Persetan dengan Politik, Ini tentang Keadlian Sosial

Selasa, 29 Mei 2018 | 21:23 WIB
0
704
Persetan dengan Politik, Ini tentang Keadlian Sosial

Kalau Jokowi mau menang lagi dalam Pemilu mendatang, gampang. Arahkan saja pembangunan di daerah-daerah yang padat penduduknya seperti di Jawa dan Sumatera. Di sanalah pemilih terbesar berada. Hasilnya, dalam Pemilu nanti pasti memuaskan.

Tapi tampaknya logika itu sejak awal tidak digunakan Jokowi. Alokasi dana pembangunan tidak berpusat di daerah yang jumlah penduduknya banyak. Justru wilayah-wilayah terpencil menjadi incaran pertama.

Infrastruktur di Papua, Kalimantan, Maluku, atau Sulawesi dibangun. Daerah-daerah perbatasan yang jauh dibenahi. Padahal penduduknya tidak padat. Jikapun mereka puas dengan kinerja pemerintahan dan memberikan suaranya kepada Jokowi pada Pilpres, jumlahnya tidak akan terlalu signifikan secara nasional.

Di wilayah terpencil itu juga, selain infrastukrur, khususnya jalan dan sarana transportasi yang dibangun secara serius, Jokowi juga mencanangkan BBM satu harga. Pertamina diperintahkan untuk banting tulang memenuhi target ini.

Bukan hanya BBM, kesediaan listrik (elektrifikasi) juga digenjot. PLN dan Kementrian ESDM bekerja keras untuk mencapai rasio elektrifikasi 98%. Desa-desa yang jauh dijelajah. Wilayah yang paling terpencil yang sebelumnya gelap gulita menjadi lebih terang.

"Ini soal menjaga Indonesia. Soal keadilan sosial buat seluruh rakyat. Gak ada urusannya sama politik," ujar Presiden Jokowi dalam sebuah kesempatan.

Memang selama Indonesia berdiri, banyak wilayah terpencil yang jauh dari Jakarta terabaikan. Transportasi di Papua tidak tersedia. Harga bensin gila-gilaan. Listrik tidak ada. Lalu bagaimana saudara-saudara kita di sana bisa mengejar ketertinggalan?

 

Selama ini sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia hanya dinikmati oleh orang di Jawa atau Sumatera saja. Makanya ketika BBM naik sedikit, keluhannya sepanjang jalan tol. Ketika harga listrik naik sedikit, mulutnya pada mencong dan nyinyir. Padahal harga premium gak tembus sampai Rp7.000.

 

Sementara di Papua, masyarakat sudah biasa membeli bensin seharga Rp60 ribu seliter. Karena bensin mahal, otomatis harga-harga lainnya juga mahal. Semen satu sak bisa mencapai Rp1 jutaan.

Pasti bukan hanya harga-harga yang melonjak gila-gilaan dibanding di Jawa, dengan keterbatasan akses, semua fasilitas menjadi sulit dijangkau. Fasilitas kesehatan, pangan dan kebutuhan hidup dasar susah didistribusikan. Boro-boro mau menikmati hidup seperti sebagian besar rakyat di bagian barat Indonesia, wong sekadar hidup normal saja mereka kerepotan.

Jadi jalan di Papua fungsinya bukan hanya sebatas digunakan oleh mereka yang punya kendaraan seperti kata ketua BEM UI yang gembil itu. Jalan di Papua, juga menjadi pembuka pemertaan penduduk disana. Membuka masa depan anak-anak Papua untuk bisa setara dengan saudara-saudaranya di wilayah lain.

Untuk mewujudkan keadilan sosial itu, semua kekuatan dikerahkan. Pertamina sebagai BUMN, misalnya, tidak lagi difokuskan untuk mencari untung. Berbeda dengan swasta yang pikirannya bagaimana untung sebanyak-banyaknya, BUMN seperti Pertamina dan PLN juga memiliki kewajiban sosial.

Untuk mendistribusi BBM ke seluruh wilayah, misalnya, Pertamina harus merogoh kocek Rp 800 miliar untuk biaya distribusi. Bahkan di beberapa wilayah terpencil, biaya distribusi BBM bisa jauh melebihi harga BBM itu sendiri.

Itu juga dilakukan PLN. Menurut Direktur PLN Sofyan Baasir, di beberapa daerah di Papua, harga produksi listrik mencapai Rp 11.000/kwh dan hanya dijual Rp 450/kwh. Sebab harga listrik harus sama di semua wilayah Indonesia.

Otomatis keuntungan BUMN ini agak tergerus. Bukan karena rugi operasional, tapi karena memang harus menjalankan misi pemerataan yang dibebankan ke pundaknya.

Untuk apakah misi pemerataan itu? Untuk menjalankan sebuah sila dalam dasar negara kita : keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah yang menjadi konsentrasi Presiden Jokowi dalam pemerintahannya.

Untuk apa pemerintah membangun wilayah terpencil yang penduduknya sedikit, dan jauh dari jangkauan media untuk diberitakan? Bukankah itu tidak menguntungkan secara politik? Artinya biaya yang dikeluarkan dengan imbal politik yang diterima tidak sepadan.

Secara politik akan lebih menguntungkan mempertebal aspal jalan-jalan di Jawa Barat atau Jatim, ketimbang membangun jalan di Papua. Penduduk Jabar dan Jatim jumlahnya jauh lebih banyak dibanding rakyat Papua. Pekerjaan juga lebih mudah dilakukan tanpa harus merambah hutan dan menyebrangi rawa-rawa.

Tapi persetan dengan politik. Ini soal mewujudkan sila dasar negara kita. Ini soal komitmen jangka panjang tentang sebuah negara Indonesia. Bukan hanya soal Jakarta. Bukan hanya soal Jawa dan Sumetara. Ini tentang Indonesia.

Tahun politik, hanya sekali lima tahun. Tapi tahun Indonesia berlaku sepanjang jaman.

***