Tentukan Cawapres, Gerindra dan Demokrat Saling Mengunci

Senin, 6 Agustus 2018 | 09:46 WIB
0
373
Tentukan Cawapres, Gerindra dan Demokrat Saling Mengunci

Kalau mau dibilang biang kisruh Koalisi Prabowo, sebutlah sementara begitu, adalah kehadiran "orang ketiga" bernama Partai Demokrat. Sebelumnya, tiga partai anggota koalisi masih asyik-asyik saja mendayung sampan yang sama, sebagaimana terjadi pada Pilpres 2014.  Pada Pilpres 2019 ini, sejatinya tiga partai koalisi ini masih utuh sesampan-setujuan.

Datanglah kemudian Partai Demokrat yang meski pahit harus dikatakan, mengacaukan ombak yang sedang dilayari tiga parpol Koalisi Prabowo. Memang sih sampan yang digunakan Demokrat terlihat lebih mulus, kencang, lebih besar, dan lebih banyak makanan bergizi di sana. Adalah Prabowo Subianto, boss dari koalisi itu yang kemudian main mata dengan boss Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, si empunya sampan.

Main mata yang belum tentu beranjak ke pelaminan itu harus dibayar mahal, PAN dan terutama PKS cemburu pol, tetapi kemarahan tetap disimpan meski sebenarnya mau meledak juga. Prabowo tentu harus memastikan bahwa PKS maupun PAN tetap aman meski ada Demokrat.

PKS sangat berkepentingan agar Prabowo tidak melirik yang lain, sebab jatah kilir Cawapres untuk partainya jatuh pada Pilpres 2019 nanti. Tersebab, pada Pilpres 2014 Prabowo meminang Hatta Rajasa dari PAN. Wajar dong kalau PKS minta keadilan dalam kilir politik ini. Apalagi PKS punya sembilan bakal capres/cawapres dan dari sanalah Prabowo dipersilakan memilih salah satu di antaranya untuk cawapres.

Tapi mimpi tinggal mimpi, harapan tinggal harapan ketika Demokrat tiba-tiba merapat, merangsek, menawarkan satu opsi menarik, yaitu berkerja sama dengan Koalisi Prabowo. Memangnya ada makan siang gratis dalam politik? Ya ga ada. Demokrat dengan dukungan suara lumayan, basis massa militan, visi yang jelas dan gizi yang baik, menawarkan Putera Mahkota Cikeas, Agus Harimurti Yudhoyono alias AHY sebagai cawapres.

Saking seriusnya pendiri Demokrat dalam hal ini ayahanda AHY mempromosikan putera sulungnya untuk jadi "orang" atau "seseorang", iklan luar ruang berupa baliho raksasa dengan tagline "Siap" memenuhi pusat-pusat kota, menjadi pemandangan baru setelah poster baliho raksasa Cak Imin dan Rommy lenyap. Bila perlu, program acara televisi pun dibeli demi menampilkan sekaligus mengenalkan sosok AHY kepada publik.

Ironisnya, Demokrat yang punya gizi baik mau bergabung ke Koalisi Prabowo asalkan capresnya bukan Prabowo. Lha... gimana ini!? Demokrat mau capresnya Anies Baswedan dengan cawapresnya AHY (ya iyalah masa Ibu Ani). Atau dibalik; AHY capres, Anies cawapres. Lucu? Masak komposisinya begitu? Lha AHY 'kan kalah di Pilkada DKI dan yang jadi juaranya Anies, masak Anies jadi wakilnya? Ya, namanya juga usaha. Apa salahnya call tinggi?

Keinginan Demokrat ini yang membuat Prabowo berkeringat, tertangkap kamera saat sedang menyeka keringat di keningya pake handuk kecil saat jumpa pers bersama SBY.

Sementara Gerindra dan PKS mau Prabowo jadi wapres, apalagi Gerindra yang sudah memberi mandat, asal cawapresnya Salim Segaf Aljufri atau rekomendasi Ijtima Ulama. Perlu diketahui, Ijtima Ulama yang dibesut GNPF itu merekomendasikan dua varian capres-cawapres, yaitu Prabowo-Ustad Abul Somad atau Prabowo-Aljufri.

