Berdasar Analisa Intelijen Ini, Cawapres Terkuat buat Jokowi adalah JK

Jumat, 20 Juli 2018 | 20:31 WIB
0
471
Berdasar Analisa Intelijen Ini, Cawapres Terkuat buat Jokowi adalah JK

Berita terpenting yang terus menjadi teka-teki masyarakat adalah siapa pasangan Capres-cawapres yang akan didaftarkan ke KPU untuk mengikuti pilpres 17 April 2019 tahun depan. Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden pada Pemilihan Presiden 2019, sudah harus didaftarkan antara tanggal 4-10 Agustus 2018, Sementara penetapan dan pengumuman pasangan calon peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ditetapkan tanggal 20 September 2018. Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara pada tanggal 17 April 2019.

Dari nama-nama cawapres yang kabarnya beredar, dan diberitakan sudah dikantongi Presiden Jokowi ada yang berasal dari parpol dan luar parpol. Di antaranya Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar.

Sementara dari luar parpol ada nama mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TBG), dan pengusaha ternama Chairul Tanjung, disebut juga nama Ketua KSP Moeldoko dan beberapa lainnya.

Menurut Wasekjen PDIP Ahmad Basarah  kemungkinan Jokowi baru akan mengumumkannya pada hari-hari terakhir pendaftaran pasangan capres-cawapres ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 10 Agustus 2018 mendatang.

Siapa yang menentukan nama cawapres itu, yang jelas pengaruh Ketua Umum PDIP, Ibu Megawati sebagai parpol pengusung utama, kedua Pak Jokowi sendiri dan ketiga jelas persetujuan parpol-parpol pendukungnya, idealnya terjadi kesepakatan bersama.

Siapa Calon Itu?

Apabila kita simak, dari nama-nama di atas, sebaiknya kita perhatikan perkembangan politik yang ada. Kini Partai Perindo mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konsitusi. Mereka menggugat Pasal 169 huruf n yang menghalangi Perindo yang akan mengusung Wapres Jusuf Kalla (JK) pada Pilpres 2019 sebagai cawapres.

Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa capres-cawapres bukanlah orang yang pernah menjadi presiden atau wakil presiden sebanyak dua periode. Sementara itu, JK sudah dua kali menjabat sebagai wapres, yakni pada 2004-2009 dan 2014-2019.

[caption id="attachment_11959" align="alignright" width="557"] Harry Tanoe (Foto: Partai Perindo)[/caption]

JK terkendala oleh adanya frasa 'tidak berturut-turut' di dalam bunyi penjelasan Pasal 169 huruf n, demikian bunyi gugatan Perindo yang diunggah di situs resmi MK. Uji materi ini didaftarkan Perindo pada Selasa (10/7/2018). Perindo diwakili kuasa hukum Christophorus Taufik, Ricky K Margono, dan lainnya.

Sebelumnya, MK sudah pernah menolak gugatan serupa yang diajukan oleh Muhammad Hafidz dkk. MK tidak memproses gugatan itu karena pemohon dinilai tak mempunyai kedudukan hukum atau legal standing. Namun, Rofiq optimis gugatan Perindo akan diterima MK. Sebab, Perindo memiliki legal standing yang kuat sebagai parpol peserta pemilu.

Sementara itu,  Wakil Presiden RI Jusuf Kalla mengatakan, bersedia mendampingi Presiden Joko Widodo kembali pada Pemilu Presiden 2019. Asalkan, undang-undang memperbolehkan dirinya kembali maju untuk jabatan yang sama pada Pilpres 2019. "Demi bangsa dan negara. Ini kita tidak bicara pribadi saja. Bicara tentang bangsa ke depan," katanya di Kantor Wakil Presiden RI, Jakarta, Selasa (17/7/2018). "Nanti kita lihatlah perkembangannya (uji materi di Mahkamah Konstitusi)," tambahnya.

Hasil Survei dan Peluang Petahana

Hasil survey Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dari Denny JA, mengungkapkan, ada tren kenaikan elektabilitas terhadap Presiden Joko Widodo setelah pelaksanaan Pilkada Serentak 2018. Hal itu terungkap dari hasil survei LSI yang dilakukan terhadap 1.200 responden pada periode 28 Juni-5 Juli 2018.

