Dalam Situasi Bagaimana Kemungkinan Jokowi Gagal Nyapres?

Minggu, 13 Mei 2018 | 18:11 WIB
0
609
Dalam Situasi Bagaimana Kemungkinan Jokowi Gagal Nyapres?

Pernyataan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah terkait alasan-alasan yang bisa membuat sang petahana Presiden Joko Widodo alias Jokowi gagal nyapres pada Pilpres 2019 mendatang, seperti dilansir TribunWow.com, cukup menarik untuk dikaji.

Melalui akun Twitter@Fahrihamzah yang diunggah pada Senin (7/5/2018), ia mengungkap ada empat alasan mengapa Jokowi bisa gagal nyapres. Menurutnya, hal itu bisa dilihat dari janji Jokowi yang tak ditepati hingga konflik parpol pendukung.

Fahri Hamzah menyatakan jika parpol pendukung Jokowi berebut mendapatkan nama untuk Pilpres 2019. Ia pun mengatakan jika elektabilitas Jokowi yang menurun pasti akan membuat sang petahana semakin selektif dalam memilih bakal cawapres.

@Fahrihamzah: Ijin Malam2 menulis kembali alasan ke-3 kenapa incumbent pak #JokowiGagalNyapres. Alasan pertama karena kebanyakan #Janji2Jokowi yg tak ditepati dan yang ke-2 adalah karena ulah #RelawanJokowi yg bikin masalah.

@Fahrihamzah: Alasan ketiga adalah #KonflikParpol yang mendukungJokowi. Sebab, tidak bisa dihindari fakta bahwa di atas kertas memang yang menjadi koalisi Jokowi memang paling banyak. Parpol yang masuk kabinet ada 7 dan tidak termasuk partai relawan.

@Fahrihamzah: Parpol pendukung Jokowi ini sekarang sadar bahwa jika mau punya nama maka jual lah yang punya nama. Dan sekarang incumbent adalah “merek dagang” yang paling terkenal bagi parpol sehingga apabila nama itu didekatkan maka parpol akan mendapatkan efek popularitas.

@Fahrihamzah: Saking berebut mendapatkan nama maka berebut pula menjadi partainya presiden. Inilah yang kemudian menjadi awal konflik yang semakin tajam. Konflik ini bisa memiliki efek negatif bagi presiden sehingga ditinggal dan lari ke lain hati. #JokowiGagalNyapres.

@Fahrihamzah: Konflik ini sekarang ada di belakang layar dan sesekali muncul tanpa terasa. Terutama di antara partai besar Sementara 3 partai yang paling agresif memanfaatkan presiden adalah partai kuning, partai biru dan merah baru... ada apa dengan partai merah? #JokowiGagalNyapres.

@Fahrihamzah: Demikiankah faktanya. Tapi apakah itu akan membuat presiden makin banyak pendukung atau malah tidak dapat? Saya mau Ambil contoh: Tengku Erry incumbent di Sumatera Utara. Awalnya dia paling banyak kedukung tapi akhirnya gagal tidak dapat tiket.

@Fahrihamzah: Orang lupa, bahwa presiden sekuat apapun dia tapi tidak membubuhkan tanda tangan dalam pencalonan. Oleh sebab itu, apabila parpol salah paham maka semua bisa beralih kepada lain hati. Inilah ancaman bagi incumbent. #JokowiGagalNyapres

@Fahrihamzah: Sekarang kita lanjutkan alasan ke-4 kenapa presiden incumbent #JokowiGagalNyapres adalah akibat terlalu banyak calon wakil presiden yang melamar. Ini alasan dan situasi yang paling pelik di hadapan jokowi yang dapat membuatnya tak dapat tiket.

@Fahrihamzah: Dengan alasan itu, coba kita membaca secara teliti dinamikanya. Mulai dari kepentingan internal partai sampai soal elektabilitas. Kali ini, dengan elektabilitas yang rendah Jokowi akan semakin seleksi memilih cawapres tetapi gara2 itu malah dia Gak dapat tiket.

Menjelang Pilpres 2019, setidaknya sudah ada dua nama yang dideklarasikan sebagai calon presiden dalam kontestasi politik Pilpres 2019. Jokowi sudah dideklarasikan PDIP melalui Rakornas di Denpasar, Bali pada 23 Februari 2018.

Sebagai lawannya, saat ini baru muncul nama Prabowo Subianto, Ketua Umum DPP Partai Gerindra. Prabowo resmi dideklarasikan oleh Gerindra melalui Rakornas di Hambalang pada 11 April 2018. Sembilan parpol telah mendukung Jokowi, begitu pula Prabowo.

Beberapa tokoh kini masuk dalam bursa capres atau cawapres di Pilpres 2019. Dintaranya Gatot Nurmantyo, Muhaimin Iskandar, Mahfud MD, Sri Mulyani, Susi Pudjiastuti, Anies Baswedan, Tuan Guru Bajang (TGB), Rizal Ramli, dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Sebelumnya, 4 April 2018, Detiknews.com menulis hasil survei kekuatan Jokowi, Prabowo, dan Gatot. Setidaknya ada 6 lembaga yang merilis hasil surveinya: CSIS, Median, SMRC, Populi Center, PolMark, dan Indo Baromer.

