Revolusi Lalu

Minggu, 15 Juli 2018 | 16:00 WIB
0
400
Revolusi Lalu

Lalu Muhammad Zohri telah membikin geger siapa saja. Orang-orang biasa kaum rakyat, pejabat-pejabat, juga aparat. Hari-hari ini, hilir mudik ramailah orang mendatangi rumahnya. Menjelajah, mengintip, atau sekadar melihat-lihat.

Gambar-gambar dan video rumahnya bertebaran lalu lalang di udara maya, lebih cepat ketimbang saat ia berlari di lintasan darat. Memantul-mantul ke sana ke mari, cepat melesat.

Itu semua bermula dari kejadian berikut ini. Di sebuah kejuaraan atletik junior kaliber kolong jagat, ia berlari secepat kilat. Hanya dalam hitungan 10 detik lewat, anak pinggir pantai dusun Karang Pangsor, NTB, itu, telah menjadi juara dunia junior lari cepat pada kategori paling memikat. Seratus meter.

Siapapun yang pernah menjadi manusia tercepat untuk kategori 100 meter ini, namanya akan segera melesat sampai puncak langit tujuh tingkat. Jesse Owens, Carl Lewis, Ben Johnson, sampai Usain Bolt, pada masanya adalah selebritas papan atas dunia, hanya bermodalkan jejak kaki nan kuat lagi cepat. Ben Johnson yang musuh bebuyutan Lewis, sayangnya ternodai oleh kasus doping gara-gara ia didakwa menenggak pil penguat yang disebut steroid. Pemerkasa otot!

Zohri kini adalah manusia pemenang. Karena masih junior, kariernya boleh jadi masih akan terbentang panjang. Ia baru beberapa hari melewatkan umur 18 tahun ketika menjadi juara dunia junior. Zohri lahir 1 Juli –berbarengan dengan hari lahir Polri-- sementara menobatkan diri jadi juara dunia pada 11 Juli.

Zohri kini menjadi seperti nama kecamatan tempat ia lahir 18 tahun silam: Pemenang. Kota kecamatan pinggir pantai ini punya empat desa: Gili Indah, Malaka, Pemenang Barat, dan Pemenang Timur. Di sinilah dia lahir dan tumbuh menjadi anak dan remaja. Kecamatan Pemenang masuk dalam kabupaten Lombok Utara, sebuah kabupaten baru hasil kebijakan pemekaran wilayah bertahun-tahun silam.

Meski namanya Pemenang, sesatlah gambaran kita jika membayangkan kecamatan ini layaknya kecamatan-kecamatan lain pada umumnya. Apalagi kecamatan di Jawa.

Apalagi Lombok Utara memang kabupaten yang baru saja memecah dari kabupaten induk. Saat ini, Lombok Utara adalah kabupaten dgn tingkat kemiskinan tertinggi di NTB. Sementara NTB sendiri adalah provinsi tua di republik yang tingkat kemiskinannya tak pernah bergeser pada klasemen paling bawah. Kemiskinan di NTB, dari waktu ke waktu selalu hanya segaris di atas Papua.

Provinsi-provinsi baru boleh lahir di republik, tapi angka kemiskinan di NTB sangatlah kronik dan mungkin sistemik sehingga ia selalu tercecer di peringkat kedua terbawah.

Jika dilihat asal-usulnya, maka Zohri lahir di salah satu provinsi paling miskin di republik, di kabupaten yang juga paling miskin di provinsi tersebut. Persentase orang miskin di NTB memang termasuk yang paling tinggi dibandingkan rata-rata nasional, yakni sekitar 15%. Sementara rata-rata nasionalnya berkisar 10-11%.

Dalam lingkungan geografis seperti itulah Zohri tumbuh. Tapi tidak cukup itu saja. Ibunya, Zaeriah, wafat ketika ia duduk di bangku SD. Ia piatu sejak itu. Ayahnya menyusul kekasih hatinya beberapa tahun kemudian, meninggalkan 4 anak terbilang belia, termasuk Zohri.

Keempat anak itu pun yatim piatu. Meninggalnya sang ayah juga terjadi ketika ia sedang mempersiapkan diri untuk sebuah kejuaraan lari. Jadilah ia menangis sejadi-jadinya dan pulang untuk menyaksikan jasad ayahnya terakhir kali.

