Yang paling penting dari kekuasaan adalah kesadaran, bahwa semua ada batasnya. Seperti grafik dalam kehidupan manusia, garisnya bisa terus menanjak, lalu menempati posisi puncak dan setelahnya akan menurun perlahan. Itu siklus kehidupan.
Begitupun dalam politik.
Kita tidak mau mengulang masa lalu dimana kekuasaan bisa tidak berbatas waktu. Sehebat-hebatnya manusia, ketika diberikan kekuasaan yang tidak terbatas, peluang melenceng akan terbuka lebar. Makanya pascareformasi ada undang-undang yang membatasi masa jabatan Presiden, Wakil Presiden, bahkan Gubernur dan Bupati.
Di sana ada kearifan. Ada nuansa sadar diri bahwa regenerasi merupakan kemestian sejarah. Dan bagi sebuah bangsa yang terus bergerak menjadi dewasa kearifan seperti itu sangat dibutuhkan. Agar kita tidak terjebak pada putaran sejarah yang itu itu lagi.
Makanya saya heran ketika Jusuf Kalla bersedia menjadi pihak terkait atas gugatan Perindo ke MK mengenai masa jabatan Presiden dan Wapres. Perindo meyakini masa jabatan dua periode itu apabila disandang dua kali berturut-turut. Sementara JK sendiri menjabat dua kali Wapres dalam waktu yang berlainan.
Kesediaan JK menjadi pihak terkait memang menjadikan gugatan itu memiliki legal standing. Memang sih, JK adalah satu-satunya warga negara yang berkepentingan dengan penegasan itu.
Secara hukum, bersedianya JK maju sebagai pihak terkait bisa dibaca sebagai salah satu jalan untuk mencari jawaban final atas tafsir soal masa jabatan tersebut. Agar tidak ada pertanyaan dan debat serupa di kemudian hari.
Tapi orang juga bisa membaca langkah itu sebagai ambisi JK untuk maju lagi pada Pilpres 2019. Kita tidak tahu.
Soal nikmatnya berkuasa kita juga bisa membaca dari perilaku SBY yang ngotot banget mendorong anaknya di pentas politik nasional.
Iya, sepuluh tahun lalu SBY adalah sentrum politik nasional. Apapun langkahnya akan mendapat apresiasi orang di sekitarnya. Wong dia memang sedang berkuasa.
Tapi sekarang jaman sudah berubah. Masa SBY sudah lewat. Jadi meskipun dia ngotot mendorong AHY, orang tidak mudah mengaminkan begitu saja. Kata Arief Puyuono, wakil ketua Gerindra, AHY itu anak boncel yang belum punya pengalaman politik.
Arief mendapat teguran keras dari Prabowo. Tapi pernyataan Arief tidak gampang dihapus begitu saja. Bagi saya pernyataan itu memang mewakili kenyataan.
Bukan hanya Arief yang berfikir demikian. Saya rasa fikiran yang sama juga dimiliki Ruhut Sitompul, politisi yang sebelumnya dikenal sebagai loyalis SBY. Ketika Pilkada Jakarta kemarin, Ruhut lebih memilih mundur dari Partai Demokrat untuk mendukung Ahok.
Kader Demokrat lain yang menyatakan mundur adalah Zainul Majdi atau TGB. Dia lebih memilih rasionalitasnya untuk mendukung Jokowi ketimbang mengikuti kemauan SBY mendorong AHY.
Di Jawa Timur, meskipun tidak seekstrim Ruhut dan TGB, salah satu petinggi Demokrat Soekarwo tampaknya memberi sinyal lebih mendekat ke Jokowi ketimbang ikut titah SBY ini.
Kita bisa bayangkan bagaimana perasaan SBY yang ditentang orang-orang yang dulu antusias mendukungnya. Tapi sekali lagi, dunia politik telah berubah. Kekuasaan SBY sudah menjadi masa silam. Tidak bisa lagi mengharapkan semua orang mendukung kemauannya.
Intinya, kekuasaan memang memabukkan. Orang yang berkuasa selalu mendapatkan kenikmatan yang tiada tara. Makanya banyak orang gak ikhlas menyudahi masa jayanya.
UU kita menyadari bahwa kekuasaan harus dibatasi. Kita memiliki aturan pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu bagi mereka yang pernah berkuasa, perlu ada kesadaran bahwa grafik akan cenderung menurun setelah mencapai titik puncak. Itulah hukum alam.
Kalau grafik sudah menurun jangankan mendorong anaknya, bahkan jika dia sendiri yang maju, belum tentu hasilnya seperti 10 tahun lalu.
Dunia berubah. Masyarakat berubah. Hanya orang yang ariflah yang bisa meniti perubahan itu dengan perasaan jembar.
"Iya mas, hanya orang yang ariflah yang memahami perubahan dengan baik. Makanya saya setuju sama Ketua Gerindra Arief Puyuono, bahwa AHY itu masih boncel," ujar Abu Kumkum.
"Ibarat melompat moshing, tapi kumpulan orang di bawahnya pada bubar," tambah Bambang Kusnadi.
Nyusep dong.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews