Noda darah para korban belum terhapus di jalan, dan basah tanah pusaranya belum kering, bahkan malah jasadnya belum dikubur, tapi secepat peluru terpantik kelompok itu menebar tuduhan dan fitnah ke berbagai arah.
Mereka melakukan bentuk lain terorisme. Yang bukan meledakkan diri ke tengah kerumunan. Tapi melontarkan hasutan dan dan kebencian ke tengah khalayak.
Yang membedakan antara mereka dan pelaku bom bunuh diri itu hanyalah nyali. Namun mereka sudah memiliki bekal yang cukup untuk menjadi pelaku terorisme apa pun bentuknya, yaitu kebencian yang terasah. Tinggal bertemu seorang yang ahli brainwashing, maka kemampuan memfitnah itu bisa dikonversi menjadi merakit bom.
Sesaat setelah ledakan mengguncang rasa aman masyarakat, mereka melakukan aksi susulan berupa tuduhan kepada partai-partai yang menjadi musuh afiliasi politik mereka. Tanpa bukti, disudutkannya partai-partai itu sebagai sarang teroris. Dituduhnya lawan politik mereka tidak pernah empati kepada korban. Maka pecahlah bom fitnah dari teroris verbal, membuat keributan di tengah publik.
Mereka menuduh kelompok yang dibenci tak punya rasa duka pada korban. Padahal kenyataannya mereka hanya menyatakan kepura-puraan untuk kemudian menunggangi isu itu untuk mendaur ulang terorisme dalam bentuk fitnah. “…Dan fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan…” (QS Al-Baqoroh: 191)
Tak lupa mereka intimidasi organisasi-organisasi Islam, bahkan pada tingkat ekstrakurikuler di sekolah. Mereka karang cerita bohong tentang pelaku teror yang dikatakannya mantan ketua Rohis. Kenyataannya bukan. Dan hoax tentang kegiatan keislaman di sekolah dan kampus terlanjur menghasut masyarakat.
Ada kasus salah tangkap yang sudah terklarifikasi tahun lalu diramaikan kembali. Demi menyudutkan lawan afiliasi politik mereka.
Film yang mengungkit nostalgia momen kebersatuan umat Islam ikut dihubung-hubungkan dengan terorisme. Hanya karena peristiwa itu telah membuat mereka kalah dalam kontestasi demokrasi beberapa waktu lalu. Dan membawa ancaman kekalahan berikutnya.
Kata kunci “intoleransi” didengungkan. Tentu dengan definisi versi mereka. Bahwa intoleransi itu adalah marah bila agama dinista. Dan toleransi berarti menyanjung tokoh pujaan mereka. Lalu diambil kesimpulan, bahwa orang yang marah karena agama dinista, dan yang kontra dengan tokoh pujaan, adalah penanam bibit terorisme.
Melengkapi itu semua, mereka kaitkan terorisme dengan tampilan tertentu. Jenggot, cadar, panjang celana, dsb. Padahal terorisme tidak berafiliasi dengan perancang busana mana pun.
Sayup-sayup media pun bikin lelucon. Di sebuah headline ditulis bahwa pelaku terorisme dikenal suka berlatih memanah. Oh ya? Pelaku teror pun suka makan nasi lho. Siapa yang suka makan nasi, cung..!! Apakah media itu ingin menyudutkan atlet panahan yang akan berlaga di Asian Games 2018, atau ingin memframing umat Islam yang mengikuti pesan Umar bin Khattab r.a.?
Pelaku teror verbal kini berkeliaran dan beraksi tak karuan. Bom-bom fitnah meledak di mana-mana, mengisi tiap sudut jejaring media sosial dan perbincangan dunia nyata. Membahayakan keutuhan bangsa.
Tak ada kata lagi, lawan!!!
***
Zico Alviandri
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews