Dalam Politik, Menjadi Dungu dan Amnesia Hal Biasa

Selasa, 26 Juni 2018 | 17:39 WIB
0
611
Dalam Politik, Menjadi Dungu dan Amnesia Hal Biasa

"Saya termasuk yang tidak pernah nonton Piala Dunia karena saya sedih Indonesia nggak ada. Itu saja."

Kalimat itu meluncur dari Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menjawab wartawan di Jalan Widya Chandra IV, Jakarta, Senin, 25 Juni 2018.

Ketika Prabowo melontarkan kalimat itu, entah kenapa saya terbayang Rocky Gerung. Dengan ekspresi sinis dari mulutnya biasa terlontar kata yang khas, ‘dungu’. Sejak kapan Indonesia pernah lolos ke Piala Dunia?

Sosok lain yang sempat melintas dalam benak saya kemudian adalah Gouw Han Goan. Dia dokter, juga kolomnis dengan nama popular Handrawan Nadesul. Saya membayangkan dia menyampaikan analisis bahwa Prabowo kemungkinan mengidap amnesia saat melontarkan kalimat tersebut. Tentu saja amnesia selektif, khas politisi.

Kenapa demikian? Pada 9 Juli 2014, seingat saya dia pernah mengelar acara nonton bareng Piala Dunia di NPC Polo Club Komplek Golf Jagorawi Cibinong, Bogor. Sebagai calon presiden, kala itu dia sama sekali tak menyinggung soal tim nasional Indonesia yang tak pernah lolos ke kejuaraan empat tahunan tersebut. Di sini 'dungu' atau lupa jadi "beti", beda-beda tipis.

Mungkin karena pernah mengikuti pendidikan militer di Jerman, dia malah sepertinya merasa punya ikatan emosional untuk menjagokan tim negara Angela Merkel itu. Ketika Brasil mengkandaskan Jerman dengan dua gol tanpa balas, Prabowo mencoba memberikan analisis. Atau mungkin lebih tepat empati, meski bisa juga sekedar dalih. “Mungkin karena cuacanya agak terlalu panas ya di sana (Brasil)," ujarnya. Portal terbesar di tanah air saat itu, Detik.com, merekam kalimat tersebut.

Ketidakcermatan (biarlah kata ‘dungu’ menjadi milik Rocky Gerung) lain yang diperlihatkan Prabowo soal biaya pembangunan Light Rail Transit (LRT) di Palembang. Menurut Prabowo proyek LRT Palembang yang mencapai US$ 40 juta/km terlalu mahal. Idealnya cuma US$ 8 juta/km atau setara Rp112 miliar/km (kurs Rp 14.000). Dia mengaku mendapatkan data tersebut dari Gubernur DKI Anies Baswedan.

Anies tak menepis atau pun mengiyakan. Kepada para wartawan yang biasa menguntitnya, dia cuma menerangkan soal sosok Prabowo yang disebutnya gemar membaca dan punya banyak referensi.

"Kalau Anda datang ke ruang kerja beliau, isinya buku-buku. Jadi, pasti beliau membaca, membandingkan, bukan sekadar ‘katanya’. Pasti banyak data," ujarnya.

Sampai batas tertentu boleh jadi Anies benar. Tapi dalam kasus LRT, indikasi yang diharapkan dari Prabowo nyatanya tak tampak. Memang benar di beberapa negara ada yang biaya pembangunan LRT nya lebih murah, tapi di sejumlah negara lainnya justru lebih mahal daripada di Palembang maupun Jabotabek.

Kenapa bisa terjadi perbedaan seperti itu? Menurut para pejabat terkait di pemerintahan, ada beberapa faktor yang membedakan, antara lain waktu atau tahun pengerjaan, jumlah stasiun, harga tanah, dan lainnya. Dari tiga faktor ini secara awam mudah sekali dipahami. Khususnya soal harga tanah, misalnya. Kendala pembangunan infrastruktur selama ini selalu terkait dengan harga ganti rugi tanah yang cenderung cepat melonjak.

Masih terkait LRT, Wakil ketua DPR Fahri Hamzah yang juga dicap sebagai tokoh oposisi ikut nimbrung. Cuma dia punya angle berbeda. Potensi korupsi yang membuat nilai proyek LRT mahal, kata dia, antara lain terlalu tingginya tiang-tiang penyangga. "Bikin saja LRT di bawah tanah,” cetusnya. Sontak wajah Rocky Gerung kembali melintas di benak saya, terngiang kata 'dungu' yang biasa diucapkannya dengan ringan.

Tanpa perlu meminjam analisis rumit para ahli, kita kembali ke tujuan pembangunan LRT. Salah satunya untuk mengurangi kepadatan lalu lintas dan kemacetan. Jika dibangun sejajar dengan tanah, otomatis akan tetap bersinggungan dengan banyak perlintasan. Risikonya, lalu lintas jalan terhambat atau operasional LRT yang terhambat sehingga tak efisien dan tak sesuai dari tujuan semula.

Soal tinggi rendahnya tiang, kata teman saya yang alumnus fakultas teknik, itu tergantung dari kondisi kemiringan lahan. Juga karena banyak perlintasan yang dilalui sehingga harus diangkat.

Soal ketidakcermatan ini, sialnya juga pernah diperlihatkan Presiden Jokowi. Salah satu blunder paling fenomenal adalah terkait pengangkatan Arcandra Tahar sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral pada 27 Juli 2016. Dua pekan berselang, tersiar kabar bila Arcandra masih memegang paspor Amerika.

Jokowi juga sempat diolok-olok ketika pada 4 Januari 2017 mempertanyakan dan meminta kenaikan tarif penerbitan STNK dan BPKB tidak terlalu tinggi. Padahal Keppres tentang hal itu sudah ditandatanganinya pada 2 Desember 2016.

Idealnya, dalam angan-angan saya, mereka yang beroposisi itu tingkat kecerdasan dan kecermatannya setara dengan penguasa. Selalu berbicara berdasarkan data yang akurat, bukan asbun dan asing (asal bunyi, asal bising). Sementara bagi penguasa, tentu standar kecermatan dan kecerdasan idealnya ya di atas rata-rata.

Semoga, ini bukan angan-angan 'dungu' semata.

***