Cari Biang Keroknya, Niscaya Isu Pun Akan Mereda

Senin, 4 Juni 2018 | 05:28 WIB
0
940

"Saya harus bongkar ujungnya," ujar Prof. Mahfud MD. Dia sedang diserang isu soal gaji tim pengarah BPIP. Orang menyerang dirinya dan seluruh tim di sana karena menerima gaji seratus juta.

Bahasa yang digunakan Mahfud, cari sarang nyamukmya ketimbang meladani nyamuk satu-satu.

Apa yang dibongkar Mahfud? "PKS itu sudah melahirkan dua koruptor besar," ujarnya. "Coba tanya Hidayat Nurwahid, berapa banyak dia habiskan duit negara buat jalan-jalan ke luar negeri," katanya lagi.

"Saya tahu berapa duit yang diterima anggota DPR setiap bulan. Seratus juta lebih juga. Kalau posisinya ketua, ada tambahan seratus juta lagi. Belum lagi fasilitas lainnya. Tanyakan sama mereka, permah gak mereka mengembalikan uang itu ke kas negara?"

"Sasaran PKS itu Megawati dan pemerintah Jokowi. Mereka mengarahkan orang-orangnya menyebarkan isu. Tapi saya juga ada di sana," ujar Mahfud tegas.

Dibongkar Mahfud seperti itu, apa reaksi PKS? Mengerahkan lagi kadernya untuk menyerang lebih gila?

Gak tuh. Elit PKS malah meminta maaf.

Kenapa? Karena mereka kuatir Mahfud akan membuka lebih banyak boroknya. Orang tahu, Mahfud bukan orang baru di dunia politik. Dia pernah jadi Menhan, anggota DPR, ketua MK dan setumpuk jabatan lainnya. Dia dikenal memiliki integritas dan komitmen tinggi pada NKRI.

Membandingkan Mahfud dengan kebanyakan elit PKS, seperti melihat langit dan comberan.

Setelah tamparan Mahfud yang gak bisa dibantah PKS, isu gaji BPIP langsung mereda. Pembicaraan sinis mengenai gaji dewan pengarah BPIP menurun drastis.

Jadi benar kata Mahfud, langsung serang ujungnya. Pucuknya. Isu dan omongan nyinyir akan mereda. Buktinya setelah Mahfud menyebut nama PKS dan dedengkotnya dengan keras, isu gaji BPIP langsung redup.

Mahfud paham, ketimbang meladeni omongan para keroco penyebar isu, lebih baik hantaman diarahkan langsung ke sarangnya. Maka isu langsung mereda.

Ada satu hal lagi. Ketika terjadi kasus terorisme, biasanya ada saja yang membela dan bersimpati pada pelaku teror. Atau isu yang sering disebar adalah kejadian teror sebagai upaya pengalihan isu.

Jika teror adalah upaya pengalihan isu itu artinya mereka hendak mensasar pemerintahan Jokowi, sebab untuk mengalihkan sebuah isu harus memgorbankan nyawa orang lain.

Masyarakat pasti eneg mendengar plintiran seperti ini.

Untung ada mantan aktivis 98 Faisal Assegaf. Dia langsung menuding pokok masalahnya. Tudingannya jelas dan tegas: PKS adalah partai pendukung teroris.

[irp posts="16445" name="Serangan Balik Mahfud MD Bikin PKS dan Amien Rais Tak Berkutik"]

Faisal punya bukti. Dari mulai latar belakang keroco yang menyebarkan opini soal pengalihan isu terorisme sampai pujian dan simpati Anis Matta --dedengkot PKS-- kepada gembong teroris Osama bin Laden. Hal itu dilakukan secara terbuka dan terang-terangan.

Statemen para elit PKS mengenai kasus terorisme juga sering membuat kita sakit hati. Bukannya berempati pada korban dan mengutuk kejadian teror, mereka malah sering menjadikan isu terorisme untuk menyerang pemerintah. Atau paling tidak mengaburkan persoalan.

Rakyat yang sakit hati akhirnya menggeruduk kantor partai tanpa empati ini. Mereka berdemonstrasi di berbagai daerah mendatangin kantor wilayah atau cabang, mengutuk kelakuan PKS. Kantor pusat PKS juga tidak luput dari kepungan demonstran.

Ada lagi bukti lain yang membuat rakyat pecinta NKRI sakit hati. Ketika pemerintah resmi membubarkan HTI karena dianggap berlawanan dengan ideologi Pancasila, eh PKS malah terang-terangan memasang spanduk mendukung khilafah.

Ini kan, kurang ajar.

Gerakan ganti presiden tanpa tahu siapa penggantinya juga dimotori oleh elit PKS. Digagas Mardani Ali Sera, ketua DPP. Gerakan politis ini sempat mengotori masjid dengan aktivitas politik, memasang slogan politis di masjid pasti akan memecah belah umat Islam.

Di CFD Jakarta, kelompok yang digerakkan oleh isu Mardani ini mempersekusi seorang ibu dan anaknya. Video persekusi itu viral dan kelakuan mereka beserta tampangnya gampang dilihat.

Sudah jelas-jelas mempersekusi dan berlaku biadab, eh untuk ngeles malah menyerang korban. Malah menuduh korban sedang bersandiwara. Tidak ada kelakuan yang lebih biadab dibanding penjahat yang justru memfitnah korbannya.

Kata Prof. Romli, seorang pakar hukum, secara kampanye ganti presiden tanpa tahu siapa penggantinya, termasuk kategori gerakan makar. Tapi, emang peduli anggota partai ini dengan makar atau tidak?

Pada momen mudik ini, mereka juga berkampanye sosialisasi gerakan tersebut. Bayangkan para pemudik akan berjalan melewati berbagai daerah. Pasti banyak daerah yang menjadi basis pendukung Jokowi atau PDIP. Apakah gerakan itu malah tidak memprovokasi masyarakat?

Bagi PKS barangkali siapa yang peduli jika masyarakat saling terprovokasi? Atau sebetulnya potensi benturan dan konflik horisontal sengaja ingin dipercikan. Agar ujungnya nanti bisa menyalahkan Jokowi.

Ah, kesimpulan saya kok, sepakat dengan Prof. Mahfud, ya. Carilah ujung dari semua keribetan dan kegaduhan yang kita alami saban hari. Carilah sumbernya. Bungkam sebelum merusak semuanya.

Saudi dan Mesir rupanya sudah lama paham potensi merusak dari sebuah gerakan. Mereka menjadikan Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi teroris dan melarang bercokol di sana.

Sudah menjadi rahasia umum, PKS adalah titisan IM di Indonesia. Dan selama ini tumbuh subur, khususnya di kampus dan perkotaaan.

Hasilnya? Data BIN menjelaskan, 39 persen mahasiswa kita terpapar ideologi radikal.

Kalau kita bosan dengan kegaduhan di Indonesia, mungkin kita bisa meniru jejak Saudi atau Mesir.

"Meniru Tibet juga bisa mas. Disana gak ada tuh, IM atau PKS. Rakyatnya bisa hidup nyantai," ujar Abu Kumkum

Lho, ini orang, tau-tauan soal tibet. "Tahu soal tibet dari mana kang?". "Lho, saya sering lewat sana kok. Ke tibet timur dalam raya, ketemu teman."

***