Poros Islam dan Gelagat Plin-Plannya PKB di Koalisi Jokowi

Jumat, 3 Agustus 2018 | 10:57 WIB
0
695
Poros Islam dan Gelagat Plin-Plannya PKB di Koalisi Jokowi

Perkiraan ini disampaikan politikus Partai Bulan Bintang Sukmo Harsono, entah prediksi atau sekadar "marketing politik" agar orang mengingat partai "Bubin" atau "Lantang" ini di blantika perpolitikan Tanah Air yang sedang mencapai titik didih ini, bahwa bakal muncul koalisi Poros Islam pada Pilpres nanti. Menurut prediksinya, Poros Islam ini akan beranggotakan PBB, PAN, PKS, dan PKB.

Tentu harus dengan argumen dan alasan logis mengapa koalisi Poros Islam ini berpotensi lahir.

Pertama, ternyata tidak mudah bagi Prabowo Subianto melaksanakan Ijtima Ulama yang mengusulkan varian capres-cawapres Prabowo-Salim Segaf Aljufri dan Prabowo-Ustad Abdul Somad. UAS, demikian Ustad Abdul Somad biasa disapa, sudah menyatakan tidak bersedia dan memberikan posisinya kepada Aljufri dari PKS.

Bagi PKS, disebutnya Aljufri mendampingi Prabowo sudah merupakan berita menggembirakan, sebab pencanangan 1 dari 9 capres/cawapres yang disodorkan sudah tercapai. Juga memenuhi rasa keadilan dari sisi koalisi, sebab pada Pilpres 2014 Prabowo berpasangan dengan Hatta Rajasa dari PAN. Wajar kalau sekarang PKS minta dikilir.

Menolak usulan Ijtima Ulama dengan GNPF di belakangnya, yang sebagian besar berafiliasi ke Persaudaraan Muslim (PA) 212, bukan hal yang baik, sebab bisa saja kelompok ini merupakan tambang suara baru yang siap didulang pada Pilpres 2019. Kekuatannya sebagai "kelompok penekan" sudah terbukti ampuh di Pilkada DKI Jakarta.

Kedua, tekanan Partai Demokrat dengan Susilo Bambang Yudhoyono yang sampai titik darah penghabisan akan tetap mengusung Agus Harimurti Yudhoyono alias AHY sebagai cawapres, juga tidak bisa dianggap enteng. Ini ibarat ranjau. Sekali kena injak, detenator lepas maka meledaklah bom ranjau itu.

Menolak ajakan SBY bukan hal yang menguntungkan Prabowo juga di saat logistik ada penuh di Cikeas, sementara gudang logistik Hambalang dikabarkan sedang kosong, sampai-sampai Prabowo membuka donasi bagi siapa saja yang ingin membantu perjuangannya merebut Kursi RI-1. By the way, para pendukung fanatik yang disebut Kampret itu sudah pada nyumbang atau belum, ya?

Menerima tawaran SBY untuk bergabung juga tidak kalah memusingkan Prabowo, malah kalau dalam catur bisa dianggap blunder (kesalahan) besar. Sekali tawaran itu diterima, maka bubarlah kawan lama yang sudah menemaninya sejak lama. Ini dengan catatan kalau Prabowo tidak mahir membujuk PKS dan PAN agar tidak mutung dan tetap meminta kedua partai ini berada di koalisinya.

Perasaan "merasa dikhianati" pasti adalah pada PKS khususnya. Ibarat pacaran sudah lama banget, pas mau naik ke pelaminan, Prabowo melirik yang lain yang lebih kaya dan bahenol pula.

PKS tentu saja merasa dikhianati dan cara untuk menunjukkan atau malah membalas pengkhiatan itu dengan keluar dari Koalisi "Trio Kwek Kwek" yang selalu kompak itu.

Ketiga, faktor Yusril Ihza Mahendra yang harus memperoleh panggung.

Sudah bukan rahasia lagi, secara kepartaian PBB termasuk "gurem", satu kursi DPR pun tak dapat, bukan? Tetapi, dia punya ketua umum yang kharismatik dan berani, yaitu Yusril sendiri. Yusril tidak ragu bergabung dengan GNPF, PA 212, dan tentu saja patuh pada Ijtima Ulama. Masuk ke dua poros besar Jokowi dan Prabowo tipis kemungkinan. Yang memungkinkan adalah menciptakan poros baru. Ya, Poros Islam itu tadi.

"Sejak rekomendasi PA 212 menyebut nama Prabowo, Yusril, Aher, dan Zulkifli, sebenarnya empat parpol ini dalam suasana yang mudah mengambil keputusan pasangan capres dan cawapres," kata Sukmo sebagaimana diberitakan Detik, Kamis 2 Agustus 2018

Menurut Sukmo, Demokrat yang gagal masuk ke koalisi Joko Widodo dan berpaling ke 'koalisi keumatan' yang didorong Rizieq Syihab membuat PKS tak senang. Apalagi ada pernyataan soal opsi abstain yang mungkin diambil PKS di Pilpres 2019.

Keempat, senyampang dengan pernyataan Sukmo ini, PKB lewat pernyataan Wakil Sekjen PKB Jazilul Fawaid mengatakan partainya bisa saja tak lagi mengusung Presiden Joko Widodo jika tak mendapat persetujuan para kyai. Yang dimaksud "kyai" itu adalah kyai Nahdlatul Ulama seolah-olah mengingatkan kesejarahan bahwa PKB lahir dari Nahdlatul Ulama. Padahal, sebagai ormas tersbesar, NU lebih cenderung mendukung Jokowi.

"Karena Cak Imin (Muhaimin Iskandar) mendapat mandat dari para ulama, (arah koalisi) bisa berubah. Namanya juga mandat," kata Jazilul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, sebagaimana dikutip Kompas.com. Saat ini, lanjut Jazilul, para kiai memberi mandat agar Muhaimin menjadi cawapres pendamping Jokowi.

Jelas ini tekanan yang bernada ancaman. Toh Jazilul juga ngeles saat ditanya apakah nanti para kiai tetap merekomendasikan PKB untuk mengusung Jokowi meskipun Muhaimin tak menjadi cawapres. Katanya, hal itu masih akan dibahas dan belum bisa dijawab. "Kami selesaikan satu-satu, dari koalisi sampai tanggal pendaftaran. Kita lihat nanti," katanya.

Katakanlah Jokowi tetapi tidak akan memilih Cak Imin sebagai wakilnya sebagaimana tagline JOIN yang kadung dipasarkan, potensi PKB hengkang ada di sini. Apalagi kalau di antara ketua dan politisi papan atas PKB, PBB, PAN dan PKS saling WA-an atau bikin Grup WA, terciptanya koalisi "Poros Islam" akan semakin menjadi kenyataan.

Dan celakanya memang sudah bisa dipastikan, Jokowi tidak akan menjadikan Cak Imin sebagai cawapresnya. Kalau itu terjadi, bisa bubar dong Koalisi Jokowi ini.

***