Kenapa Surabaya dan Kenapa Pula Keluarga Oerpriarto?

Minggu, 20 Mei 2018 | 20:56 WIB
0
605
Kenapa Surabaya dan Kenapa Pula Keluarga Oerpriarto?

 

Jauh sebelum Jakarta menjadi kota metropolitan, Surabaya jauh lebih dikenal sebagai kota kosmopolitan. Apa yang membedakan antara metropolitan dan kosmopolitan?

Metropolitan hanya merujuk pada kota besar dari sisi ukuran, jumlah penduduk, luas wilayah, banyaknya idustri, dan seterusnya. Sedangkan kosmppolitan lebih merujuk pada sikap dan watak penduduknya yang terbuka, walau pun mereka berasal dari ras, suku, dan agama yang berbeda namun memiliki ikatan moral yang sama.

Dalam konteks inilah, sebenarnya Surabaya memiliki potensi yang luar biasa untuk maju, karena di luar konteks toleransi, mereka juga mampu bergerak bersama atas dasar-dasar yang di luar kepentingan SARA. Watak inilah yang menyebabkan bisa terjadi Peristiwa 10 November, munculnya Bonek supporter sepakbola paling militan yang pernah ada di Indonesia, dan lahirnya banyak musikus dari berbagai etnis berskala nasional.

Agama-agama dari mana pun bisa hidup berdampingan dengan damai, tampaknya hanya di Surabaya terdapat komunitas Yahudi yang rumah ibadahnya jejaknya masih ada, bahkan kuburan mereka pun tak terusik hingga kini.

Sejak jaman dulu, industri kelas berat lebih mudah dikembangkan di kota ini, karena karakter masyarakatnya yang memang tahan banting dan pekerja keras. Kota ini relatif damai, walau konon juga pergerakan Islamisme garis keras terjadi merata di sekujur kota. Mungkin mereka ini termasuk sel tidur yang belum digerakkan!

Hingga hari Minggu 13 Mei 2018, satu keluarga yang saya yakin sejenis keluarga etnis Jawa yang baru mulai belajar agama lalu terjebak dalam fundamentalisme! Kenapa harus Surabaya, dan Keluarga Oerpriarto rela mengorbankan seluruh keluarganya?

Suka tidak suka, setuju atau tidak setuju, peristiwa ini adalah bagian dari desain besar gerakan anti-Jokowi yang sudah dimulai jauh sebelum ini. Rentetan peristiwa yang tak putus digerakkan sejak Gerakan 212, Pilkada DKI Jakarta, hingga sampai hari ini.

[caption id="attachment_15861" align="alignleft" width="463"] Ilustrasi (Foto: Jawapos.com)[/caption]

Saya harus sampaikan, salah satu figur yang dismpan oleh PDI Perjuangan untuk mendampingi Jokowi sebagai Cawapres adalah Tri Rismaharini (TR). Ia benar-benar disimpan, agar tidak terlalu dini dihantam oleh para lawan politiknya.

Tapi upaya ini pun gagal, Risma dipaksa keluar untuk ditunjukkan bahwa ia lemah, tak berdaya dan tidak punya kemampuan apa-apa. Dan terbukti, hingga beberapa jam setelah peristiwa pemboman, TR tampak kebingungan dan tidak memberikan pernyataan pers apa pun. Suaranya baru terdengar, saat ia membatalkan acara Festival Rujak yang sedianya akan diselenggarakan di hari itu.

Si Think-tank terorisme tahu betul, apa yang harus dilakukan setelah kerusuhan Mako Brimob. Lepas siapa pun dia, ia tahun betul titik akupunktur mana yang harus ditekan hingga menimbulkan efek publikatif yang luar biasa. Di tengah suasana Pilkada Jawa Timur, yang seolah tidak penting lagi siapa pun yang menang itu, karena kedua pasangan adalah figur good-profiler, orang-orang baik yang pati akan juga bekerja baik. Keduanya memiliki watak yang sama, tidak ramah pada radikalisme, populis-terbuka, dan memiliki watak nasionalisme yang kuat.

Terlalu banyak alasan kenapa Surabaya! Ia satu-satunya kota di mana para pendukung terorisme mudah melakukan framing, bahwa itu setiingan justru untuk pihak yang berkuasa! Dalam konteks seperti inilah saya setuju terorisme sesungguhnya itu ada di mana-mana khususnya di sosial media maupun dalam pergaulan sosial dunia nyata!

Dalam situasi inilah, sangat mudah dipahami kenapa aktor yang digunakan sebuah keluarga untuk melakukan pengeboman. Tidak mungkin mereka bergerak sendiri, dan tentu ada yang mengatur. Karena ketiga gereja memiliki aliran atau merupakan sekte yang berbeda: satu gereja katolik, satu protestan, dan satu pantekosta. Ini ibarat sekali ngeplak, tiga persekutuan umat serentak terkena dampak. Dahsyat!

Sebagaimana saya sampaikan, sangat mudah mengidentifikasi profil dan sosiografis keluarga Dita Oerpriaerto, mereka tentu saja bagian dari gelombang besar dari apa yang sering saya sebut "orang Jawa yang malu akan ke-Jawa-annya", mereka yang "berhijrah" dari budaya masa lalunya, akar sejarahnya, untuk sesuatu yang secara instan mereka pahami sebagai "jalan cepat menuju surga".

[irp posts="15597" name="Jawa Timur Berduka, Bomber Menyerang Surabaya dan Sidoarjo"]

Bagi saya ini hanya sebuah bentuk baru terorisme, yang sebenarnya akarnya sudah banyak terjadi lama: "bunuh diri sekeluarga". Orang-orang yang takut melanjutkan hidup, lelah menjalani keruwetan dunia, dan seterusnya. Mereka tidak selalu tampak sangat miskin, namun mereka jelas tampak sebagai golongan yang berwajah pesimistik, bergaya sinistik, bahkan berciri-ciri tragik.

Dalam konteks inilah, kaum-kaum agamawan yang sibuk berorasi memberikan pembenaran tentang aksi-aksi terorisme itu adalah teroris-teroris yang sesungguh-sungguhnya. Tanpa mengurangi simpati pada korban pengemboman, saya sedikit menyisakan empati pada pelaku. Bahkan ketika mereka sudah melakukan pembelaan sedemikian rupa terhadap "Islam", oleh para politikus busuk itu mereka dianggap bukan Islam! Mereka dianggap kafir, Cih!

Mereka adalah korban yang teraniaya pangkat tiga, dilecehkan para para malaikat, sekaligus tak diakui para setan, berubah menjadi terkutuk sebagai manusia yang pernah dilahirkan. Bahkan oleh setan, iblis, dan brekayangan yang membentuk mereka hingga sedemikian rupa. RIP for All!

Surabaya saya pikir sedang menyempurnakan kotanya, ditata secara fisik dan mentalnya oleh TR secara keras tapi penuh ketulusan. Ia sudah berperan baik sebagai ibu bagi warganya, tak sedikit yang tidak suka.

Karena demikianlah harkat membentuk disiplin hidup warga dan aparatnya. Ia tampak dilemahkan, dengan mengorbankan jiwa yang tak berdosa. Dalam kasus ini, muncul dua sosok ibu: ibu yang tega membiarkan keluarga-nya musnah untuk suatu cita-cita yang tak pernah kentara kebenarannya.

Dan seorang ibu yang diberi "pelajaran baru", sanggupkah ia naik kelas, berani besuara, dan turut melawan bahaya fundamentalisme.

Surabaya sudah mengirim isyarat, ratusan ribu orang telah berkumpul, bersuara dan berdoa: kami tidak takut pada para pengecut!

Satu hal yang harus dicatat ini belum berakhir dan masih berseri, karena itu saatnya negara tegas!

***