Untuk Jokowers yang Mudah Paranoid

Sabtu, 5 Mei 2018 | 03:00 WIB
0
888
Untuk Jokowers yang Mudah Paranoid

Postulatnya sederhana (tapi rada aneh) ternyata semakin kuat posisi Jokowi, justru pendukungnya makin paranoid. Ketakutan mereka bahwa Jokowi akan kalah, akan dikerjai habis, akan diperangkap dengan jebakan Batman, dan seterusnya. Kekhawatiran ini memang beralasan, bila melihat fenomena-fenomena yang terjadi akhir-akhir ini.

Saya sebutkan satu persatu: Pertama, terkait dengan sebuah situs di FB, yang sebenarnya bagi saya sejak awal tidak menarik, karena masalah "bias independensi"-nya.

Sebut jujur saja ini terkait dengan Group "Diskusi dengan Babo", si penulis utamanya adalah seorang dengan "big-data". Ia sangat banyak tahu seluk beluk politik domestik dan bisnis internasional, terutama yang berkaitan dengan Tiongkok. Ia pernah berbisnis di Hong Kong, lalu bangkrut dan kemudian menekuni dunia tulis-menulis.

Penggemar selalu takjub dengan data-data yang disampaikannya, hingga akhirnya tulisannya diterbitkan sebagai buku. Dan bahkan mereka berencana bikin koperasi untuk bikin bisnis fintech.

Saya tentu saja gak ngerti apa itu fintech (dan jelas gak tertarik), tapi ternyata rencana ini bikin ribut. Hingga akhirnya terkuak, si "big data" adalah seorang PKS yang konon "disusupkan" di antara pendukung Jokowi!

Bahkan sebuah tulisan, mendramatisirnya sedemikian rupa sebagai setara seorang mata-mata Israel yang disusupkan ke pemerintah Suriah. Hingga Suriah berantakan pada Perang Timur Tengah di tahun 1967. Sungguh sinonim dan metafora yang berlebihan! EB dan DDB itu tak lebih spekulan data dan bisnis yang ada dimana-mana. Sial saja yang mau percaya (apalagi memuja!).

Kedua, gerakan untuk menggunakan kaos #2019GantiPresiden dan menjadikan ruang publik seperti Car Free Day sebagai ajang mempermalukan lawan politik. Kasus intimidasi yang terjadi tersebut, sebenarnya sama sekali bukan suatu aksi politik. Aksi tersebut sudah murni kriminal, yang memang semestinya ditindak secara hukum.

Di sinilah, kekecewaan para pendukung Jokowi, tidak adanya reaksi untuk membela dan menindak tegas para pelaku. Pembiaran dan pengabaian "kasus serius" ini dianggap sebagai salah satu titik lemah "komunitas Jokowers" yang rentan diserang. Padahal gerombolan seperti ini ada di mana-mana, bisa bersifat spontan, walau memang harus dicurigai selalu ada aktor provokator-nya.

Kasus ini memang keterlaluan dan memalukan, karena segerompolan pria berbadan besar mengerubungi seorang wanita dan anaknya. Dua kelompok person, yang bahkan dalam perang sekalipun harus dilindungi. Bahkan kasus ini, makin diperburuk oleh bully yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap anak-anak penderita autis.

Dalam kasus ini, menarik untuk menyimak pendapat Sandiaga Uno, yang tampaknya mulai "waras" dengan mengecam aksi tersebut seraya menegaskan CFD bukanlah ruang aktivitas dukung mendukung kelompok politik. Sementara gubernurnya sendiri entah di mana, lagi sibuk cari amunisi dan simpati!

Kasus ini memang mengingatkan pada cerita wayang di akhir Episode Pandawa Dadu dalam epos besar Mahabarata. Saat Pandawa dikerjai habis oleh Kurawa dalam Permainan Judi Dadu yang diinisiasi Sengkuni.

Dalam konteks inilah, kenapa masyarakat Jawa sering menyebut AR sebagai "Sengkuni of Indonesia", saking licik, picik, dan naif-nya. Hasil yang curang itu, tidak saja membuat Pandawa harus kehilangan hak-nya atas Indraphrasta (secuil wilayah dari Astina yang sebenarnya 100% juga hak mereka). Namun juga Yudhistira dipaksa menyerahkan istrinya Drupadi, sebagai taruhan terakhir. Konon sedemikian lemahnya Pandawa sehingga harus jadi penonton saat Drupadi akan diperkosa beramai-ramai oleh Kurawa.

Untunglah, Dewa turun tangan kain jarit (sinjang) yang dipakainya ketika dibuka, tak habis-habis panjangnya. Kelak, saat Barathayuda pecah, Burisrawa disobek mulutnya oleh Bima dan batok kepalanya dipakai menadahi darah segarnya. Darah merah yang digunakan oleh Drupadi untuk mengkeramas rambutnya, sesuai sumpahnya agar rambutnya bisa disanggul kembali.

Saya pun terhenyak melihat realitas kasus ini, sebuah tanda-tanda alam yang tak bisa diabaikan dengan gampang. Tapi apa iya? Ini bukan lagi dunia epos para dewa!

Ketiga, trauma berkepanjangan akibat kekalahan Ahok.

Saat ini, memang tak ada manusia di Indonesia sesial Ahok! Orang yang bersungguh-sungguh bekerja, tidak punya rasa takut, dan sebenarnya sangat baik hati. Sayangnya ia over confidence, hal mana yang sebenarnya tak boleh sama sekali dalam dunia politik yang munafik, brutal, dan pendendam. Dalam hal ini ia sama sekali, berbanding terbalik dengan Jokowi: yang sabar, rendah hati, dan bukan pendendam.

Karena itu, bahkan saya pun sangat jengkel, tatkala ia bersedia menemui Alumni 212. Untuk apa? Mungkin kita lupa, ketika kita tak bisa memenjarakan musuh kita, cara yang baik adalah merangkul mereka. Dan untuk itu, kita harus mau belajar dari Jokowi.

Dalam konteks yang sama: sebenarnya wajar kita tidak bisa menerima sampai kapanpun, bahwa Ahok telah "dikalahkan dan sekaligus dikorbankan". Patokan saya sederhana, sampai exit-poll Litbang Kompas (sebagai satu-satunya lembaga survai yang saya percaya) masih memenangkan Ahok 52%. Tapi dalam hitungan lembaga survai lain bahkan KPU yang terjadi sebaliknya.

Kelak akan muncul di luar intimidasi dan tekanan dari para pendukung 212 yang masif, akan muncul bukti sejarah kecurangan yang juga dilakukan KPUD DKI Jakarta. Sayang iklim politik saat itu, apalagi pembiaran dari PDI-P dan Golkar sebagai pendukung utama Ahok terhadap preseden tersebut.

Bagian paling ngeheknya adalah mereka berlindung pada jargon sebagai "kelompok ultra-nasionalis". Mereka yang mendaku bagian dari pribumi asli, namun tak lebih benalu anggaran negara, para drakula penghisap darah yang permanen kehilangan daya-curi apabila Ahok menang. Cih!

Demikianlah cara politik busuk bekerja. Semua ujungnya adalah uang! Tak perlu menjadi partai pemenang, bahkan penggembira-pun tak apa. Asal nama mereka masih bisa disebut, berarti tetap ada "jatah rejeki" yang bisa mereka harapkan. Dalam lingkaran pergaulan politik seperti inilah Jokowi bertahan sampai 2019, dan diharapkan berlanjut hingga 2024.

Faktanya: kalau pun ia menang dengan koalisi besar, ia juga harus terus memberi makan dan menjadi baby shit-ter drakula-ris dan sengkuni-s (yang sudah beranak pinak di mana-mana itu). Karena jangan lupa, figur-figur yang berada di belakang Jokowi itu adalah profesional nir-loyalis. Mereka bisa saja berubah seketika menjadi musuh yang nyata saat mereka kehilangan posisi.

Sebagaimana dicontohkan bad-profiler seperti Anis Baswedan, Rizal Ramli, Sudirman Said dan seterusnya. Tentu saja, kabar baiknya (atau busuknya) musuh-musuh itu bisa berubah menjadi jinak dan taat, saat mereka diberi posisi. Pesan terselubung dari ujaran bisnis racun kalajengking yang banyak disalahpahami dan dinyinyiri itu!

Di luar pesan bisnis biasa saja bahwa di balik racun yang hebat, terdapat bisnis yang dahsyat. Jokowi pelan-pelan akan menyengat mereka, tanpa mereka sadari.

Racun bisa jadi obat, tapi obat itu sesungguhnya racun. Yang nyinyir itu obat baik bagi yang sehat!

Dalam kultur Jawa, ada peribahasa yang cocok terkait kalajengking: menang nungkak, kalah njengking! "Menang menyengat, terdesak menjengkang". Pelajarilah ilmu perang ala kalajengking: ia tak pernah kalah, ia kuat dalam menyerang, tangguh dalam bertahan!

Politik itu obat yang keji, karena itu berharap berlebihan itu berbahaya. Walau khusus untuk Jokowi pribadi, itu tetap layak dan wajib diperjuangkan.

Tetap bersabar, dan terus semangat kawan. Jangan mudah lelah, apalagi menyerah!

***