Berkaca dari Sikap Kaum Munafikin Atas Kekalahan Muslim

Rabu, 4 Juli 2018 | 17:08 WIB
0
788
Berkaca dari Sikap Kaum Munafikin Atas Kekalahan Muslim

"Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang: "Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh." Katakanlah: "Tolaklah kematian itu dari dirimu, jika kamu orang-orang yang benar."" (QS Ali Imran: 168)

Itu adalah kata-kata songong kaum munafik kepada Rasulullah dan para sahabat yang kembali dari Perang Uhud. Ketika luka di tubuh para mujahid masih mengalirkan darah. Pusara para syuhada belum kering.

Perang Uhud telah menghadirkan kecamuk dahsyat yang memukul mental kaum muslimin. Bayangan kegemilangan Perang Badar gagal terulang, alih-alih malah diobrak-abrik oleh serangan balik satu kompi pasukan pimpinan Khalid bin Walid.

Menghadang kaum kafir Quraisy di Uhud adalah hasil syuro kaum muslimin setelah mengeliminasi keinginan Rasul agar bertahan saja di Madinah. Keputusan itu dijadikan kambing hitam oleh kaum munafikin atas kekalahan di Perang Uhud. Padahal apa pun efek dari mufakat sebuah musyawarah, tetap ada ridho Allah di sana.

Orang-orang munafik itu sendiri bukan orang yang patuh pada hasil syuro. Abdullah bin Ubay bersama 300 orang pengikutnya telah membelot di tengah jalan saat Rasulullah dan para sahabat menuju Uhud. Ucapan mereka diabadikan Allah swt dalam Ali Imran ayat 167.

“Dan supaya Allah mengetahui siapa orang-orang yang munafik. Kepada mereka dikatakan: "Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankanlah (dirimu)." Mereka berkata: "Sekiranya kami mengetahui akan terjadi peperangan, tentulah kami mengikuti kamu". Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran dari pada keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.”

Kata-kata mereka itu adalah ejekan karena menganggap Rasul tidak mengetahui taktik perang. Sebab beliau melakukan peperangan dengan jumlah pasukan yang sedikit.

Maka dalam penggal fragmen kisah perang Uhud, kita bisa melihat bagaimana kaum munafikin menyikapi kekalahan.

Dari awal mereka adalah kaum yang tak patuh terhadap hasil syuro. Mereka kaum yang kencang bantahannya terhadap keputusan qiyadah dan orang-orang yang diajak bermusyawarah. Merasa lebih tahu dan meremehkan.

Dan kejadian seperti ini akan terulang dari waktu ke waktu di sebuah jamaah besar hingga kecil. Tak hanya mungkin terjadi pada sebuah kekhalifahan, tapi juga pada organisasi dakwah, partai dakwah, sampai ke Rohis kampus sekali pun. Ketika pimpinan memutuskan sesuatu, akan ada yang menghasut para jundi untuk membangkang.

Dan ketika keputusan itu tidak membawa hasil yang diinginkan, mereka makin melonjak gembira. Semakin jadi mengeluarkan ejekan. Menggugat qiyadah. Semakin menganggap mereka yang paling kredibel, paling tahu. Menyampaikan kata-kata yang seolah bijak padahal menyudutkan otoritas.

Jangan lupakan juga sebab kelompok munafik ini muncul. Karena persoalan kekuasaan, dan kultus individu. Ketika Abdullah bin Ubay yang digadang-gadang menjadi pimpinan Madinah tersingkir oleh kehadiran Rasulullah SAW, ia dan pengikutnya yang terjangkit kultus individu membentuk sempalan yang mengganggu Rasulullah SAW dan para sahabat dengan hasutan-hasutan. Dan selalu menunggu peristiwa buruk terjadi pada kaum muslimin untuk menguatkan provokasi dan melancarkan ejekan.

“Jika engkau (Muhammad) mendapat kebaikan, mereka tidak senang; tetapi jika engkau ditimpa bencana, mereka berkata, "Sungguh, sejak semula kami telah berhati-hati (tidak pergi berperang)," dan mereka berpaling dengan (perasaan) gembira," (QS. At-Taubah: 50)

Semoga kita dihindari Allah swt dari perilaku seperti itu. Tetaplah bersama barisan dakwah, patuh pada otoritas yang memimpin, sambil memelihara budaya tawashau bil haq wa bish shobr. Mengkritik pada tempatnya, dan mendukung di setiap saat.

Allahua’lam bish showab.

***

Zico Alviandri