LSI menanyakan kepada responden, jika Pilpres 2019 dilakukan sekarang, siapa kandidat yang akan dipilih di antara nama-nama yang disajikan. "Posisi saat ini elektabilitas Jokowi di angka 49,30 persen. Ada kenaikan dibanding survei bulan Mei yang saat itu posisinya 46 persen. Ada kenaikan 3,3 persen kata Adjie Alfaraby dalam rilis survei, Selasa (10/7/2018).

Adjie juga menjelaskan elektabilitas lawan cenderung stagnan jika melihat hasil survei bulan Mei dan Juli ini. Pada survei Mei 2018, elektabilitas total dari gabungan nama-nama lawan Jokowi sebesar 44,7 persen. Pada survei Juli, elektabilitas lawan-lawan Jokowi berada di angka 45,2 persen.

Berdasarkan survei LIPI, elektabilitas Jokowi pada pertanyaan terbuka mencapai 46 persen, sedangkan Prabowo sekitar 17 persen. Survei digelar pada 19 April hingga 5 Mei 2018 dengan melibatkan 2.100 responden. Margin of error survei sebesar +/- 2,14 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.

"Pilihan capres lewat pertanyaan terbuka/top of mind, Jokowi 46 persen, Prabowo Subianto 17 persen," kata peneliti senior Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI Wawan Ichwanuddin dalam paparan hasil survei di Hotel Century Park, Jakarta, Kamis (19/7/2018).

Untuk cawapres Jokowi, responden paling banyak memilih nama Prabowo Subianto, di posisi kedua Anies Baswedan dipilih 11 persen responden. Sementara itu, Anies Baswedan dan Gatot Nurmantyo paling banyak dipilih responden sebagai bakal cawapres Prabowo."Posisi cawapres untuk Prabowo teratas diisi Anies (23,1 persen), Gatot (20 persen), dan AHY (15,7 persen)," kata Wawan.

Survei Cyrus bertajuk 'Pemetaan Peluang Capres dan Cawapres Menjelang Pilpres' ini digelar pada 27 Maret-3 April. Penarikan sampel dilakukan dengan metode multistage random sampling. Jumlah respondennya sebanyak 1.230 orang, yang tersebar secara proporsional pada 123 desa/kelurahan terpilih di 34 provinsi. Tingkat kepercayaan survei ini adalah 95 persen, dengan margin of error +/- 3 persen. Hasil survey, elektabilitas calon presiden saat ini (top of mind), Jokowi: 58,5 persen, Prabowo Subianto: 21,8 persen dan Gatot Nurmantyo: 2 persen.

Melihat perkembangan politik, khususnya siapa yang akan maju, nampaknya besar kemungkinan hanya akan ada dua calon presiden yaitu Jokowi dan Prabowo. Di satu sisi Pak Jokowi sudah pasti akan maju sementara apakah Prabowo yang diberitakan pasti maju, bukan tidak mungkin akan menyerahkan posisi play maker tersebut kepada tokoh lain, yang sudah mempunyai elektabilitas walaupun masih rendah, bisa Anies Baswedan ataupun Gatot Nurmantyo.

[caption id="attachment_11961" align="alignleft" width="517"]

Prabowo Subianto dan Anies Baswedan (Foto: Tribunews)[/caption]

Kemungkinan besar Gerindra akan bergabung dengan PKS dan PAN. Sementara Partai Demokrat masih belum menentukan koalisinya, nampaknya juga akan ke Hambalang. Seberapa besar pengaruh parpol dalam pilpres nanti?

Ini pertanyaan mendasarnya. Pertama parpol jelas berpengaruh dalam mengusung pasangan capres-cawapres (presidensial threshold  20 persen), kedua para kader dan simpatisan sangat diharapkan akan mendukung calon dari parpol dan koalisinya.

