Si Boncel yang Mau Berkuasa

Jumat, 27 Juli 2018 | 08:54 WIB
0
386
Si Boncel yang Mau Berkuasa

Yang paling penting dari kekuasaan adalah kesadaran, bahwa semua ada batasnya. Seperti grafik dalam kehidupan manusia, garisnya bisa terus menanjak, lalu menempati posisi puncak dan setelahnya akan menurun perlahan. Itu siklus kehidupan.

Begitupun dalam politik.

Kita tidak mau mengulang masa lalu dimana kekuasaan bisa tidak berbatas waktu. Sehebat-hebatnya manusia, ketika diberikan kekuasaan yang tidak terbatas, peluang melenceng akan terbuka lebar. Makanya pascareformasi ada undang-undang yang membatasi masa jabatan Presiden, Wakil Presiden, bahkan Gubernur dan Bupati.

Di sana ada kearifan. Ada nuansa sadar diri bahwa regenerasi merupakan kemestian sejarah. Dan bagi sebuah bangsa yang terus bergerak menjadi dewasa kearifan seperti itu sangat dibutuhkan. Agar kita tidak terjebak pada putaran sejarah yang itu itu lagi.

Makanya saya heran ketika Jusuf Kalla bersedia menjadi pihak terkait atas gugatan Perindo ke MK mengenai masa jabatan Presiden dan Wapres. Perindo meyakini masa jabatan dua periode itu apabila disandang dua kali berturut-turut. Sementara JK sendiri menjabat dua kali Wapres dalam waktu yang berlainan.

Kesediaan JK menjadi pihak terkait memang menjadikan gugatan itu memiliki legal standing. Memang sih, JK adalah satu-satunya warga negara yang berkepentingan dengan penegasan itu.

Secara hukum, bersedianya JK maju sebagai pihak terkait bisa dibaca sebagai salah satu jalan untuk mencari jawaban final atas tafsir soal masa jabatan tersebut. Agar tidak ada pertanyaan dan debat serupa di kemudian hari.

Tapi orang juga bisa membaca langkah itu sebagai ambisi JK untuk maju lagi pada Pilpres 2019. Kita tidak tahu.

Soal nikmatnya berkuasa kita juga bisa membaca dari perilaku SBY yang ngotot banget mendorong anaknya di pentas politik nasional.

Iya, sepuluh tahun lalu SBY adalah sentrum politik nasional. Apapun langkahnya akan mendapat apresiasi orang di sekitarnya. Wong dia memang sedang berkuasa.

Tapi sekarang jaman sudah berubah. Masa SBY sudah lewat. Jadi meskipun dia ngotot mendorong AHY, orang tidak mudah mengaminkan begitu saja. Kata Arief Puyuono, wakil ketua Gerindra, AHY itu anak boncel yang belum punya pengalaman politik.

Arief mendapat teguran keras dari Prabowo. Tapi pernyataan Arief tidak gampang dihapus begitu saja. Bagi saya pernyataan itu memang mewakili kenyataan.

Bukan hanya Arief yang berfikir demikian. Saya rasa fikiran yang sama juga dimiliki Ruhut Sitompul, politisi yang sebelumnya dikenal sebagai loyalis SBY. Ketika Pilkada Jakarta kemarin, Ruhut lebih memilih mundur dari Partai Demokrat untuk mendukung Ahok.

Kader Demokrat lain yang menyatakan mundur adalah Zainul Majdi atau TGB. Dia lebih memilih rasionalitasnya untuk mendukung Jokowi ketimbang mengikuti kemauan SBY mendorong AHY.

Di Jawa Timur, meskipun tidak seekstrim Ruhut dan TGB, salah satu petinggi Demokrat Soekarwo tampaknya memberi sinyal lebih mendekat ke Jokowi ketimbang ikut titah SBY ini.

Kita bisa bayangkan bagaimana perasaan SBY yang ditentang orang-orang yang dulu antusias mendukungnya. Tapi sekali lagi, dunia politik telah berubah. Kekuasaan SBY sudah menjadi masa silam. Tidak bisa lagi mengharapkan semua orang mendukung kemauannya.

Intinya, kekuasaan memang memabukkan. Orang yang berkuasa selalu mendapatkan kenikmatan yang tiada tara. Makanya banyak orang gak ikhlas menyudahi masa jayanya.

UU kita menyadari bahwa kekuasaan harus dibatasi. Kita memiliki aturan pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu bagi mereka yang pernah berkuasa, perlu ada kesadaran bahwa grafik akan cenderung menurun setelah mencapai titik puncak. Itulah hukum alam.

Kalau grafik sudah menurun jangankan mendorong anaknya, bahkan jika dia sendiri yang maju, belum tentu hasilnya seperti 10 tahun lalu.

Dunia berubah. Masyarakat berubah. Hanya orang yang ariflah yang bisa meniti perubahan itu dengan perasaan jembar.

"Iya mas, hanya orang yang ariflah yang memahami perubahan dengan baik. Makanya saya setuju sama Ketua Gerindra Arief Puyuono, bahwa AHY itu masih boncel," ujar Abu Kumkum.

"Ibarat melompat moshing, tapi kumpulan orang di bawahnya pada bubar," tambah Bambang Kusnadi.

Nyusep dong.

***