UAS sudah berkali-kali menyatakan tidak bersedia dan memberi kesempatan kepada Aljufri. Persoalannya, elektabilitas Aljufri di lingkup PKS sendiri bener-bener "elek" dan kedodoran, kalah sama Aher atau tokoh lainnya. Kasarnya, varian Prabowo-Aljufri ini sulit dijual di pasaran Pilpres 2019. Masih bagus Prabowo-UAS yang sudah punya massa fanatik yang real, yang diperkirakan bakal menyulitkan calon petahana, Jokowi.

Menjadi pertanyaan tambahan, mengapa sosok Aljufri yang di PKS elektabilitasnya tergolong "elek" dan kalah moncer dengan Aher justru yang dipilih mendampingi Prabowo. Jawabannya sederhana; ini "Arab Connection" mengingat yang utak-atik dua varian ini adalah Rizieq Shihab yang jelas-jelas keturunan Arab dan masih tinggal di Arab Saudi sana.

Ini yang bikin Prabowo gundah, sebab sebagai politikus ulung dan berpengalaman, ia bisa dengan mudah memperkirakan leading-nya Jokowi jika berpasangan dengan cawapres yang elektabilitasnya "elek". Tapi di sisi lain, PKS harus terima Ijtima Ulama, ga mungkin menyodorkan Aher atau Anis Matta, misalnya. Apa kata dunia PKS membangkang keputusan ulama, toh yang penting kadernya masuk, bukan?

Jadi.... yang terjadi di Koalisi Prabowo ini posisi saling kunci. Kalau Gerindra gabung PKS, jelas Demokrat yang terkunci. Kalau Gerindra merapat ke Demokrat, PKS yang giliran terkunci. Lalu di posisi mana PAN? Sebentar....

Katakanlah di saat keterkuncian itu Prabowo patuh pada Ijtima Ulama dan menggandeng Aljufri, maka narasi yang dibangun untuk pendukung Gerindra adalah; pencapresan Prabowo penting untuk menjaga elektabilitas Gerindra, sebab kalau tidak begitu Gerindra akan terpecah-belah seperti bambu tiang bendera. Sementara untuk pendukung PKS narasi yang dibangun adalah; harus taat dengan keputusan ulama lewat kader PKS yang dijadikan cawapres aspirasi partai lebih terjaga.

Nah di mana posisi PAN? Ini partai memang suka Plin PAN. Saat ini saja sebenarnya ada di pemerintah dengan menempatkan kadernya sebagai menteri, tetapi dalam koalisi lebih bermain di tempat Koalisi Prabowo. Akhirnya, pada gonjang-ganjing pembentukan koalisi ini, PAN nyaris tidak disebut-sebut, seperti ada dan tiada. Suara Amien Rais yang keras pun tidak terdengar lagi, mungkin dia lelah....

Jika Gerindra si pemilik 73 kursi (13 persen) akhirnya merapat ke Demokrat yang memiliki 61 kursi (10,9 persen) dan Gerindra 73 kursi (13 persen) sehingga total 134 kursi (23,9 persen), ini jumlah yang lebih dari cukup dari syarat minimal ambang batas presidensial, yakni 112 kursi atau 20 persen. Artinya Gerindra dan Demokrat bisa jalan berduaan saja, meninggalkan PKS dan PAN.

Lha, kemudian PKS dan PAN mau dikemanakan? Jangan salah, pekan lalu beredar isu pembentukan "Koalisi Islam" yang beranggotakan PBB, PKB, PKS dan PAN. PBB dengan Yusril Ihza Mahendra ambil inisiatif, meski tak punya satupun kursi di DPR, yaitu mengajak PKB.

Dan, potensi PKB angkat kaki dari Koalisi Jokowi juga besar, karena rengekannya agar Jokowi memilih Cak Imin sebagai cawapres belum digubris. Sedangkan PAN dan PKS bisa gabung bareng jika keduanya kecewa atas sikap Gerindra-Demokrat, yang dari main-mata, pacaran, sampai akhirnya naik ke pelaminan.

***