Papua dalam Secangkir Kopi

Rabu, 4 Juli 2018 | 09:45 WIB
0
632
Papua dalam Secangkir Kopi

Kopi adalah peradaban, kopi adalah budaya, kopi adalah silaturahmi, kopi adalah kepahitan hidup. Orang boleh memaknai apa saja tentang kopi. Maka tak berlebihan bila dari secangkir kopi kita bisa sedikit memahami Papua.

Jangan pernah mengaku penikmat kopi kalau belum mencoba Arabika Wamena. Rasanya disejajarkan dengan Jamaica Blue Mountain. Arabika Wamena berasal dari biji kopi yang ditanam di ketinggian 1.600 mdpl. Budidayanya masih tradisional. Tanaman kopi dibiarkan tumbuh liar. Justru itu yang membuat kopi Wamena menjadi sangat istimewa. Tanpa pupuk, tanpa pestisida.

Piter Tan menjadi orang yang perlu diperhitungkan kalau mau tahu tentang kopi Papua. Logatnya sangat Papua meskipun nama keluarga tidak menunjukkan itu. Tak perlu heran. Itu karena dia lahir, besar, dan berusaha di Papua.

Tak mau pindah ke kota lain? Cinta orang-orang Papua pada dirinya melebihi cinta yang bisa dideskripsikan. Jadi buat apa meninggalkan negeri penuh cinta ini.

Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, ia pergi ke Wamena. Biji kopi kualitas unggul dibiarkan berguguran, bahkan membusuk. Harganya hanya Rp 9.000,- per kilo. Ia berjanji menghargai Rp 45.000,- per kilo—lima kali lebih dari harga pasaran—asal mereka mau merawat perkebunan kopi yang sangat luas. Kebun kopi peninggalan para misionaris.

Piter memenuhi janjinya. Apa pun kualitas kopi yang dipanen petani, dibayar tunai dengan harga sama. Penduduk Papua yang sudah kenyang makan janji pun terkaget-kaget. Tak hanya sekali Piter datang. Di saat panen, ia datang, datang, dan datang lagi.

Hampir menetes air mata Piter ketika ia didatangi seorang nenek yang membawa berkilo-kilo kopi dengan noken. Jarak rumahnya ke tempat penampungan kopi mencapai 15 km. Ditempuh berjalan kaki. Nenek itu selonjoran, melepas lelah. Tersenyum lebar setelah bertemu Piter.

Namun senyum getir muncul dari anak buahnya. Kopi yang dibawa nenek itu basah. Sudah dikeringkan, basah lagi, mungkin tertimpa hujan. Praktis tidak bisa diapa-apakan. “Bayar saja,” ujar Piter. Ia tak ingin membuang senyum mengembang di wajah nenek itu.

Lambat laun ia mengajari mereka bagaimana cara merawat kebun, memetik biji, mengupas, hingga mengeringkannya. Produksi meningkat, kualitas pun semakin terjamin.

[caption id="attachment_18020" align="alignleft" width="558"] Piet's Corner (Foto: Kristin Samah)[/caption]

Di Jalan Kasuari, Dok V Atas, Jayapura, ia membuka Piet’s Corner, kedai kopi dengan konsep industrial. Ia mengajari anak-anak muda Papua untuk menjadi barista profesional. Kalau mereka tidak tinggal di Jayapura, Piter menyediakan tempat tinggal. Gratis. Syaratnya harus mau serius belajar.

Piter pun berteori. Kalau mau bekerja sama dengan orang Papua tidak bisa hanya datang, menyampaikan presentasi layaknya motivator kelas wahid, lalu pulang dengan rasa lega. Pikirkan bagaimana transportasi mereka, bagaimana mereka harus menjalani hidup selama berproses, hingga bagaimana mereka menikmati hasil.

Rangkaian yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Dengan cara itu perubahan berpikir dan cara hidup orang Papua, lambat laun akan berubah.

Mungkin Piter menghayati anekdot orang Papua. Sa bodok tapi sa tahu, saya bodoh tapi saya tahu. Dan mengutip filosofi Bob Sadino, bodoh adalah kunci sukses, malas pangkal melarat, pesimis kunci sengsara.

Secangkir kopi Papua sarat dengan makna kehidupan. Mungkin itu sebabnya Kapolri Jenderal Tito Karnavian dalam kunjungannya ke Jayapura belum lama ini menyempatkan datang ke Piet’s Corner. Mencecap secangkir kopi Papua. Mana lebih pahit dibanding kopi Jakarta Jenderal?

***