Saya membaca tulisan seorang Pesbuker yang bekerja sebagai Expert Staff di DPR, yang dulu kuliah dan bergaul dengan beragam mahasiswa dari seluruh dunia di Paris.
Kurang lebih sama seperti si Nose yang terkaget-kaget dan tiba-tiba mendapat "Hidayah" ketika wisata ke Jepang, melihat toleransi di Jepang yang mayoritas agama Shinto menurutnya sangat indah sedangkan di Indonesia yang mayoritas Muslim begitu tercela.
Mungkin karena mulai ragu dengan ajaran dan iman Islam-nya si Nose pun memutuskan melepas jilbab, mungkin saja dia ingin pindah agama tapi belum ada yang cocok ukurannya.
Lha, kita sedang bicara agama apa baju nih? Sama saja karena bagi banyak manusia sekarang agama cuma ibarat baju yang dipakai dan diganti tergantung kondisi dan keadaan.
Si Pesbuker Expert Staff di DPR juga memuja-muji indahnya toleransi di Prancis.
Ukuran toleransinya adalah ia menikmati party-well atau apalah namanya, memuji bagaimana di Paris cowok dengan cowok bisa ciuman bebas di depan umum dan mungkin saja kalau ngga risih silahkan bersenggama di mana saja orang mau.
Pokoknya bebas dan tidak akan ada yang perduli apalagi mengganggu.
Para gadis-gadis bule bebas dengan pakaian apa adanya, bahkan kalau mau telanjang ngga akan ada yang melarang.
Tapi maaf, saya bingung, dia seperti sedang menceritakan zona hidup para hewan di hutan, baiklah biar lebih teratur kita anggap zona nyaman hidup para hewan di kebun binatang.
Bukankah di Dunia Hewan setiap Binatang juga bebas tanpa ikatan aturan moralitas, apalagi agama?
Berarti Dunia Binatang menjadi model toleransi berdasarkan logika si Expert Staff Anggota Dewan.
Karena dia bebas memeluk siapa saja tanpa ada istilah bukan mahram, ikut merayakan semua perayaan agama dan bebas apa saja dan tinggal minum alkohol dan makan babi yang masih konon dia tidak mau lakukan, jadilah dia dianggap kawan-kawan Parisnya jadi simbol muslim toleran.
Ternyata ukuran muslim toleran itu bukan saling hormat-menghormati, tapi harus mau mengikuti bila perlu meninggalkan syariat Islam.
Semakin jauh dari ajaran Islam maka ukuran toleransinya semakin tinggi.
Wajar saja model manusia toleran idaman itu di Indonesia diwakili oleh Ustad Abu Janda yang doyan ngebir dan Dek Mando yang hobby "menyerang" Islam.
Kurang lebih sama dengan beberapa orang Muslim munafik yang bersikeras bahwa teroris itu harus Islam dengan alasan yang menjadi teroris di Indonesia kebetulan rata-rata ber KTP Islam.
OK-lah kita mengakui kebanyakan manusia-manusia biadab tersesat itu ber KTP Islam, karena Indonesia 89 persen penduduknya memang Muslim.
Tapi pertanyaannya, kenapa terorisme harus dipaksakan berkaitan dengan ajaran Islam?
Bisakah kita misalnya karena kejamnya Penjajah Yahudi Israel kepada rakyat Palestina kita menganggap kalau Yahudi itu semua bajingan?
Bisakah kita misalnya karena kejinya sebagian penganut Budha di Myanmar terhadap Muslim Rohingya kita menganggap ajaran Budha itu keji?
Bisakah kita misalnya karena dahulu penjajah Eropa menjajah ke Asia dengan konsep 3G-nya dan salah satunya "G" itu adalah Gospel (Gereja), kita menganggap semua Kristen adalah Penjajah?
Tentu saja semua jawaban di atas tidak, tidak, dan memang tidak.
Cukup banyak Yahudi bahkan di Israel yang cukup bersimpati terhadap penderitaan Warga Palestina.
Sangat banyak Umat Budha khususnya di Negeri ini yang begitu Cinta Damai.
Begitu banyak Pejuang Kemerdekaan kita justru beragama Kristiani.
Tapi kenapa giliran ada segelintir Muslim yang tersesat di antara miliaran yang hidup damai dimuka bumi ini termasuk tetangga anda sekarang harus menerima dicap dengan stigma teroris kepada Islam?
Islam itu ajaran sedangkan oknum-oknum tersesat itu pribadi.
Menjadi muslim bahkan di Negeri yang mayoritas Islam seperti di Indonesia ini rasanya berat dan menyakitkan.
Untuk dianggap muslim yang toleran harus menyembah-nyembah dan bersedia melanggar banyak ajaran Islam, bila perlu meninggalkan semua syariatnya.
Perempuan muslimah yang tidak berjilbab dianggap lebih toleran dibandingkan mereka yang berhijab.
Wanita bercadar yang beranjing-ria dianggap lebih manusiawi dibandingkan yang hanya mau memelihara kucing.
Muslim gob**k yang bersedia mengolok-olok ajaran Islam dianggap lebih baik dibandingkan mereka yang "nyunnah" memakai celana cingkrang.
Kalau toleransi itu ukurannya kebebasan tanpa ikatan moralitas, budaya, adat dan aturan agama, maka toleransi paling tinggi dipraktekkan para babi di hutan, buaya di sungai dan ikan di lautan.
Tapi maaf, saya manusia dan lebih baik kalian anggap intoleran daripada jadi babi hutan!!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews