Terlalu Bersemangat Lakukan Ritual Memaafkan, Tuhan Sering Terlupakan

Jumat, 22 Juni 2018 | 17:23 WIB
0
603
Terlalu Bersemangat Lakukan Ritual Memaafkan, Tuhan Sering Terlupakan

Pukul tiga seperempat kami semua sudah dibangunkan untuk mandi jelang sembahyang ied di lapangan dusun depan sekolah. Bayangkan dinginnya air ditambah hawa subuh di Rongkong pada jam-jam itu.

Saya masih berleyeh-leyeh diranjang, menahan kantuk yang menyelinap di antara rajutan selimut tebal. Kedua kaki sengaja saya goyang-goyang agar telihat sudah terjaga, sehingga bisa mendapat diskon tidur setengah jam ke depan.

Di Komba—dusun sekaligus nama desa kami di Rongkong, cuaca sedingin itu—yang berkelindan dengan lampu turbin remang-remang dari kampung sebelah, tidaklah menjadi alasan untuk tak gembira merayakan hari lebaran.

Hari lebaran kadang menyisakan dua rasa: gembira dan kesedihan.

Gembira sebab lebaran adalah perayaan “kemenangan”. Paling tingkat yang paling kecil, kemenangan ini dapat dimaknai sebagai keberhasilan kita untuk ikut “berlapar-laparan sebulan penuh”.

Pada gradasi yang lebih rendah pula, kegembiraan terpancar sebab semua sanak dari rantauan berkumpul bersama bersuka cita.

Pada “maqom” yang lebih tinggi, subtansi (ultimate goals) Ramadan tentu bukan berlapar-laparan belaka. Maka biarlah para filosof cum ustad yang menjelaskannya. Saya sampai belum “sampai” ke sana.

Untuk sebagian orang, kegembiraan yang berlapis-lapis itu juga menggandeng kesedihan. “Untung kalau puasa tahun depan masih kita sampai,” begitu kata mereka. Klise memang. Namun mesti menjadi renungan kita bersama.

Demi menyempurna peribadatan itu, meminta dan memberi maaf kepada sesama (padanta rupa tau) merupakan suatu detil yang cukup penting. Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) pernah menjelaskan urgensi silaturahim yang terangkum dalam kata Basmalah.

Cak Nun mendaku, pelafalan Arrahman yang secara literer berarti pengasih dengan cara membuang nafas dari kerongkongan, menjadi penanda pentingnya kita mendistribusi menebar kasih ke semesta.

Salah satu sifat ke-Maha-an Tuhan ini juga berada didepan kata Arrahim (penyayang), yang dirapal dengan menelan nafas kedalam. Cak Nun mengkontruksi helaan nafas ini sebagai gambaran hubungan hamba terhadap Sang Pencipta.

Dari sini kita bisa melihat, menjalin kasih terhadap sesama menjadi hal pertama, sebelum kita menautkan diri dengan dzat yang Maha Tinggi, yang dikenal dengan nama Allah dalam tradisi Islam dan Kristen, Yahweh dalam Yahudi, atau Sang Hyang dalam Hindu.

Kasih itu “tarekatnya” adalah memberi dan meminta maaf. Namun tak sekadar itu, setelah kita melakukan ritual pemaafan terhadap segenap insan, hal kedua yang mesti kita lakukan adalah meminta maaf kepada Yang Maha Penyayang.

Dari sini pula kita bisa memaknai relevansinya dengan penjelasan Cak Nun tadi; menjalin hubungan dengan yang dicipta, lalu kemudian dengan Yang Maha. Sejalan dengan kata para bijak, menyakiti sesama adalah dosa, yang tak cukup terhapus dengan maaf dari manusia.

Di hari lebaran ini agar kiranya semangat akan perjuangan Luwu Tengah dan Provinsi Luwu Raya tak kendor. Eh. Maksud saya, melalui momen nan raya ini, saya meminta maaf atas segala khilaf dan kefasikan selama ini.

Semoga amal ibadah kita selama puasa ini diterima disisiNya. Minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir bathin.

***

Zulfiqar Rapang, anak muda ketinggian Rongkong, Tana Masakke.