Hasil Pilkada Jawa, Jokowi 2 Periode Atau Malah Gagal Nyapres

Selasa, 3 Juli 2018 | 13:28 WIB
0
604
Hasil Pilkada Jawa, Jokowi 2 Periode Atau Malah Gagal Nyapres

Ridwan Kamil dan Khofifah Indar Parawansa, dua calon kepala daerah di Jawa Barat dan Jawa Timur pada Pilkada Serentak 2018 secara terbuka sudah menyatakan dirinya bakal mendukung Joko Widodo pada Pilpres 2019 mendatang.

Keduanya menyatakan hal tersebut kepada Kompas TV, tidak setelah dua “orangnya” Jokowi ini dinyatakan sebagai pemenang Pilkada Serentak 2018 dalam Quick Count oleh sejumlah Lembaga Survei pada Rabu (27/6/2018).

Khofifah memastikan dirinya hanya akan mendukung Jokowi jika kembali maju pada Pemilu Presiden 2019. Ia juga mengaku bersedia jika ditunjuk kembali menjadi tim sukses Jokowi nantinya.

Pengakuan itu disampaikan Khofifah dalam wawancara dengan Pemimpin Redaksi Kompas TV Rosiana Silalahi, Rabu (27/6/2018). Dalam wawancara itu, Khofifah memuji kerja Jokowi selama ini.

Saat menjabat Menteri Sosial, Khofifah mengaku sering melihat langsung bagaimana Jokowi bekerja. “Kerja kerasnya beliau tentu berharap bisa menuntaskan PR-PR,” ungkapnya. Rosi kemudian bertanya, apakah bersedia kembali menjadi Jubir Jokowi seperti Pilpres 2014.

Khofifah menjawab, “Kalau ditunjuk. he..he..” Jadi, Anda hanya akan mendukung Jokowi dan bukan capres lain? Tanya Rosi. “Iya, insya’ Allah begitu,” jawab Khofifah. Sebelumnya, Ridwan Kamil juga menyatakan siap mendukung pencapresan Jokowi pada Pilpres 2019.

Pernyataan tersebut disampaikan Ridwan Kamil dalam salah satu program yang ditayangkan Kompas TV, yang dipandu Aiman Witjaksono, Rabu (27/6/2018). Ia menjawab pertanyaan Aiman seputar isu dukungan cagub-cawagub Pilkada Jabar atas Jokowi untuk 2019.

“Ya saya kira logika sederhana, partai-partai pendukung sudah menyatakan deklarasi untuk pilpres. Partai-partai pendukung saya semua sudah, NasDem, Hanura, PPP, dan seterusnya. Tentulah arah dukungan dari kami,” ungkap Ridwan Kamil.

“Calon berdua ini tidak akan jauh berbeda fatsun kepada etika politik, kan begitu ya, etika politik seperti itu,” lanjutnya seperti dikutip Detik.com, Rabu (27/6/2018). Ridwan Kamil lalu menceritakan kembali sikap politiknya pada 2014.

“Dulu saya diusung Gerindra-PKS. Saya adalah tim pemenangan Pak Prabowo Subianto pada Pilpres 2014. Karena etikanya mengatakan diusung oleh partai tersebut, maka mendukunglah apa yang menjadi kebijakan,” sebut Ridwan Kamil.

Ridwan Kamil menegaskan akan mengikuti keputusan partai pengusungnya untuk Pilpres 2019. Ia lalu menyatakan tegas siap mendukung Jokowi pada 2019. “Arahnya mendukung Pak Jokowi sesuai dengan aspirasi dari partai-partai pengusung kami,” tegasnya.

Pada Pilkada Serentak 2018, 7 Juni 2018 lalu, Gandjar Pranowo sebagai pemenang Pilkada Jawa Tengah bukanlah termasuk “orangnya” Jokowi, tetapi lebih sebagai “orangnya” Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri.

Untuk Pilkada Jateng 2018 lalu, Sudirman Said bisa disebut juga sebagai “orangnya” Jokowi. Sudirman Said menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Kabinet Kerja sejak 27 Oktober 2014 hingga 27 Juli 2016.

Dia digantikan oleh Archandra Tahar pada reshuffle kabinet kedua bersamaan dengan Anies Baswedan yang di-reshuffle dari jabatannya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (27 Oktober 2014 hingga 27 Juli 2016).

Kabarnya, seperti halnya Sudirman Said, Anies Baswedan saat maju Pilkada DKI Jakarta itu juga “orangnya” Jokowi yang “dititipkan” kepada Prabowo Subianto melawan paslon yang diusung PDIP Cs: Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok – Djarot Saiful Hidayat.

Saat Pilkada Serentak 2018 lalu, dengan lebih dari 50 persen pemilih berada di Pulau Jawa, tidak heran jika suara di provinsi-provinsi ini sangat penting. Karena, di Jabar, Jateng, dan Jatim ini bisa menjadi gambaran Pemilu dan Pilpres 2019 mendatang.

Gelaran Pemilihan Kepala Daerah (baca: Pilgub-Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur) Serentak 2018 sangat menarik perhatian. Terutama untuk Pilgub di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Bisa menjadi indikator pemenang Pemilu 2019.