Dari keenam lembaga survei itu, Jokowi masih ditempatkan pada posisi teratas meninggalkan Prabowo dan Gatot. Ketiga nama tersebut belakangan ini disebut-sebut sebagai capres yang berpeluang ikut Pilpres 2019 mendatang.

I. CSIS. Periode: 23-30 Agustus 2017; Responden: 1.000 orang di 34 provinsi; Metode: probability sampling; Margin of Error: 3,1; Hasil: 1. Jokowi: 50,9%, 2. Prabowo: 25,8%, 3. Gatot: 1,8%.

II. Media Survei Nasional (Median). Periode: 14-22 September 2017; Responden: 1.000 orang di 34 provinsi; Metode: multistage random sampling; Margin of Error: 3,1%; Hasil: 1. Jokowi 36,2%, 2. Prabowo 23,2%’ 3. Gatot 2,8%.

III. SMRC. Periode: 3-10 September 2017; Responden: 1.220 orang; Metode: multistage random sampling; Margin of Error: 3,1%; Hasil: 1. Jokowi 38,9%, 2. Prabowo 12,0%, 3. Gatot 0,3%.

IV. Populi Center. Periode: 19-26 Oktober 2017; Responden: 1.200 orang di 34 provinsi Metode: multistage random sampling; Hasil: 1. Jokowi 49,4%, 2. Prabowo 21,7%, 3. Gatot 2,0%.

V. PolMark. Periode: 13-25 November 2017; Responden: 2.600 orang pada 260 desa di 34 provinsi; Metode: multistage random sampling; Margin of error: 1,9%; Hasil: 1. Jokowi 50,2%, 2. Prabowo 22%, 3. Gatot 2%.

VI. Indo Barometer. Periode: 29 Januari-4 Februari 2018; Responden: 800 orang di Jawa Timur; Metode: multistage random sampling; Margin of error: 3,46%; Hasil: 1. Jokowi 56,5%, 2. Prabowo 22%, 3. Gatot 0,3%.

Namun, hasil survei Indonesia Network Election Survei (INES) yang dirilis Minggu, 6 Mei 2018, justru menempatkan Prabowo di urutan pertama mengalahkan Jokowi. Hasil survei itu jelas berbanding terbalik dengan keenam lembaga survei di atas.

Hasil survei selama ini selalu menempatkan Jokowi di nomor atas. “(Elektabilitas) Prabowo Subianto mencapai 50,2%,” kata peneliti INES Basynursyah saat presentasi survei di Mess Aceh, Cikini, Minggu (6/5/2018).

Sementara elektabilitas Jokowi sabagai calon petahana oleh INES disebutkan meraih 27,70 persen. Nama Gatot Nurmantyo berada di urutan ketiga meraih 7,40%. Sedangkan tokoh lain yang tak disebutkan nama-namanya sebesar 14,70%.

Adapun jika pertanyaan diajukan secara tertutup kepada responden, maka hasilnya Prabowo meraih 54,50%, Jokowi 26,10%, Gatot 9,10% dan tokoh lain 10,30%. Survei dilakukan di 33 provinsi di Indonesia pada 12-28 April 2018 dengan responden sebanyak 2.180 orang.

Responden tersebar secara proporsional di 408 kabupaten/kota dengan tingkat kepercayaan 95% dengan margin of error lebih kurang 2,1%. Dalam survei tersebut diungkap mengenai kekuatan politik menjelang Pemilu 2019.

Pepesan Kosong

Jujur, faktanya tiket Jokowi untuk nyapres 2019 hingga kini belum diperoleh dari 9 parpol pendukung. Karena tidak ada satu partai pun yang secara tertulis memberikan Rekomendasi sebagai tiket untuk Jokowi, termasuk dari parpol pendukung utamanya, PDIP.

Mereka selama ini hanya memberikan “tiket mulut”. Yang kita tahu sekarang ini hubungan baik Jokowi dengan Airlangga Hartarto itu semata-mata karena Golkar sebagai parpol yang mendukung. Apalagi, Golkar tak pernah menjadi partai oposisi.

PDIP sendiri hingga kini belum memberikan Rekomendasi tertulis, siapa bakal capresnya. Contohnya, Abdullah Azwar Anas saja yang awalnya sudah resmi berpasangan dan memegang Surat Rekomendasi PDIP untuk maju Pilkada Jatim 2018 ternyata bisa dibatalkan oleh DPP PDIP.

Yang lebih lucu lagi PKB yang sudah sangat jelas mendukung Jokowi malah ngeledek, kalau tidak didukung PKB, tidak akan jadi presiden. NasDem itu justru lebih soft, seolah-olah tetap setia, tapi bergerilya ke sana-kemari. NasDem ke Tuan Guru Bajang.

PPP, tidak tampak jelas ke mana arah tujuannya, apalagi memberikan statement tertulis. Jika ketuanya memang ingin jadi cawapresnya, namun sampai hari ini belum ada surat DPP PPP yang mengamanahkan untuk posisi cawapres pendamping Jokowi.

Hanura sami mawon. Wiranto lebih memilih “main aman”. Lihat saja, Wiranto yang loncat sana-sini. Rasanya apa yang disampaikan Fahri Hamzah di atas tak berlebihan. Jokowi bisa saja gagal nyapres jika tak segera konsolidasi dengan parpol pendukung.

***