Julung Darmanto, Masihkah ada cowboy di sana? Tolong angkat cerita tentang Cowboy yang sebenarnya.
Tanggapan Dahlan Iskan:
Sumpah kiting… tidak ada lagi. Bung Darmanto 'kan pernah ke Amerika. Tapi umumnya orang ke Amerika lebih tergiur ke New York. Gegap gempita. Glamour.
Kalau jalan-jalan di Fifth Evenue seperti melihat cat walk di sebuah pertunjukan mode. Apalagi di bulan April atau awal Mei seperti ini. Atau di bulan Oktober-Nopember.
Tapi setelah beberapa kali ke New York yahhhh begitu-begitu saja. Malah menguras nukud. Sudah sepuluh tahun belakangan saya lebih banyak menjelajah wilayah tengah.
Tidak ada negara bagian di wilayah selatan, tengah, barat, timur yang belum saya jelajah. Tinggal empat negara kecil-kecil di pojok timur laut yang belum.
Kesimpulannya: Cowboy yang sebenarnya sudah tidak ada. Sejak kapan? Sejak tidak lama setelah jalan kereta api dibangun. Dari pantai timur ke pantai barat. Membelah daratan benua Amerika. Pada tahun 1869. Waktu itu buyutnya Via Valen belum lahir.
Sejak itu pendatang dari wilayah timur bermigrasi ke tengah. Menguasai wilayah maha luas. Yang selama itu jadi wilayah pengembaraan suku-suku Indian.
Lalu, jalan-jalan dibangun. Tanah dikapling. Ternak tidak bebas lagi. Sistem peternakan berubah: menjadi sistem ranch. Tanahnya luas tapi menjadi ada batas. Ada pagar.
Kemarin saya ketemu pemilik ranch dari Colorado. Kumisnya dipelihara sampai panjang. Dirawat. Dibentuk. Mirip tanduk sapi. Dia memiliki 400 sapi. Di ranchnya seluas 400 acres. Lalu sekarang sistem itu mulai berubah lagi.
Jumat kemarin saya mengunjungi peternakan model baru. Maksudnya model setelah sistem Cowboy hilang. Diskusi di situ.
Dan lagi cowboy yang sebenarnya adalah orang kulit hitam. Atau orang dari Mexico. Bukan orang kulit putih seperti dalam film-film. Orang kulit putih adalah juragan. Cowboy adalah buruh. Pengembala sapi. Tentu juragannya juga sering mengenakan pakaian ala cowboy. Dan suka naik kuda.
Sil, Tepo Sliro Inggrisnya Apa?
Tanggapan Dahlan Iskan:
Daaan… "tepo sliro" ditranslate Google menjadi…
Beberapa istilah Jawa atau Banjar yang saya selipkan ke tulisan saya umumnya tidak diterjemahkan. Oleh Google dibiarkan tertulis seperti aslinya. Seperti tepo sliro itu.
Demikian juga beberapa kata yang saya maksudkan sebagai humor dibiarkan apa adanya.
Saya lega. Misalnya kata ”Terlaaaaluuuu” dibiarkan tertulis seperti itu. Coba kalau saat itu kata tersebut saya tulis ‘Terlalu’ pasti akan diterjemahkan menjadi ‘too’. Hilanglah rasa Rhomanya!
Untungnya kata seperti via valen juga dibiarkan utuh. Tidak diterjemahkan menjadi, misalnya, thrue creek …. lewat parit.
Daniel, Apa boleh saya usul, Ia untuk laki-laki. Karena bahasa Inggrisnya juga cuma 2 huruf He. Sedangkan Dia untuk perempuan karena terdiri dari 3 huruf she.
Tanggapan Dahlan Iskan:
Beberapa komentar rupanya juga mengusulkan hal yang sama. Nyerah deh. Setujuuuu… Daniel!
Waktu saya usulkan ‘dia’ untuk laki-laki dan ‘ia’ untuk perempuan memang saya tidak mendasarkan pada kajian apa pun. Itu bagian yang subyektivitas saya. Yang terlintas saat itu: ‘Dia’ kan ada huruf ‘D’ nya.
Orang yang namanya pakai huruf D itu kan laki-laki. Misalnya… tahu sendirilah! Lho Daniel kan juga pakai huruf D. Demikian juga Dadang.
Sedang orang yang namanya pakai huruf ‘I’ umumya kan wanita: Indah, Indrawaty, Ikke Nurjanah, Ike Juike, Ivia Valen….
Tapi yah… nyerah deh. Kalah argumen. Saya setuju: ‘Dia’ untuk ‘she’, ‘Ia’ untuk ‘he’. Saya sumpah tidak akan ganti nama menjadi ‘Hahlan Hiskan’
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews