Puisi Menolak Serbet, Dinas Dikbud Provinsi Banten Emang Keterlaluan!

Selasa, 8 Mei 2018 | 21:39 WIB
0
661
Puisi Menolak Serbet, Dinas Dikbud Provinsi Banten Emang Keterlaluan!

 

Sekarang saya mau bahas soal perpuisian. Ada berita heboh. Juara 2 lomba membaca puisi hadiahnya 2 buah serbet. Penyelenggaranya, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten. Seheboh-hebohnya berita soal puisi nggak mungkinlah dituduh pengalihan isu. Puisi dianggap bukan bagian penting dari kehidupan.

Makanya nggak heran, para birokrat menganggap remeh, juara lomba baca puisi masih untung diganjar dua buah serbet. Mestinya cukup disalami sambil bilang , "Terima kasih, penampilan Anda bagus. Sekarang silakan pulang, kami masih banyak pekerjaan."

Acara lomba hari itu memang bukan kerjaan para profesional. Cuma para birokrat yang lagi iseng, bingung memperingati hardiknas, mau ngapain? Muncul ide yang tidak orisinil, bikin lomba seni. Pesertanya awalnya ya internal, para birokrat itu.

Semua orang pasti lah punya bakat seni, tak terkecuali para birokrat. Tapi kalau bicara lomba seni, soalnya beda. Malunya nggak ketulungan. Walhasil para birokrat itu saling dorong antar teman untuk tampil

Kebetulan acara itu banyak yang nonton. Daripada panggung kosong, kasih saja kesempatan para penonton buat ikut lomba. Hadiahnya gimana? Gampanglah, di dapur ada serbet, panci, tempat nasi yang belum dipakai.

Salah satu penonton, mahasiswa yang kebetulan tertarik ada rame-rame, ikutan lomba baca puisi. Jurinya ya para birokrat. Entah apa yang dinilai, yang pasti ada juaranya dan ada hadiahnya. Para birokrat itu tidak sedikit pun terpikir para seniman bakal marah besar, apalagi sampai berpikir bakal demo di depan kantor cuma pakai kolor.

Para birokrat itu menganggap seniman sebagai orang yang kurang kerjaan dan tidak pernah berpikir. Kerjaannya cuma memuja muji keindahan. Kalau pada akhirnya kepala dinas meminta maaf pada para seniman, itu karena dia merasa terganggu saja dengan teriakan para pendemo yang sulit dia pahami maksudnya.

Sekarang saya mau cerita pengalaman saya yang sulit buat dilupakan sehubungan dengan lomba baca puisi. Ini kisah masa lalu, lupa tahunnya, yang pasti waktu saya masih anak muda jaman old. Waktu itu marak lomba baca puisi yang diselenggarakan oleh para birokrat. Tapi untuk teknis pelaksanaan para birokrat menyerahkan pada para seniman. Hadiahnya piagam dan piala lumayan gede. Terkadang ada juga amplop berisi uang, tapi jarang kejadian.

Saya termasuk orang belakang layar. Kalau suruh tampil ke depan terkadang suka disergap grogi yang nggak ketulungan. Sebagai orang belakang layar saya ikutan merasa bangga jika teman saya yang saya latih membaca puisi menjadi juara. Bukan nyombong, sebagai pelatih saya beberapa kali merasakan kebanggaan itu karena beberapa kali teman yang saya latih mendapatkan juara di tingkat walikota.

Ketika tersiar kabar ada Lomba Baca Pusi Humor yang untuk pertama kalinya diadakan, bertempat di teater arena Taman Ismail Marzuki, panitianya penyair Jose Rizal Manua dan kawan-kawan. Hadiahnya uang tunai. Saya tertarik untuk mengusung teman saya ikutan. Tapi sayangnya, saya merasa karakter vocal teman-teman saya nggak cocok membacakan puisi humor. Daripada nggak yakin menang mendingan nggak usah.

Hingga pada satu waktu, saya menjadi juri lomba membaca puitisasi Al Qur’an di satu Masjid. Juara satunya cewek imut-imut. Saya yakin, tinggal dipoles sedikit saja dia layak ikutan lomba baca puisi humor. Walaupun tentu saja ini lompatan yang kejauhan. Juara tingkat RW ikutan lomba yang diikuti bukan hanya dari Jakarta, tapi juga dari berbagai daerah.

Isi amplop juara satu lomba baca putisasi Al Qur’an cukuplah buat mendaftar lomba baca puisi humor. Maka sesi latihan pun dimulai. Alhamduillah berjalan lancar. Saya yakin dia bakal menang, minimal juara harapan.

Kami datang berempat ke TIM. Tiga cowok, satu cewek imut-imut itu yang kami jagokan bakal bisa jadi juara. Karena berbekal uang pas-pasan, kami harus mengirit. Lamanya lomba di luar dugaan kami. Datang dari siang, sampai tengah malam belum juga pengumuman.

[irp posts="13913" name="Puisi Sukmawati Tidaklah Sesederhana yang Kita Pikirkan"]

Uang di saku tersisa cukup hanya untuk ongkos naik bis dua orang. Maknanya jelas. Dua orang terpaksa pulang jalan kaki dari Cikini ke Cipulir, Kebayoran Lama. Karena perut terus melagukan lagu keroncong, terpaksa sisa uang direlakan ditukar dengan beberapa gorengan. Kalau nggak menang, jalan kaki bareng!

Jam dua belas malam kurang, tibalah pengumuman. Walaupun yakin menang, tapi karena sudah tidak mengantongi uang, membuat jantung berdegup tak beraturan. Sampai pengumuman juara ke-3 belum milik kami. Keringat dingin sudah mulai membasahi kaos. Gedung teater arena berubah menjadi horor. Jadi deh jalan kaki.

Juara keduaaaaa…Taraaaa… Alhamdulillah, cewek imut-imut yang kami usung berhasil mendapat juara kedua. Spontan kami berteriak keras! Hadiahnya amplop berisi sejumlah uang yang bisa mengantarkan kami pulang naik taksi sampai ke rumah. Dikurangi makan tengah malam bersama di sebuah warung, masih tersia lumayan banyaklah buat ukuran kami.

Coba bayangkan, jika hadiahnya dua buah serbet, buat mengelap keringat sepanjang perjalanan saja nggak cukup. Kami prediksi keringat yang mengucur sepanjang perjalanan, kalau dikumpulkan lebih dua ember!

06052018

***