Lebaran Rasa Jokowi

Rabu, 20 Juni 2018 | 17:17 WIB
0
458
Lebaran Rasa Jokowi

Sependek ingatan sejarah yang saya catat, tampaknya tak ada Lebaran yang sedemikian "dimanjakan" seperti yang dilakukan oleh Pemerintahan Jokowi. Lebaran yang semestinya, hanya satu hari libur diperpanjang sedemikian rupa hingga delapan hari. Gerakan manusia (arus mudik-balik) dipersiapkan sedemikian rupa, hingga hal-hal remeh temeh yang nyaris tak terpikirkan sebelumnya.

Mudik gratis tidak pernah sebanyak yang dilakukan tahun ini. Simbol solidaritas sosial, atau semacam CSR yang dapat momentumnya. Entahlah! Jalan tol yang sudah semakin panjang itu, sebagian ruas yang belum jadi sekalipun dibuka untuk melayani para pelawat.

Entah mereka ini, memang para udikers yang pulang kampung, atau para wisatawan lokal yang sumpeg di rumah ikut wira-wiri menghabiskan waktu. Mengunjungi tempat-tempat piknik di sekujur tanah Jawa, yang sebenarnya makin sedikit dapat dianggap layak untuk dikunjungi.

Konon saat ini, tempat-tempat terbaik berwisata makin "disimpan rapat info-nya", agar tidak cepat rusak oleh buruknya selera yang jongkok. Situs wisata, akhirnya adalah tempat pesemaian premanisme, yang justru akan lebih dikenang para pengunjungnya. Sebut satu tempat wisata di Jawa yang bebas dari praktek premanisme seperti ini?

Bahkan, di tempat yang saya anggap warganya paling asketis seperti Kampung Naga sekalipun, telah diperangkap oleh "premanisme legal" dengan tarif parkir mahal yang sebenarnya tidak memberi dampak apa-apa bagi penduduk lokal yang menjadi obyek kunjungan. Mereka ini malah sering malu pada praktek-praktek pungutan-pungutan yang menyebalkan, yang mengatasnamakan mereka itu!

Tak sampai di situ, Jokowi juga membekali para ASN, tentara, polisi, bahkan lurah di tingkat desa yang resmi menjadi aparaturnya, dengan THR yang nyaris sama dengan gaji plus tunjangan 1 bulan kerja. Tidak saja mereka yang masih aktif bahkan para pensiunan-pun mendapat fasilitas yang sama.

Ini tidak membedakan, apakah para ASN itu termasuk yang telah bekerja keras selama setahun terakhir ini atau hanya melanjutkan tradisi masa lalu ongkang-ongkang makan gaji buta.

Atau yang lebih buruk lagi para "musuh dalam selimut", yang dimana-mana suaranya nyinyir mengecam pemerintahnya, memusuhi ideologi bangsanya sendiri, dan berlagak hebat menjadi para pembela agama yang sok jadi pahlawan model baru.

Mereka ini, bukan saja sejenis "coro tengik", yang kalau diinjak tidak saja mengeluarkan bau menyengat tetapi bisa jadi racun bagi mereka yang menyentuhnya.

Logika dasar Jokowi, sebenarnya sederhana sekali: setelah setahun terakhir mereka "kerja, kerja, kerja", apa salahnya mereka semua memperoleh penghargaan seperti itu. Masalahnya apakah negara punya duit? Dalam hal seperti ini, kredonya: kalau untuk membahagiakan pegawainya, negara harus selalu punya duit. Ini hampir sama dengan trend yang nyaris linier selama pasca Orde Baru, kalau untuk urusan agama, negara harus selalu punya duit.

Negara hanya tampak miskin, bila urusannya adalah masalah memperbaiki mental warganya, hal ini menjelaskan kenapa salah satu program terpenting Jokowi: Revolusi Mental adalah yang harus disebut sebagai yang pertama gagal dilakukan. Bahkan gagal sejak dalam pikiran dan perencanaan!

Dan Lebaran (tentu saja) tak ada sama sekali hubungannya dengan perbaikan mental itu? Dikotomi keterbelahan rakyat tetap langgeng dan tak terkoreksi. Para pembenci Jokowi tetap abadi nyinyir mulutnya, gelap mata, dan buta hatinya: tidak menganggap apa yang diberikan Jokowi sebagai buah kerja keras dan pengorbanan negara untuk rakyatnya.

Bahkan hanya untuk sebuah penyebutan "Tol Jokowi", seorang pimpinan DPR langsung nyahut sinis, memangnya ia biayai dari duit nenek moyangnya. Begitulah watak politikus yang mengaku oposisi di Indonesia, obyektivitasnya adalah ruang kosong yang diisi oleh rasa benci dan kegemaran menghina.

Seorang (bekas) sastrawan, menuliskan di lamannya: "kalian enak-enak lewat jalan tol, tak kau bayangkan pedihnya kehilangan tempat bermain masa kecil, rumah-rumah saudaraku, tempat belajar ngajiku, bla bla...". Selalu ada cara untuk membuat drama, lalu mendramatisasinya.

Itulah watak keterbelakangan yang menyaru demokrasi yang suka dipertontonkan!

Hal yang justru paling saya khawatirkan adalah para pendukung Jokowi, yang tiba-tiba menjadi kelompok orang manja yang kolokan pada bapaknya. Mereka akan berubah menjadi penuntut, yang seperti orang meminum air laut. Haus menunggu sensasi yang akan terus dilakukan Jokowi.

Asyik menonton hasil kerja Jokowi, ikut menghitung panjang jalan tol, ikut menghitung jumlah bandara dan pelabuhan baru. Ikut dalam irama berpikir Jokowi, yang penting bangun infrastruktur dulu. Apakah itu akan memperbaiki daya saing bangsa?

Saya termasuk yang pesimis! Akan tiba saatnya semuanya tiba-tiba berhenti, dan mereka akan berteriak keras sekali.

Semua upaya yang dilakukan Jokowi menjelang, selama dan seusai Lebaran tahun ini, hanya membuat kita semua jadi terjebak pada pikiran jelek yang sama: ini menyongsong tahun politik!

Mitos tahun politik yang selalu jadi dagangan berburuk sangka. Sinyalemen yang diperburuk oleh jargon memaafkan itu baik, tapi bila yang dimaafkan seorang ustadz yang suka chatting mesum, tentu itu akan mengurangi cita rasa keadilan Iedul Fitri tahun ini.

Lebaran yang sesungguhnya, makin kehilangan kehangatan, ketulusan, dan kesederhanaannya. Saya khawatir satu-satunya yang masih memiliki ketiga hal itu hanya Jokowi seorang, orang-orang di luar dirinya gagal memahami dan meneladaninya.

Selamat (melewati) Lebaran, mohon maaf atas salah pikir, tulisan yang buruk, dan segala kelancangan!

***