Gareta, Memoar Orang Biasa

Sabtu, 26 Mei 2018 | 12:44 WIB
0
979
Gareta, Memoar Orang Biasa

Orang besar datang dan pergi, lahir lalu mati. Hidupnya utuh terekam, nisannya mengilap dari batu pualam. Di atasnya diterakan sepenggal ayat suci, mungkin juga sebait puisi.

Tapi dia, Gareta, bahkan tak kudengar tanggal kematiannya. Sampai kemarin, saat Jakarta hujan dan berangin, kabar tentangnya terselip di antara cerita media sosial kawan-kawan sekampung. Kabar kematiannya berhembus bersama kenangan yang basah.

Entah kenapa saya tiba-tiba mengingatnya, lelaki tua yang dengannya melekat kenakalan masa bocahku. Namanya Gareta, kami memanggilnya Gare', jika sedikit hormat kerap kutambahi sendiri jadi Ua' Gare'. Paman Gare'.

Ia orang biasa. Cenderung lemah ingatan. Tak pernah jelas benar ucapannya. Dan satu hal lagi, asal-muasalnya sungguh misterius. Sampai sekarang pun, yang saya tahu tentang dirinya hanya bahwa Gare’ datang dari utara – dari Sulawesi Utara. Ada yang menyebut nama lengkapnya Gareth Sumampouw, tapi tak jelas juga benar tidaknya. Begitu juga bagaimana ia bisa tinggal bersama keluarga Papa Uding di dekat pesawahan Kondo Bata di pinggiran Desa Mambi, ceritanya tak pernah terang. Sampai hari ini.

Ia hidup sendiri, tak punya keluarga, tak punya kerabat.

Semenjak saya mulai belajar mengeja nama orang, Gare’ telah hadir bersamaku. Gambarannya tak berubah: kopiah hitam, kemeja lusuh dengan warna memudar, celana pendek dengan kain sarung dililitkan di pinggangnya. Jika ditanya, ia hanya menjawab sekenanya sembari memalingkan muka dan mengusapkan jari ke ujung hidung. Ia tak pernah menatap lawan bicara.

Dunia Gare’ hanya di tiga tempat. Di sawah ia membantu orang-orang kampung membajak, di pasar setiap Senin dan Kamis membantu siapa saja yang butuh mengangkat barang, dan masjid desa. Dan di masjid inilah Gare’ menganyam kenangan denganku, juga bocah-bocah sepantaran.

Di Masjid Mambi, hanya dua orang yang punya tempat bersila yang pasti: imam masjid dan Gare’. Ya, Gare’ selalu menempati posisi saf (barisan) terdepan di ujung kiri. Di pojok kiri masjid, di bawah jendela kaca. Dari posisi itu, saat berdiri, pandangan Gare’ leluasa ke jalan raya dan Pasar Mambi.

Ia selalu datang ke masjid dengan tentengan yang sama: kantong kresek, sajadah permadani, lampu senter, dan payung lipat. Saya tak mungkin lupa urut-urutan gerakan Gare’ setiap kali memasuki masjid. Dibukanya sandal jepit dan dimasukkan ke kantong kresek lalu diletakkan di sudut kirinya, payung dan senter ia geletakkan pula di lekuk dinding, lalu digelarnya sajadah kemudian duduk dengan takzim menanti waktu sholat.

Sandal, lampu senter dan payungnya itu adalah bagian dari kenanganku -tepatnya, kenakalanku. Dulu, seperti jamaah lainnya, Gare’ melepas sandal di pintu masjid. Tapi saya pernah jahil, memisahkan sandal kiri dan kanannya di dua pintu berbeda. Sandal kiri di pintu selatan, sandal kanan di pintu utara. Dan Gare’ kelimpungan selepas maghrib. Sampai seluruh jamaah pulang, seseorang memberitahunya jika pasangan sandalnya ternyata ada di pintu utara. Esoknya, Gare’ mengempit sandal jepitnya itu dalam kantong kresek dan membawanya ke sudut masjid.

Kejahilanku tak henti di situ. Waktu sholat tiba, saya – ada juga bocah lain – sengaja berlambat-lambat, lalu saat Gare’ tengah khusyuk-khusyuknya, saya menarik tongkat payung atau senter di sisinya, lalu mengalihkannya ke kawanku yang lain. Gare’ tak tahu siapa pelakunya, tapi ia sungguh geram. Geram yang hanya tampak di wajahnya. Kalimatnya tak pernah tuntas.

Kenakalanku tak pernah membekas padanya. Gare’ menyayangiku. Bertahun-tahun meninggalkan Mambi, bila saya berkunjung ke sana, Gare’ masih saya temui, menggenggam erat-erat tangannya yang masih berlumpur, dan mengujinya dengan pertanyaan yang sama: “Ua’ Gare’, ayoooo, saya siapa? Nama saya siapa?” Dan ia mengingat namaku.

Di suatu hari Libur Lebaran, saya ke Mambi. Ia membonceng di sepeda motorku. Ia duduk dengan gayanya yang membahayakan: memeluk erat-erat sembari merebahkan badan ke belakang. Badanku ikut tertarik, sepeda motor hampir terjengkang.

Begitulah. Gare’ telah mengisi sebuah tempat yang sungguh lapang di masa kecilku, juga kawan-kawan sepantaranku. Tak banyak yang bisa kuceritakan tentang dirinya. Ia hanya hadir di kenanganku. Wajahnya saja, sandal, payung dan lampu senternya.

Selamat jalan Ua’ Gareta.

***