Maka, ketika nama Zohri melambung, yang kemudian juga melambung adalah “istana” tempat tinggalnya. Gambar rumah Zohri segera menimbulkan drama lanjutan, khas Indonesia. Dindingnya yang bolong-bolong, atapnya yang bocor, lemari pakaiannya yang terbuka, ranjang tidurnya yang beralas tikar plastik, menjadi bumbu dalam emosi publik yang melenting ke kanan kiri.

Sebagian yang punya tabungan benci menyalahkan pemerintah, menyalahkan pemerintah daerah, menyalahkan lurah, menyalahkan entah siapa lagi. Di mana Jokowi? Di mana Menteri? Di mana TGB? Di mana bupati?

Sementara mereka yang punya tabungan empati memilih menggalang dukungan untuk memperbaiki rumah Zohri. Anak 18 tahun yatim piatu, rasanya memang belum waktunya berpikir merehab rumah, secara mental apalagi modal. Saya yakin dukungan itu bakal jadi.

Mereka yang punya harapan memilih membangun opini positif bahwa mutiara ini harus diasah supaya makin mengilap. Dia harus mendapatkan pelatih yang tepat, mendapatkan porsi latihan yang juga tepat. Apalagi Zohri sudah membuktikan ia punya modal kuat.

[irp posts="18797" name="Lalu Siapa?"]

Mereka yang tabungan bencinya bertumpuk-tumpuk, mungkin tak tahu cerita bagaimana KBRI Finlandia mengiriminya makanan Indonesia ketika dia di Helsinki. Zohri anak kampung yang tak bisa makan roti. Selama itu pula pegawai KBRI mengirimi makanan yang cocok dengan lidahnya.

Anak satu ini sesungguhnya bukan anak tergolong pintar secara akademik. Ia pernah tinggal kelas saat meniti jenjang pendidikan formal. Tapi, bukankah senjata mengarungi hidup bukan semata-mata kecerdasan akal budi?

Masuk SMP, mata elang seorang guru menemukan bakat terpendamnya. Bu Rosida namanya. Guru Matematika? Tentu bukan! Guru IPA? Apalagi! Rosida adalah guru olahraga. Dialah orang pertama yang membujuk dan melihat bakat Zohri dalam urusan ayun kaki ini. Namun kala itu, Zohri tidak langsung bertemu hati dengan bidang olahraga ini. Diminta ikut lomba, Zohri masih sering mengelak dengan sederet alasan.

Namun Zohri masih ingat betul pesan ayahnya, yang sangat mendukung dirinya mengembangkan bakat lari, meski terlilit dalam kemiskinan akut. Beruntunglah anak ini kemudian setia pada nasihat ayahnya, dan dengan bidikan guru olahraganya Bu Rosida, telah menemukan “jalan baru” di lintasan lari. Tak perlu pandai matematika, tak perlu pintar berhitung, tak perlu fasih menghafal pelajaran.

Zohri mungkin sudah digariskan menjadi pelari. Seumuran republik ini berdiri, baru kali ini ada warga Indonesia yang jadi juara dunia lari. Dan kariernya masih membentang panjang.

Dengan prestasinya yang mentereng sejauh ini, mungkin orang bertanya-tanya, dari mana energi Zohri muncul sehingga ia bisa berlari sipat kuping. Seorang bijak bernama Aristoteles pernah menulis, “Kemiskinan adalah orang tua dari revolusi....”

Zohri sedang dalam lintasan revolusi bagi hidupnya sendiri. Ia telah merevolusi nasibnya. Tapi sesungguhnya dia juga sedang merevolusi desanya, merevolusi kecamatannya. Merevolusi provinsinya. Termasuk merevolusi orang-orang di dalamnya.

Orang-orang yang tadinya merasa kerdil dan tak punya kebanggaan apa-apa, kini punya Zohri sang pahlawan muda. Zohri si miskin dari Desa Pemenang Barat, sedang meniti tangga menjadi manusia hebat. Dan lebih hebat lagi.

Tapi kata-kata bijak Aristoteles juga perlu diwaspadai. Selain revolusi, kemiskinan juga bisa memperanakkan kejahatan. Zohri, harus dijauhkan dan dijaga dari jalan ini, karena ia telah menyumbang sebutir benih revolusi spirit bagi bangsa ini.

***