Apa Enaknya?

Sabtu, 9 Juni 2018 | 13:22 WIB
0
297
Apa Enaknya?

Kalau misalnya saya jadi orang kaya, saya ngebayangin apakah saya masih bisa hidup tenang seperti ini? Untuk menjaga harta saya memerlukan beberapa jasa keamanan di dalam rumah, di luar rumah. Untuk merawat aset, saya memerlukan beberapa tenaga ahli. Beberapa pembantu di rumah.

Nggak apalah, anggap saja saya mengurangi pengangguran. Lagian sirik aje, duit-duit gue. Suka-suka gue lah. Cuma satu hal yang tidak bisa saya beli, ketenangan lahir batin.

Kalau misalnya saya berkuasa di negeri ini, ketenangan itu lebih mahal lagi harganya. Penguasa kan bukan orang kaya. Cuma dipercaya mengelola keuangan negara. Ketenangan cuma bisa didapatkan kalau saya bekerja dengan baik. Itu saja.Ketenangan akan datang dengan sendirinya. Menjadi orang baik bukan berarti tidak punya musuh sama sekali.

Ketulusan dan keihlasan dalam bekerja bisa membuat saya lebih tenang. Saya tidak akan takut kehilangan jabatan.Bisa tidur lebih nyenak, nikmat yang tiada tara bagi seorang penguasa.

Bekerja dengan baik, tulus, ikhlas akan menghasilkan elektabilitas tanpa rekayasa. Kalau elektabilitas saya meroket saya tidak akan sombong, kalau menukik juga tidak akan membuat saya panik dan menghalalkan segala cara. Itu yang namanya hidup sederhana. Walaupun banyak duit, selera berpakaian dan selera menu makanan saya di atas rata-rata, bukan itu ukuran kesederhanaan

Ngapain mikirin elektabilitas. Kalau bekerja dengan baik elektabilitas akan mengikuti dengan sendirinya. Kalau Tuhan menghendaki saya akan kembali menjadi penguasa pada priode berikutnya. Kalau nggak ya nggak apa-apa, yang penting bisa tidur dengan nyenyak.

Kalau mikirin elektabilitas mah nggak ada habisnya, nggak ada puasnya. Saya membanggakan elektabilitas tinggi, tapi saya ketakutan akan merosot mendadak, karena saya tahu itu cuma hasil rekayasa. Maka untuk menjaganya saya bahkan harus membagi antara tugas saya dengan tugas memelihara elektablitas.

Saya akan menambah staff saya, dan terus bertambah agar elektabilitas saya tetap berada di tangga pertama. Itu saja tidak cukup, saya akan memanggil tukang survey untuk menjadi konsultan untuk melaporkan perkembangan survey setiap detik. Artinya, pemborosan uang negara. Apa enaknya hidup kaya gitu?

Tentu saja saya akan menjadi bahan olok-olokan karena pontang-panting memelihara elektabilitas. Olok-olok adalah musuh elektabilitas. Tentu akan ada langkah berikutnya. Saya akan memerlukan sejumlah advokat buat melawan olok-olok. Karena negara ini sangat luas, bukan hanya dibutuhkan tiga atau empat advokat, harus ada cabang di sejumlah daerah. Berapa duit yang harus saya anggarkan?

Saya bisa saja membanggakan dengan mengatakan, “Lihat! Sekarang tidak ada lagi yang mengolok-olok saya. Berarti rakyat sudah sadar saya sebenarnya orang baik. Cuma dulu mereka nggak tahu saja." Padahal dalam hati saya tahu, rakyat nggak berani bersuara. Apa enaknya hidup kaya gitu?

Saya bisa saja dengan bangga memamerkan elektabilitas. Tapi saya juga tahu pasti banyak yang mengolok-olok dalam hati, “Kalau elektabilitas setinggi itu, kenapa panik dengan menambah staff ini itu, membentengi diri dengan sejumlah advokat?”

Olok-olok dalam hati lebih menyakitkan ketimbang disuarakan. Susah pula membungkamnya. Karena tidak ada tenaga ahli yang mengurusi membungkam suara-suara dalam hati. Kalau ada, saya tidak akan ragu membayar mahal. Apa enaknya hidup kaya gitu?

Kalau sudah pontang-panting kaya gitu masih kalah juga, tentu akan sangat menyakitkan. Sakitnya tuh di sekujur tubuh, seperti tersayat-sayat sembilu. Kalau menang, akan semakin banyak orang yang saya santuni karena jasanya. Apa enaknya hidup kaya gitu?

Sudahlah, mending nggak usah berhayal. Apa enaknya menghayal? Mending kaya gini saja.

***

02062018