Politik Adu Jangkrik

Selasa, 7 Agustus 2018 | 17:15 WIB
0
611
Politik Adu Jangkrik

Pada masanya, adu jangkrik adalah permainan rakyat yang paling digemari. Ia tidak saja menembus kalangan ningrat di Kraton yang elitis, tetapi juga kalangan Tionghoa yang sebenarnya punya banyak permainan judi sendiri.

Hal yang juga membuat saya "gumun", heran saya kok bisa keduanya ikut terbius permainan anak kampung pedesaan. Ia tidak saja menjangkau anak kecil, tetapi juga orang dewasa bahkan mbah-mbak tua yang mestinya sudah menjauh dari berbagai hal pernak pernik permainan duniawi.

Tentu saja, ini permainan musiman, tidak sepanjang waktu jangkrik itu mudah didapat. Biasanya dilakukan pada musim gadon, atau masa-masa ketika petani beralih dari menanam padi ke tanaman palawija. Istilah gadon sendiri sebenarnya cukup unik, karena jenis tumbuhan yang ditanam kelak kalau sudah dipanen bisa dimakan langsung (digado), tanpa harus dicampur dengan makanan lain.

Dalam konteks ini, saya sering heran, kenapa kuliner gado-gado, sering diartikan sebagai campur aduk (dicampur-campur), tentunya untuk menunjukkan campuran berbagai sayur-mayur, lauk pauk dengan sambal kacang-nya.

Tetapi lebih tepat sebenarnya adalah masing-masing bahan yang ada di dalamnya sebenarnya bisa dimakan sendiri-sendiri secara terpisah. Ya kentangnya, ya wortel dan saladanya, tahu atau telornya.

Dari berbagai makanan gadon yang dicampur itulah jadi gado-gado. Bagaimana pun istilah gado-gado ini sangat easy listening, karena Wina Bisset dalam buku kulinernya yang yahud itu menterjemahkannya secara tidak nyaman sebagai: Boiled Vegetables and Egg with Peanut Sauce. Ribet! Sudah gitu unsur tahu-nya gak disebut lagi...

Kenapa orang suka mengadu jangkrik? Tentu saja karena praktis, mudah didapat, dan biayanya sangat murah. Binatangnya bisa dicari sendiri, atau kalau malas mencari bisa membeli, dan milih yang disukai. Bandingkan dengan jenis aduan lainnya, seperti adu jago, adu domba, atau malah adu kerbau. Terlalu repot ngurus dan terlalu besar resikonya, salah-salah malah dianggap haram dan tidak berperi kebinatangan.

Biasanya jenis jangkrik yang diadu adalah yang disebut jangkrik kalung kuning, Tentu saja dipilih yang jantan, berwarna hitam legam, dan ada hiasan kalung pada lehernya. Jangkrik ini lebih digemari karena suaranya nyaring dan gerak-geriknya lincah.

Di sini saya sangat masgul dan (harus) nyengir, kenapa jangkrik ini jadi mirip dan melekat pada stereotyping etnis tertentu: hitam, badannya besar dan gempal, suka berkelahi, tapi juga suka pakai kalung dan pandai bernyanyi. Di Indonesia siapa mereka, tentu saya gak berani nyebut. Tapi kalau di Amerika, tentu saya agak lebih berani: orang negro!

Hal ini juga, konon asal mula umpatan kata jangkrik berasal. Perlu diketahui, barangkali umpatan jangkrik lebih banyak digunakan oleh etnis Jawa yang berada di sisi Timur. Dengan Surabaya sebagai locus-nya tentu saja, karena konon di sini banyak berasal saudara-saudara kita dari Indonesia Bagian Timur. Lagi pula umpatan "jangkrik" ini, sama sekali tidak berkonteks menghina, ia merupakan bumbu saat bercanda yang menunjukkan keakraban!

Misalnya: "Jangkrik, kon tambah ganteng ae, Rek". Sebagai anak berayahkan orang Jawa Timur, saya akan senang bila dipisuhi ayah saya. Karena saya tahu, beliau sedang senang bahkan bangga terhadap anaknya. Contohnya: "Jangkring, yang-mu ayu tenan, Le". Kalau yang ini ngayal, karena saya tidak pernah punya pacar yang jelita!

Dalam konteks hari ini, pernyataan Jokowi yang bikin heboh belakangan ini. Bisa muncul sebenarnya karena ia sangat paham, pada hakekatnya gaya berpolitik di Indonesia ini jangankan makin maju, tetapi malah makin mundur ke belakang. Demokrasi Pancasila yang didengung-dengungkan sebagai harus mengedepankan tepa selira, tenggang rasa, dan toleransi itu makin gelap dan nyaris lenyap.

Setiap hari kita direprodusir head to head dalam dua kutub yang berbeda: Jokowi vs Prabowo, yang derivasinya menjadi Koalisi Indonesia Hebat vs Merah Putih, lebih ke bawah kubu Kecebong dan Kampret, bahkan yang paling menghina adalah Partai Setan vs Partai Allah.

Semuanya tentu saja hanya omong kosong dan nyaris tak bermakna. Sehingga ketika, bahkan Jokowi yang selama ini dianggap sangat asketis, diam dan bersabar menghadapi para musuhnya yang saya yakin juga tambah banyak dan makin kalap itu.

Ketika ia hanya sekedar memotivasi agar para relawannya tidak takut dan berani melawan-pun. Sebuah kalimat yang datar-datar saja sebenarnya, dan lumrah adanya karena sekian lama dia sama sekali tidak menunjukkan reaksi apapun. Kemudian menimbulkan reaksi yang heboh!

Meledaklah reaksi kubu sebelah, hingga titik yang paling dramatik, bukan saja mengecam habis, bahkan belakangan Jokowi dilaporkan kepada empat lembaga yang berbeda (gak penting juga lembaga apa saja, karena bisa lebih banyak dari itu).

Bila dipahami betul, begitulah reaksi jangkrik sebelum mereka diadu. Mereka akan mengerik, berbunyi kencang sekali. Hal yang secara alamiah terjadi yang suaranya paling kencang, biasanya kemudian akan kalah. Mungkin lengkingannya semacam seruling kematian Izrail. Tiupan terompet kekalahan, ucapan selamat tinggal....

Apa yang dilakukan Jokowi adalah memotivasi para relawannya, yang dalam konteks adu jangkrik dilakukan dengan diberi mantra atau apa yang disebut "dijantur". Setelah dijantur, jangkrik lantas lebih berani menghadapi lawannya. Bahkan orangTionghoa menciptakan obat-obatan khusus,agar jangkrik aduan menjadi perkasa dan senantiasa menang. Ampuhnya ramuan itu diungkapkan sebagai “sekali gigit akan lekas lari, tiada mau berhadapan lagi".

Nasib buruk yang digambarkan sebagai di samping mati, ada jangkrik yang putus giginya, perutnya keluar, sayap atau kakinya putus akibat gigitan lawan.

Tahukah bagaimana bunyi mantra itu: "Jantur, jantur, musuhmu gedhe dhuwur, cokoten nganti ajur".

Kira-kira artinya jangkrik, jangkrik, musuhmu tinggi besar, gigitlah sampai hancur lebur.

Cocok dengan konteks situasi politik teraktual, semangat bertempur, dan profil calon lawan Jokowi.

***