"Korupsi" atas Korupsi, Cermati 4 Faktor Dominan Ini!

Rabu, 4 Juli 2018 | 12:09 WIB
0
558
"Korupsi" atas Korupsi, Cermati 4 Faktor Dominan Ini!

“Korupsi adalah bumbu birokrasi,” begitu kata seorang teman yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Bavaria, Jerman. “Asalkan tak besar, korupsi itu variasi,” begitu lanjutnya.

Ungkapan ini secara jelas menggambarkan sulitnya menumpas korupsi sampai ke akarnya. Bahkan di negara seketat Jerman, korupsi tetap bercokol di jantung birokrasi pelayanan publik.

Memang, masalahnya bukannya melenyapkan korupsi, tetapi membuatnya terkontrol. Ini lalu masalah jumlah, bukan masalah keberadaan.

Bagaimana dengan di Indonesia? Membaca berbagai berita soal korupsi membuat kita tercengang akan betapa mengakarnya korupsi di birokrasi pelayanan publik Indonesia.

Banyak kepala daerah dan pejabat negara tertangkap melakukan korupi. Bahkan, (mantan) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat pun terjebak kasus korupi triliyunan.

Ini jelas sudah tidak masuk akal. Jika sudah begini, korupsi bukan lagi sekedar bumbu ataupun variasi birokrasi, tetapi sudah jadi kanker akut yang merusak.

Seluk Beluk Korupsi

Sebenarnya, apa itu korupsi? Akar kata korupsi adalah corruptus, atau pembusukan. Ini berasal dari bahasa Latin. Segala sesuatu yang ditempel dengan kata korup berarti sudah busuk.

Misalnya, pendidikan yang korup atau persahabatan yang korup, yang berarti pendidikan dan persahabatan tersebut sudah kehilangan keluhurannya. Ada unsur kebohongan di dalamnya yang merusak inti dari pendidikan maupun persahabatan yang ada.

Kata korupsi kemudian berkembang di dalam berbagai wacana ilmu sosial. Ia menjadi penggunaan barang milik bersama untuk kepentingan pribadi.

Misalnya, cukup jelas, ketika uang pajak rakyat digunakan untuk memperkaya diri, korupsi telah terjadi. Juga ketika fasilitas umum, seperti jalan raya dan trotoar, digunakan untuk jualan demi kepentingan ekonomi pribadi atau keluarga, maka korupsi telah terjadi.

Akar Korupsi

Ada empat akar korupsi. Pertama, korupsi terjadi, karena banyak orang tak paham definisi korupsi yang sebenarnya. Mereka mengira, bahwa menggunakan barang milik bersama untuk kepentingan pribadi adalah hal yang biasa. Ketidaktahuan inilah yang menyebabkan orang terjebak pada korupsi.

Dua, walaupun orang sudah paham arti korupsi, tetapi mereka tetap melakukannya, karena semua orang melakukannya. Inilah yang disebut sebagai mentalitas kerumunan.

Korupsi berubah menjadi korupsi berjamaah yang dilakukan secara berbondong-bondong. Ini terjadi, ketika orang tidak memiliki sikap kritis dan akal sehat yang mencukupi.

Tiga, korupsi juga terjadi, karena lemahnya sistem pengawasan, atau korupnya para penegak hukum. Masalah korupsi memang menjadi semakin rumit, ketika para penegak hukum juga terjerat virus korupsi ini.

Empat, korupsi menjadi budaya, karena pola pendidikan yang salah kaprah. Ketika orang tua, guru dan tokoh masyarakat suka berkata hal-hal luhur, namun korup dalam hidup keseharian mereka, maka kemunafikan telah terjadi.

Anak melihat perilaku orang tua maupun gurunya. Kata-kata menjadi tak berarti, ketika tindakan berbunyi berbeda.

Misalnya, sang ayah berkata, bahwa hidup harus jujur. Namun, ia hidup dengan mencuri uang orang lain, atau berselingkuh dari istrinya. Maka, ini jelas mengajarkan kemunafikan. Pola pendidikan semacam ini yang membuka ruang untuk berbagai bentuk kejahatan, termasuk korupsi.

Melampaui Korupsi

Ada tiga hal yang bisa dilakukan untuk memerangi korupsi. Pertama, sistem pengawasan dan penegakan hukum terhadap koruptor jelas harus dikembangkan.

Terdakwa koruptor harus dihukum seberat mungkin, dan diminta mengembalikan semua hasil korupsinya beserta denda kepada negara. Ini langkah yang amat penting untuk dilakukan.

Dua, seluruh pola pendidikan di Indonesia haruslah diubah. Penekanan pada formalisme agama haruslah dihilangkan.

Orang tua, guru dan tokoh masyarakat harus berperilaku sesuai dengan apa yang mereka ajarkan. Segala bentuk kemunafikan sedapat mungkin dilenyapkan dari kehidupan bersama.

Tiga, korupsi haruslah dibuat menjadi “korup”. Artinya, tindakan korupsi haruslah dilihat sebagai sesuatu yang amat busuk di dalam kehidupan bersama.

Perilaku korupsi tidak hanya merugikan banyak orang, tetapi juga membunuh harga diri. Para koruptor harus dilihat sebagai mahluk hina di dalam hidup bersama, sampai mereka menyelesaikan hukumannya seadil mungkin.

Korupsi atas korupsi berarti membuat segala unsur korupsi menjadi busuk dan hina di dalam hidup bersama. Inilah jalan keluar budaya dan rebranding korupsi yang harus dilakukan secara sistematik.

***