Sebab, ada sebuah keyakinan bahwa sebuah parpol yang bisa mendudukkan kader terbaiknya menjadi Gubernur di banyak provinsi di pulau Jawa tersebut akan menjadi pemenang dalam penyelenggaraan Pemilu, baik legislatif maupun Presiden dan Wakil Presiden.

Keyakinan itu wajar adanya jika melihat potensi pemilih dan penduduk yang tinggal di Jawa, lebih dari 50 dari jumlah seluruh penduduk dan pemilih di Indonesia. Maka, hal ini menjadi sebuah kewajaran pula, jika seluruh parpol di Indonesia bertarung mati-matian.

Mereka akan bertarung untuk mendudukkan kader terbaiknya menjadi gubernur di provinsi-provinsi yang ada di Jawa. Seakan semua harus dipertaruhkan, tak hanya demi mencicil suara untuk gelaran Pemilu mendatang, yang terdekat pada 2019.

Tetapi juga untuk menjaga prestise dan legitimasi kedigdayaan parpol pada gelaran Pemilu sebelumnya. Kecuali Daerah Istimewa Jogjakarta, karena keistimewaannya, semua provinsi di Jawa pastilah menggelar Pilkada untuk menentukan siapa yang pantas menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur di wilayahnya.

Pantaslah jika 2 tahun ini: tahun 2017 dan 2018, hiruk-pikuk Pilgub di seluruh provinsi di Jawa menyedot perhatian dan energi para kader parpol. Contoh tersebut dapat terlihat pada penyelenggaraan Pilkada Serentak pada 2017 lalu di Jawa.

Saat Pilkada Serentak 2017, di Jawa ada 2 provinsi yang menggelar Pilgub: DKI Jakarta dan Banten. Hiruk-pikuk gelaran Pilkada di kedua provinsi itu, terutama DKI Jakarta, benar-benar menguras energi dan perhatian semua kader parpol; bahkan rakyat Indonesia.

Berkaca dari hasil ini, 3 dari 4 partai peraih suara terbanyak pada Pemilu 2014 lalu menjadi jawaranya. Mereka adalah Partai Golkar, Gerindra, dan Demokrat. Clash yang tidak kalah serunya dan bahkan menjadi panggung utama adalah Pilkada DKI Jakarta.

Kekalahan Rano Karno sebagai “orangnya” Megawati di Banten, dan Ahok – Djarot di DKI Jakarta, setidaknya telah mengubah peta kekuatan politik sebelumnya yang didominasi oleh PDIP. Kini kekuatan PDIP hanya tersisa di Jateng dengan Gandjar Pranowo.

Meski dinyatakan sebagai pemenang Pilkada Jateng 2018, bukan tidak mungkin posisinya sangat rawan di-KPK-in juga terkait skandal KTP elektronik. Setelah pencoblosan, Gandjar Pranowo sempat diperiksa KPK sebagai saksi dalam kasus tersebut.

Jika cukup bukti adanya keterlibatan Gandjar Pranowo dalam skandal tersebut, pastilah ia akan menyusul Setya Novanto sebagai pesakitan (terdakwa) juga akhirnya. Dan, posisinya akan digantikan Taj Yasin Maimoen alias Gus Yasin sebagai Gubernur Jateng.

Sehingga, tidak ada satupun “orangnya” Megawati yang menjadi Gubernur atau Wagub di Jawa. TB Hasanuddin – Anton Charlian gagal di Jabar, Saifullah Yusuf alias Gus Ipul – Puti Guntur Soekarno kalah di Jatim, dan Gandjar Pranowo mungkin lepas di Jateng.

Dengan kekalahan “orangnya” Megawati dalam Pilkada di Jawa kali ini tentu bisa berdampak pada posisi Jokowi sendiri, apakah masih tetap aman dan diusung PDIP sebagai Capres 2019 pada Agustus 2018 nanti, atau malah gagal nyapres karena Megawati “tidak terima”?

Terutama, atas kekalahan Gus Ipul – Puti Guntur di Jatim. Bukan tidak mungkin, Megawati dan PDIP batal memberikan Rekomendasi Capres kepada Jokowi, dan diserahkan ke orang lain. Apalagi, belakangan ini Jokowi dekat dengan Partai Golkar dan Demokrat.

Tentunya jika Jokowi gagal nyapres melalui PDIP, bukan tak mungkin Golkar dan Demokrat yang akan mengusungnya dengan cawapresnya pilihan dari kedua parpol tersebut. Airlangga Hartarto atau Agus Harimurti Yudhoyono alias AHY.

Tetap muluskah Jokowi? Belum tentu juga. Jangan-jangan yang terjadi justru ia benar-benar gagal nyapres. Karena,

Golkar dan Demokrat tentu saja juga tetap menjaga agar Banteng tak “ngamuk” yang resikonya bisa nyruduk sana-sini lagi.

Sehingga, Golkar dan Demokrat akan mundur teratur dari rencana pencalonan Jokowi pada Pilpres 2019 mendatang. Kedua parpol ini tentunya juga punya catatan khusus perihal yang menyangkut “janji-janji” Jokowi yang belum terealisasi.

Karena, faktanya, hingga saat ini tidak ada satupun parpol yang selama ini gembar-gembor mendukungnya (termasuk PDIP) mengeluarkan Rekomendasi Pencalonan Jokowi sebagai Capres 2019. Itulah masalah yang membuat Jokowi galau!

***