Tetapi yang akan sangat besar pengaruhnya, yaitu elektabilitas capresnya. Daya tarik para calon itu. Elektabilitas Presiden Jokowi sebagai petahana nampak masih mengungguli apabila Prabowo yang maju. Lantas apa yang diperhitungkan petahana?

Dari pengalaman pemilihan Gubernur DKI, nampak para ahli strategi lawan petahana (Ahok) memainkan solidaritas Islam, sehingga Ahok yang dinilai masyarakat Jakarta dengan kinerja tinggi akhirnya kalah. Momentum tercipta dengan kasus Al- Maidah. Bisa saja konsep Pilkada DKI diterapkan, walaupun kemungkinannya kecil, Partai Demokrat membuat pasangan ketiga untuk memecah dukungan petahana.

Menurut penulis, momentum perusakan serupa sudah coba dilempar ke publik, misalnya upaya merusak citra Pak Jokowi dengan isu PKI, anti Islam dan pro China. Konsep ini dalam ilmu intelijen masuk dalam konsep penggalangan alam pikir rakyat. PKI dengan ideologi komunis sangat membekas dipikiran publik sebagai atheis, tidak ber Tuhan, dikaitkan dengan anti Islam. Kemudian dengan derasnya hubungan dagang Indonesia-China (Tiongkok) diharapkan oleh konseptor untuk memancing sentimen AS untuk ditarik masuk dalam persaingan politik kawasan regional dan nasional Indonesia.

Nah, nampaknya petahana mampu membaca konsep lawan politiknya, Jokowi mampu melakukan counter upaya perusakan baik citra, kompetensi, kapabilitas yang dapat berpengaruh kepada akseptabilitasnya.

Dalam ilmu intelijen, serangan dalam sebuah operasi penggalangan tidak bisa diterapkan secara terus menerus, karena secara teori justru akan berbalik kepada si penyerang. Publik akhirnya bukan semakin mencintai Pak Amin Rais dengan serangan-serangannya, tetapi justru menjadi “boring”.

Dalam perkembangan politik kawasan, sebuah pelajaran yang dapat dipetik dan harus diwaspadai oleh petahana, PM Malaysia Najib, tidak jatuh walau dihantam dari sisi stabilitas keamanan sejak 2014  dan politik, tetapi Najib jatuh karena masalah integritas, dalam kasus 1MDB.

Tuduhan korupsi Najib sebesar US$4,5 miliar dolar dari badan yang dibentuknya itu diselidiki oleh Departemen Kehakiman AS dan negara lain seperti Swiss dan Singapura.  Siapa yang membongkarnya, kita semua tahu peran FBI. Hal-hal seperti ini yang perlu diperhitungkan.

Oleh karena itu dari perkembangan politik yang ada, Pak Jokowi nampaknya akan menentukan cawapresnya apabila proses di MK sudah selesai,  yang paling tepat adalah Pak Jusuf Kalla (JK).

Kunci utamanya, JK penulis perkirakan akan mampu mengatasi ancaman konsep serangan anti Islam yang dilempar lawan plitiknya. Beliau adalah tokoh Islam yang disegani oleh kalangan Islam baik dari kelompok moderat maupun radikal, temasuk kekuatan massa baru 212. Branding JK sebagai tokoh Islam sudah demikian kuat dan mengakar.

[caption id="attachment_11960" align="alignright" width="506"]

Jokowi dan JK (Foto: Tempo.co)[/caption]

Selain itu, JK juga memahami masalah perekonomian, cukup makan asam garam dalam tiga kali menjadi wapres. Dalam posisi politik JK dinilai netral oleh parpol-parpol pendukung Jokowi, resistensinya sangat kecil. Sementara di lain sisi apabila Prabowo mengambil Anies sebagai cawapres, pengaruh Anies jelas belum mampu menyaingi JK untuk memengaruhi kalangan Islam. Apabila mengambil Gatot ataupun AHY, para konstituen masih alergi kepada pasangan yang dua-duanya militer. Karena itu sementara dapat penulis simpulkan, apabila MK meluluskan judicial reviewPerindo, maka pasangan Jokowi-JK kemungkinan akan melenggang pada 17 April 2019.

***

Marsda Pur Prayitno Ramelan.