Condong ke Mana Pilihanmu; Jokowi atau Prabowo?

Selasa, 24 Juli 2018 | 10:03 WIB
0
660
Condong ke Mana Pilihanmu; Jokowi atau Prabowo?

Pilpres 2019 sudah dekat, apakah anda sudah yakin siapa presiden yang akan dipilih? Kalau masih ragu baca literatur tentang rekam jejak calon presiden siapakah yang lebih menjanjikan.

Banyak pengamat menilai keterpilihan Prabowo masih lebih kecil dibandingkan dengan Jokowi, tetapi sementara internal dari Prabowo meyakini Prabowo kandidat terkuat Presiden 2019. Mereka menilai Jokowi mempunyai barisan orang-orang anti Islam, terlalu berani berutang dan mereka khawatir akan masa depan negeri ini dengan seringnya menumpuk utang hanya untuk “infrastruktur”.

Maka orang orang di belakang Prabowo terus mendorong munculnya gerakan#GantiPresiden2019. Selama beberapa tahun terakhir ini isu-isu negatif tentang Jokowi terus digoreng. Dengan berbagai rupa-rupa, bahkan sengaja mereka menutup mata terhadap sisi positifnya. Pokoknya apapun kebijakan Presiden Jokowi selalu salah.

Menjadi oposan memang harus cerdas dan pintar memutarbalikkan fakta, pun mereka harus tahu celah kesalahan sekecil apapun untuk bisa menjatuhkan reputasi petahana. Trik politik memang harus cermat, tidak akan ada lawan sempurna karena Presiden, politisi atau pemimpin negara bukan malaikat, bukan Tuhan.

Pasti akan ada blunder atau titik kesalahan yang perlu dikritisi, dibawa ke ranah perbincangan hangat entah talkshow, seminar, diskusi politik, blog, koran, majalah  gosip –gossip, dan hoax-hoax yang bisa memberikan dampak tergerusnya dukungan rakyat kepada penguasa.

Politisi itu licin seperti belut, licik seperti ular. Dalam khasanah pewayangan muncul tokoh serupa Sengkuni yang perwatakannya kalau digambarkan adalah orang yang licik, mempunyai seribu cara untuk menjatuhkan lawan, tidak pernah mempunyai teman yang langgeng, karena teman terbaiknya adalah kepentingan. Sejauh selalu sepaham dengan kepentingannya maka akan ia bela mati-matian, bahkan sebenarnya ia tahu tokoh yang didukung itu adalah orang yang salah yang reputasinyapun masih dipertanyakan.

Banyak politisi hanya mengamini bahwa yang perlu ia dukung adalah orang yang mau memberinya kesempatan untuk menggenggam kekuasaan.

Menjadi politisi itu tidak harus seratus persen menjadi orang soleh. Tetapi mereka meyakini perlu membentuk diri seakan-akan mereka adalah orang-orang yang taat akan agama dengan membungkus perkataan, penampilan diri, gelar, seakan-akan mereka adalah sosok tokoh yang agamis dan seakan membela mati-matian agamanya dengan penampilan diri(pencitraan).

Yang mempunyai uang perlu menyediakan budget untuk membentuk citra seakan-akan ia adalah tokoh korban bully-an, korban konspirasi, dan tokoh yang menjadi korban kenyinyiran media sosial. Politik belas kasihan sah-sah saja dilakukan agar mendapat simpati “rakyat”. Penulis tahu sifat dasar rakyat yang mudah kasihan kepada orang yang menjadi korban “fitnah”politisi, komentator medsos.

Maka sah-sah saja para calon penguasa perlu berita sensasi, perlu perhatian publik, perlu munculnya cerita heroik yang akan memberinya keuntungan yaitu dikenal, dibelaskasihani, diberi dukungan agar kans nya sebagai pucuk pimpinan tertinggi kekuasaan besar. Koruptor saja masih aman jika masih menggenggam modal banyak.

Sekarang para koruptor kecil yang belangsatan karena celah korupsinya mengecil, tapi untuk koruptor kelas kakap, rasanya rakyat masih melhat mereka tersenyum-senyum di televisi, menjadi narasumber di sejumlah forum diskusi, seminar, nasional atau wawancara di media baik audio, visual maupun media online.

Mereka politisi kelas kakap benar-benar licin bahkan melebihi belut. Ia masih bisa menjadi public figure yang berbicara seakan-akan ia tokoh pembaharu, penyumbang kesejahteraan rakyat padahal sesungguhnya tanpa disadari rakyat ia adalah tokoh besar dibalik berkembangnya korupsi. Dan itulah betapa banyak masyarakat masih tertipu oleh penampilan tokoh, tertipu oleh betapa dermawannya mereka, betapa ia amat luwes mendekati pusat kekuasaan.

Lalu bila melihat berbagai  fenomena politisi yang licin bagai belut licik bagai ular, bagaimana rakyat menyikapinya. Secara obyektif siapakah yang akan dipilih Prabowo atau Jokowi, atau malah ada alternatif pilihan lain? tanya hati nurani, tapi tentu dengan kejernihan pikir bukan karena fanatisme buta, karena satu garis ideologi.

Menurut penulis Indonesia masih  memerlukan orang yang kerja nyata, kerja tulus dan tidak banyak omong. Jangan pilih orang yang terlalu banyak intrik dan cenderung mengabaikan kecerdasan emosional dan berbicara tidak dengan data akurat.

Setiap pemimpin bagaimanapun tidak ada yang sempurna tidak ada seorangpun pemimpin yang bisa memuaskan semua pihak. Apalagi hidup di negara demokratis yang setiap isi kepalanya berbeda- beda.

Sekali lagi saya akan memilih pemimpin berdasarkan suara hati nurani saya bukan karena pengaruh komentar-komentar nyinyir di media sosial, rayuan tetangga atau penggiringan opini yang sengaja dihembuskan di media baik di media mainstream maupun media online.

Jadi tentu anda bisa menebak pilihan saya khan?! Kali ini saya serius hahaha…

***