Dihantam Terorisme Dua Kali Berturut-turut, Rupiah Belum Rontok

Jumat, 1 Juni 2018 | 16:43 WIB
0
775
Dihantam Terorisme Dua Kali Berturut-turut, Rupiah Belum Rontok

Indonesia sedang berduka karena dua kali serangan terorisme berturut-turut. Pertama pemberontakan dan pembunuhan 6 orang polisi di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok. Yang kedua adalah pemboman beberapa gereja di Surabaya. Keduanya menimbulkan korban berjatuhan yang luar biasa banyaknya dan keresahan di kalangan rakyat Indonesia. Banyak yang meramalkan bahwa peristiwa-peristiwa ini akan diikuti oleh guncangnya perekonomian Indonesia.

 

 

Namun kalau kita mau teliti, sebenarnya justru keduanya adalah ujian bagi fudamental ekonomi Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden ketujuh Republik Indonesia, Joko Widodo. Setelah sebelumnya melorot ke level 14.000an karena menguatnya Dollar Amerika Serikat terhadap Rupiah (dan tentunya mata uang negara Asia lainnya), rupiah stabil, bahkan cenderung menguat tipis.

Pelemahan rupiah ke arah Rp 14.000an, jika melihat data dari situs Bank Indonesia, mulai terjadi pada tanggal 30 April 2018, di mana nilai tukar mata uang Rupiah terhadap dollar selama seminggu sebelumnya stabil di kisaran Rp 13.800an. Pelemahan mencapai puncaknya pada tanggal 8 Mei 2018, saat teror Mako Brimob terjadi, yaitu di harga Rp 13.966 dan berlanjut besoknya menjadi Rp 14.004. Namun karena penanganan krisis yang cepat dan profesional, rupiah kembali menguat secara perlahan namun pasti sejak tanggal 10 Mei 2018 menjadi 13.978.

Teror lanjutan Bom Surabaya pada tanggal 13 Mei 2018 terlihat tidak mempengaruhi trend penguatan ini. Hari ini BI mengupdate nilai rupiah kembali membaik ke level Rp 13.901. IHSG pun menguat karena pasar tetap percaya diri.

Jadi walaupun kita tetap bersimpati dan mengucapkan duka atas wafatnya 13 orang saudara saudara kita dan terlukanya 43 orang korban akibat kejahatan kemanusiaan ini, namun secara garis besar, adanya kedua teror berurutan justru memperlihatkan kuatnya dasar perekonomian kita, sulit diguncang oleh kekacauan.

Ini juga berarti isu yang ditebarkan oleh kelompok pembenci juga terbantahkan. Teror Mako Brimob dan Bom Gereja di Surabaya bukanlah sebuah upaya konspirasi dari pemerintah sendiri untuk menutupi melemahnya rupiah. Karena pada kenyataannya Rupiah justru dalam proses pemulihan saat adanya teror ini.

Bahkan ada pula yang meramalkan tragedi Mei 1998 sedang terjadi kembali karena kejadian-kejadian yang mirip dan menimbulkan dejavu. Padahal kondisi hari ini dengan Mei 1998 sama sekali berbeda. Indonesia sudah jauh lebih kuat, dengan GDP berkali lipat lebih baik, kemampuan membayar utang sudah lebih kuat.

Indonesia hari ini juga punya daya tawar jauh lebih baik di mata internasional karena memiliki peran strategis dalam perebutan pengaruh antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat China di kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara. Ini berbeda dengan posisi 1998, di mana IMF membelenggu kita dengan melarang berbagai kebijakan sebagai syarat pinjaman untuk mengatasi krisis moneter.

Kesimpulannya, barisan teroris dan para pembenci patah arang, bahkan mungkin putus asa. Teror besar sekelas bom gereja dan pemberontakan di blok sel teroris pun tak mampu mengguncang perekonomian Indonesia.

***

Kartika Djoemadi