Setelah peristiwa G.30S PKI tahun 1965, dunia karate Indonesia terkena getahnya. Sebab ketua umum PORKI, Kolonel Latief dituduh terlibat dalam peristiwa itu. Ia pun dijebloskan dalam tahanan militer.
Namun Sabeth Mukhsin dkk tetap memromosikan karate ke sejumlah kampus dan demonstrasi pada PON 1969 di Surabaya. Ia menjual kendaraannya untuk membiayai acara tersebut. Tujuannya, karate semakin dikenal di Indonesia dan dapat dipertandingkan dalam PON berikutnya.
“Seperti pesan Profesor Nakayama, kelak karate harus bisa dipertandingkan di Asian Games dan olimpiade. Maka saya harus berjuang terlebih dahulu agar karate bisa dipertandingkan di PON, Sea Games, Asian Games, dan puncaknya di olimpiade,” ungkap Sabeth.
Pada 1970, komite eksekutif PORKI Pusat yang ditunjuk sebagai ketua umum kedua PORKI, Profesor Prayudi. Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta (Untag) itu mendapatkan undangan dari Jepang.
Undangan bagi PORKI untuk mengikuti kejuaraan dunia karate di Jepang. Sekaligus membentuk persatuan organisasi karate-do dunia atau WUKO (World Union Karate-do Organization).
Pada Kongres III PORKI, KONI Pusat menetapkan ketua umum Kolonel Sudarsono dengan ketua Majelis Sabuk Hitam, Sabeth Mukhsin. Sabeth dipilih, karena dianggap paling mengetahui sejarah dan ilmu karate.
Bentuk WUKO
Sabeth menjadi penghubung karate Indonesia ke Jepang. Selain mengerti bahasa serta huruf kanji Jepang, ia punya akses lengsung ke Profesor Nakayama yang juga gurunya di Tokyo.
Pada seleksi kejuaraan dunia tersebut, PORKI mulai terpecah. Ada PORKI hasil kongres yang dipimpin Kolonel Sudarsono dan Sabeth. Ada PORKI Anton Lesiangi, Gojukai, dan KKI. Namun hasil seleksi PORKI kongres yang menang.
Tim PORKI kongres pun terbentuk sebagai delegasi Republik Indonesia ke kejuaraan dunia dan pembentukan WUKO di Tokyo dan Osaka. Terdiri dari lima orang dipimpin Sabeth sebagai tim leader, delegasi, merangkap atlet. Yang lainnya adalah Abdul Latief, Idrus Gangsa, Bambang Suseno, dan Mahyon Sikumbang.
“Jadi, delegasi itu juga hadir sebagai utusan PORKI dan Indonesia turut membentuk WUKO di Jepang,” ungkap Sabeth.
Selama sebulan di Tokyo, mereka juga mengikuti gashuku dan ujian JKA. Hasilnya, Sabeth Mukhsin dan Woro Sarono, naik dari DAN II menjadi DAN III. Abdul Latief dan Idrus Gangsa menjadi DAN II. Sedangkan Bambang Suseno dan Mahyon Sikumbang, naik dari sabuk coklat menjadi sabuk hitam DAN I.
Beberapa bulan setelah itu, mereka mendirikan Inkai pada 15 April 1971. Ketua dirangkap oleh ketua MSH dan ketua dewan guru, Sabeth Mukhsin. Diawali dari gagasan Komite eksekutif PORKI Pusat tentang Akademi Karate-do Indonesia, pada 1970.
Di situlah Inkai sebagai karate-do standar dibentuk oleh MSH PORKI. Inkai PORKI kemudian menjadi anggota tetap KONI Pusat. Berdiri pula Indonesia karate-do (Inkado) dipimpin Baud Adikusumo, serta Lembaga Karate-do Indonesia (Lemkari) dipimpin Anton Lesiangi. Baik Sabeth, Baud mauoun Anton sama-sama dari Shotokan Karate-do.
Akhirnya pada 1972, PORKI berubah menjadi FORKI. Sejak 1972 hingga 1984 itulah Inkai FORKI menguasai perkaratean di Indonesia. Baik jumlah pengikutu maupun prestasi dibandingkan perguruan karate lainnya. “Sekitar 60 sampai 65 persen karate di Indonesia itu Inkai,” ujar Sabeth.
Pada 1972 itu pula Indonesia mengikuti kejuaraan dunia kedua WUKO di Paris, Prancis. Karate sudah mulai berkiprah di Eropa. Pada tahun itu pula digelar kongres IV PORKI, sekaligus kongres pertama FORKI. Mayjen Wijoyo Suyono didapuk menjadi ketua umum pertama FORKI.
Pada 1973 dipertandingkan antar-aliran pertama dan terakhir. Kemudian Pangdam Jayakarta, Mayjen GH Mantik didaulat menjadi ketua umum pertama Inkai.
***
Tulisan sebelumnya:
http://pepnews.com/2018/07/28/tradisi-karate-1-kiprah-sabeth-mukhsin-sampai-fauzan-noor/
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews