SBY, Louis Vuitton dan Kemiskinan yang Digelembungkan

Sabtu, 4 Agustus 2018 | 21:06 WIB
0
684
SBY, Louis Vuitton dan Kemiskinan yang Digelembungkan

Saya meriset SBY itu bukan alang kepalang ribetnya. Saya sampai tahu betul di mana batik SBY itu dipesan. Saking seringnya pesan di suatu tempat, hingga mantunya yang "pernah" demikian cantik jelita itu bikin butik sendiri di Pacific Place. Sekarang sih gak cantik-cantik amat, sudah jadi istri orang. Mosok muji istri orang, rugi bandar!

Namanya juga butik (bukan bulik atau bude), jelas harga-harga batik yang dipajang di sana juga super mahal. Sekali saya pernah mengunjunginya untuk sekedar melihat, menyentuh, dan membuat perbandingan harga. Yaowoh, itu harga gak sopan! Karena saya tahu betul dari perajinnya berapa.

Nama butiknya adalah Alleira. Sebetulnya pendirinya bukan dia, tapi kongsi antara Lisa Kurniawaty Mihardja dan Anita Asmaya Vanin, Lisa kemudian menjalin kerja sama dengan Annisa Pohan untuk memasarkan merek ini. Mula-mula jadi brand ambasaddor, hingga akhirnya membesar, menggurita, dan merambah ke mall-mall mahal hingga ke luar negeri.

Jadi jangan salah, SBY dan keluarganya ini sejenis peragawan yang memasarkan merek tertentu. Membuktikan ia ini paling pandai membuat segala sesuatu jadi menggurita, sesuai bener dengan judul buku tentang dirinya yang laris manis itu, "Gurita Cikeas". Buku yang menurut saya sangat absurd, ditolak datanya, tapi tidak benar-benar berani dilawan secara hukum.

Berarti, keluarga ini memang biasa membantah, tapi gagal membuktikan dasar bantahannya. Dalam bahasa Jawa, orang seperti ini sering disebut dengan ejekan Raden Enda Kusuma. Enda itu mengelak, kusuma itu terhormat. Jadi kira-kira tukang pengelak yang terhormat...

Begitu juga, saat preseden ia mengkritik Jokowi tentang kegagalannya mengentaskan kemiskinan. Di satu pihak Jokowi melalui Menkeu-nya mengklaim penurunan tingkat kemiskinan. Di sisi lain, SBY memblow-up peningkatan drastis jumlah orang miskin. Padahal data yang dipakai sama, yaitu data BPS. Bedanya SBY mendramatisasinya menggunakan data yang konon dari Bank Dunia.

Di sinilah absurdnya SBY, bagaimana mungkin Bank Dunia membuat laporan seperti itu. Kalau betul, bodoh betul dia, berarti ia sedang mempermalukan dirinya sendiri. Mana mungkin sebuah bank membuat laporan kinerja buruk untuk negara yang sedang dikasih kredit.

Sialnya lagi, SBY ini menyebut angka yang fantastis: 100 juta orang miskin!

Bagaimana mungkin seorang mantan presiden yang pernah berkuasa 10 tahun, menghina nasib rakyatnya sendiri. Kalau angka itu benar, berarti satu di antara dua orang Indonesia bisa dikategorikan miskin. Berati satu di antara dua, atau malah mungkin dua-duanya yang baca status ini pasti orang miskin. Sungguh allegori yang luar biasa jahat.

Sementara itu, tanpa sengaja ketika ia mengatakan hal itu ada seorang yang mengenali jenis sepatu yang dikenakannya. Konon bermerek Louis Vuitton yang harganya mencapai Rp13 juta satu pasang. Sebuah ironi atau sebuah kegilaan? Gak juga! Mungkin 90% pemimpin dunia juga melakukannya.

Kalian pikir, bagaimana orang meniti jalan untuk jadi berkuasa kalau gak jualan kemiskinan. Bahkan Donald Trump yang seorang konglomerat dalam kampanye-nya merasa bahwa kekayaan negaranya telah dicuri oleh para immigrant, baik yang terang, setengah terang, agak gelap maupun yang sungguh-sungguh gelap. Ia merasa warga resminya telah lama dimiskinkan!

Dalam hal merek Louis Vuitton, SBY juga gak salah-salah amat! Mungkin ia tahu sejarah merek terkenal itu, itu juga kalau ia sempat baca. Nama tersebut lahir dari seorang remaja super miskin tanpa pekerjaan. Tak tahan dengan kehidupannya di perbatasan Perancis, Louis Vuitton yang lahir pada 1821 mengungsi ke beberapa tempat sejak usia 14 tahun.

Dua tahun kemudian, dia tiba di Paris dan melamar di sebuah pabrik pembuat koper dan peti barang, Mosieur Marechal. Dia mengabdi selama 17 tahun di perusahaan tersebut, hingga tahun 1854 berhasi mendirikan toko pertamanya bernama Louis Vuitton Malletier (Louis Vuitton si pembuat koper).

Inovasi Vuitton terus membuat tas koper buatannya semakin modern. Pola dan karyanya yang unik dan berbeda membuat produknya populer di kalangan selebritis dan keluarga kekaisaran. Pada 1888, dia mulai mematenkan namanya dengan membuat lambang L dan V sebagai tanda merek besar Louis Vuitton.

Dengan menggunakan merek LV itu, bukankah sebenarnya SBY telah mendorong orang lain untuk terinspirasi bangkit dari kemiskinan. Sayang kok dia gak mau cerita gitu loh!

Ironi inilah yang selalu terjadi pada merek-merek mahal yang digunakan kaum jet-set, mereka hanya end-user, pengguna akhir yang tidak pernah mempelajari asal-usul sejarah merek yang digunakannya. Jadi mulai sekarang, gak boleh malu-malu kucing menggunakan merek mahal sekelas Louis Vuitton, karena kita bisa bilang ini cara lain untuk membela kemiskinan loh! Dyarwe...

Panggung politik Indonesia hari-hari ini adalah sejarah ironi yang tak terputus. Sebuah anekdot historis pernah terjadi jauh waktu sebelumnya, yang akan selamanya dikenang. Ketika Tiga Serangkai itu Soekarno-Hatta dan Sjahrir dalam masa tahanan. Masing-masing ditanya apa yang paling diinginkannya. Hatta minta disediakan buku, Syahrir memesan koran berbahasa Belanda, sedangkan Soekarno memilih Kemeja Arrow!

Dulu kemiskinan itu bagi Sukarno bukan alasan untuk tampak kucel. Kalau hari ini ada orang berbicara tentang kemiskinan yang makin parah, sembari dirinya berbusana super mahal. Bukankah itu juga bentuk lain rasa kepedulian, masih mau inget zaman susah dulu. Jangan lupa hingga sebelum masuk AKABRI, sejarah SBY juga sejarah kemiskinan yang teramat sangat. Walau tetap saja itu kepedulian yang sungguh busuk, jahat dan penuh muslihat...

***