol ketika dulu pendukung Jokowi mencaci Ngabalin, lalu kini mereka senang melihat kelakuan Ngabalin? Kenapa? Karena Ngabalin kini di dekat Jokowi. Lebih ekstrem lagi, lupakah mereka bagaimana mereka dulu jengkel pada Ma'ruf Amin? Kini mereka memuji Ma'ruf.
Saya dulu mendukung Anies Baswedan. Saat dia dipecat Jokowi saya masih mendukung dia, tanpa keberatan dengan pilihan Jokowi untuk memecat dia. Saya baru mengritik keras Anies ketika ia sowan ke rumah Rizieq. Kenapa? Karena platform politik saya tidak bisa bersatu dengan Rizieq. Ketika ada politikus bersama Rizieq, saya tidak bisa bersama dia.
Apa platform Ma'ruf? Jelas dia berbeda platform dengan saya. Dia kemungkinan besar anti sekularsime. Mungkin Anda sudah lupa soal fatwa MUI yang mengharamkan sekularisme dan pluralisme. Anda juga mungkin lupa bagaimana MUI di bawah pimpinan Ma'ruf mengeluarkan label halal pada sebuah bisnis money game, lalu bisnis itu menipu banyak orang. Juga soal tafsir Ma'ruf atas ucapan Ahok, yang jadi bukti inti yang menyeret Ahok ke penjara.
Itu belum seberapa. Kita kembali ke cerita pragmatisme tadi. Jangan campurkan agama dengan politik, kata Jokowi. Tapi karena kubu lawan memainkan agama, maka Jokowi pun ikut memainkan agama. Artinya, ini pragmatisme paling dasar. Tidak ada lagi platform, ideologi, program yang perlu dipertimbangkan. Satu-satunya yang penting adalah bagaimana menang.
Kalau politikus bersikap seperti itu saya masih bisa maklum. Mereka memang begitu. Tapi pemilih tidak perlu seperti itu. Jokowi menang, Prabowo menang, apa bedanya? Sama-sama akan ada orang tidak kompeten dan korup dalam pemerintahan. Jokowi tidak sempurna, Prabowo tidak sempurna.
Makanya, bagi saya lebih penting untuk menjaga sikap, bertahan dengan platform. Kalau kita sebagai pemilih mau saja digiring dengan alasan-alasan pragmatisme, maka kita sebenarnya cuma komoditas. Ingat, jangan memaklumi politikus. Mereka punya sejuta alasan yang bisa dipakai untuk membuat Anda maklum.
Saya masih ingat, dulu saya pernah tanya pada seorang intelektual muslim, kenapa mendukung Soeharto? Jawab dia, kalau Soeharto tidak didukung, Moerdani akan naik. Saya bilang, Soeharto berhasil menciptakan Moerdani, untuk menakut-nakuti umat Islam. Lalu serentak mereka meminta perlindungan Soeharto.
Alasan "mending pilih Jokowi ketimbang Prabowo yang berkuasa" itu terdengar sama seperti alasan untuk memilih Soeharto. Sama-sama pragmatis.
Saya tidak mau terjebak pada pragmatisme itu. Waktu Pilgub DKI tahun 2012 saya pilih Faisal Basri, meski sejak awal saya tahu Faisal akan kalah. Di Pilgub 2017 saya pilih Ahok, meski saya sudah menduga bahwa Ahok akan kalah. Ya, sejak putaran pertama saya sudah menduga kuat bahwa Ahok akan kalah.
Pilihan saya kalah tidak apa-apa buat saya. Yang penting saya tidak berkompromi, menggadaikan platform saya. Kecuali kalau saya sudah pindah domain jadi politikus.
Berulang-ulang mesti saya tegaskan, Anda mau tetap pilih Jokowi ya silakan. Anda mau pragmatis silakan. Itu pilihan Anda. Saya tidak keberatan. Ini sikap saya.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews