"Car Free Day" dan Lapak-lapak Politik yang Bertebaran

Kamis, 3 Mei 2018 | 08:11 WIB
0
669
"Car Free Day" dan Lapak-lapak Politik yang Bertebaran

Saya menyukai Car Free Day (CFD) karena di jalan protokol antara Sudirman dan Thamrin ini bebas mengayuh  sepeda tanpa takut tersenggol motor atau mobil. Dari silang Monas menyusuri jalanan dengan ditemani banyak orang yang berjalan kaki, mengayuh sepeda dan menikmati lengangnya jalanan serta memandang gedung-gedung pencakar langit dengan segar. Saya bisa meresapi  CFD ketika itu sekitar tahun 2006– 2007 (Maklum waktu itu masih bujang).

Perasaannya benar-benar bebas menyusur jalanan yang tidak direcoki dengan suara klakson mobil dan derungan kendaraan. Tapi lama-lama CFD menjadi arena promosi dari berbagai produk, pinggir jalanan mulai penuh lapak dan tujuan sebenarnya yaitu berolahraga melenceng menjadi sekedar ngeceng, selfie dan tentu saja shoping, entah shoping mata atau menikmati kuliner pinggir jalan.

Dulu kesegaran mata berasal dari bule-bule yang hobi berolahraga mengenakan baju minim. Badan mereka bagus karena olah raga adalah sebuah kebutuhan dan telah menjadi gaya hidup. Lemak-lemak tentu hanya sedikit menempel di tubuh mereka. Pean-pelan saya melihat kesadaran oleh raga sosialita kita meningkat, mereka muai akrab dengan lari, senam, yoga dan aerobik. Pejalan kaki, pelari dan penikmat CFD memanfaatkan kebebasan minggu pagi itu dengan meresapi arti oleh raga.

Tetapi saya melihat kecenderungan masyarakat kita terhadap CFD mulai berubah, tidak hanya sekedar olah raga. Ada tujuan-tujuan lain entah kegiatan agama, kegiatan sosial, family gathering yang diadakan perusahaan, bahkan fun bike fun day tumplekblek di CFD. Tentu saja CFD menjadi tidak nyaman lagi karena terlalu penuh orang dan sponsor yang memenuhi jalanan dan trotoar. Polusi suarapun bermunculan dengan adanya pentas-pentas live entah dari perusahaan merk dagang yang memanfaatkan CFD untuk promo dagang mereka.

Trik marketing efektif yang bisa menyasar berbagai kalangan. Lihat dipinggir-pinggir  jalan alternatif penuh motor, mobil parkir. Lapak-lapak makanan berjubel dan membuat semrawut  kota. Skerang muncul lagi lapak-lapak partai politik yang menyebar dengan emanfaatkan kostum, entah kaos, baju dengan mengangkat isu populer misalnya #2019Ganti Presiden atau #2019TetapJokowi.

Politisi memanfaatkan masyarakat yang terdekap budaya media sosial memanfaatkan isu-isu untuk memancing emosi dan kemudian muncul kegaduhan. Berbagai trik saling menjatuhkan dengan serangan serangan di media sosial memenuhi Gadget yang otomatis sudah menyertakan internet dalam software mereka.

Artinya jutaan manusia akan selalu membuka internet dan menikmati  apapun yang ditampilkan diberitakan di media sosial. Sekarang tidak perlu perangko, tidak perlu surat orang berkomunikasi dalam hitungan detik dengan menggunakan perangkat canggih yang bisa saling bertatap muka meskipun berjauhan.

Padahal jika bergelut dalam olah raga, satu yang menjadi kunci sukses adalah sportif. Dalam sebuah games/pertandingan tentu harus ada yang menang dan ada yang kalah. Sikap sportif menjadi hal utama gar oleh raga menjadi sarana bersaing secara sehat dengan memanfaatkan kemampuan pribadi untuk bersaing. Siapa kuat dialah yang menang, siapa yang pintar dialah yang bisa memanfaatkan peluang untuk selangkah lebih maju.

Politisi sekarang tidak mengajarkan sportif dalam kontestasi. Harusnya jika kalah ya legowo mengaku kekalahannya bukan mencari kambing hitam terhadap kekalahannya. Kalah itu hal biasa dalam permainan, untuk bisa memang setiap orang perlu merasakan kegagalan jadi bisa belajar dari kesalahan.

Jika nati akhirnya menang setiap manusia sudah diberi kesempatan untuk kuat dan belajar dari kesalahan. Itulah arti sportif. Tapi ternyata mental politisi di sini belum bisa  bersikap sportif. Kalah itu aib dan mulai dicari-cari bagaimana ia bisa kalah.

Logikanya kalah ya kalah, untuk bisa menang ya harus menjadi manusia unggul yang mempunyai kemampuan di atas rata -  rata. Bulsyit jika hanya mempunyai ketrampilan biasa langsung bisa menang. Seharusnya politik itu perlu mengadobsi sifat satria olehragawan bahwa setia kompetisi perlu ada pemenang dan tentu yang kalah tidak harus putus asa karena masih ada hari esok.  Jangan jadikan politikus arena balas dendam dan menebarkan kebencian sesama saudara.

Sebetulnya CFD itu mengajarkan tentang bagaimana memanfaatkan udara segar bebas polutan untuk menyegarkan jiwa dan raganya, saling berinteraksi secara sehat dan mengembangkan toleransi ketika harus saling berbagi di jalanan bukan dengan mengambil sikap bar-bar ketika ada orang yang beda ideologi dengan sesama pengguna jalanan yang sedang memanfaatkan CFD untuk tujuan refreshing dan berolah raga serta memanfaatkan udara segar.

Kembalikan fungsi CFD, Boss!

Salam damai selalu.

***