Politisasi Persekusi Dilakukan oleh Dua Sisi

Senin, 30 April 2018 | 20:54 WIB
0
701
Politisasi Persekusi Dilakukan oleh Dua Sisi

Pokoknya, mau orang tua, mau ibu-ibu, mau anak-anak, mau ustadz, mau gubernur, mau presiden, mau tukang pekerja penyapu jalan, nggak boleh dipersekusi. Maap-maap kate, saya bicara begini karena saya seratus persen masih mememiliki diri saya sendiri. Kalau saya berada dalam bagian psikologi massa , baik di jalanan atau di medsos, nggak tahu juga saya masih bisa ngomong kaya gini nggak.

Tapi biasanya, di antara kerumunan yang sepaham ada sebagian yang tidak terpengaruh oleh tindakan sebagian kerumunan lain yang sepaham. Ibu yang sedang kampanye membawa anak kecil di CFD kemarin juga pasti menyadari bahwa dia berjalan di kerumunan massa yang berkampanye dengan tema berbeda. Bahwa kemungkinan dia dicemooh pasti masuk dalam perhitungannya. Dan terjadilah.

Siapa yang “menyelamatkan” Ibu dan anak itu? Polisikah? Atau teman sekampanyenya? Bukan. Yang menyelamatkanya adalah teman-teman yang berkampanye beda tema dengan ibu itu. Setelah diselamatkan, barulah ibu itu punya keberanian balik memaki. Apakah penyelamat ibu itu mendapat apresiasi? Nggak juga. Karena penyelamat itu satu kaos seragam dengan kelompok yang mempersekusi, penyelamatan itu jadi nggak penting. Penyelamat itu tetap saja dituduh bajingan.

Persis dengan kejadian saat Pilkada DKI dulu. Ada beberapa masjid yang menolak menyolatkan jenazah para pendukung Ahok. Jumlah masjid yang menolak sangat sedikit. Cuma nol koma persen dibanding jumlah masjid yang ada di Jakarta yang tidak menolak menyolatkan.

Ketika ada satu kejadian, ada seorang Ibu pendukung Ahok meninggal dunia, dan dikabarkan ditolak untuk disholatkan di sebuah mushola, gemparlah Jakarta. Padahal sholat jenazah nggak harus di mushola, di rumah pun bisa. Cuma siapa yang mau menyolatkan?

Di situlah persoalannya. Apakah almarhumah satu-satunya pendukung Ahok di daerah situ? Nggak juga. Lalu ke mana para tetangga pendukung Ahok? Kenapa tidak mengambil inisiatif menyolatkan? Nggak bisa atau gimana? Atau sengaja membiarkan biar bisa digoreng buat bahan berita? Jadi kalau bicara soal mempolitisasi mayat ya kedua belah pihak lah.

Walhasil yang menyolatkan almarhumah, yang mendatangangkan mobil ambulan sampai mengurus ke pemakaman adalah simpatisan parpol yang tidak mengusung Ahok. Apakah inisiatif itu diapresiasi? Malah sebaliknya. Ikutan dipersekusi di media sosial!

Berbulan-bulan dicaci maki, bahkan sampai sekarang masih juga disebut-sebut. Saking kasarnya cacian itu, imam yang menyolatkan jenazah almarhumah sampai berucap (walaupun sebenarnya tidak boleh), “Kalau gue tahu bakal begini, nggak bakalan gue sholatin." Silakan cek jejak digitalnya.

Jadi soal bully membuly ini bukan hanya milik satu kelompok saja. Kalau ada dua kelompok bersebarangan, kedua kelompok itu punya potensi untuk saling membully. Cuma bedanya, ada kelompok yang teman-temannya membuly tapi di antara mereka ada yang menolong walaupun dengan resiko ikut kena getahnya juga.

Hehehehe pasti dari tadi ada yang protes. Emangnya Ibu yang membawa anak itu sedang kampanye? Dia kan sedang berolah raga di tempat yang memang khusus buat olah raga? Hehehe sabar... silakan baca link berjudul: Pakai Kaus Bertuliskan 'Kita Olahraga Dia Sibuk Bekerja', Ribuan Relawan Jokowi Padati Car Free Day.

Ah, itu kan penafsiran wartawan Warta Kota saja. Coba perhatikan pernyataan salah seorang relawan ini.

"Kebersamaan dan kerukunan bangsa adalah kunci besarnya suatu negara. Olahraga salah satu magnet pemersatu diharapkan bisa memperkokoh tali persaudaraan kita sebagai anak bangsa," tutur Maria Dewi, salah seorang relawan pendukung Presiden Jokowi kepada Warta Kota.

"Kami tahu Presiden Jokowi sibuk bekerja membenahi dan membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kami hanya menunjukkan dukungan kami terhadap presiden agar negara ini menjadi lebih baik lagi ke depannya. Bahwa presiden juga sangat dicintai oleh rakyatnya," kata Qurrota A'yun, relawan pendukung Presiden Jokowi yang datang bersama 5 orang anggota keluarganya dari Kalibata Jakarta Timur.

Itulah bedanya dengan saya. Kalau saya ya terus terang saja, saya pendukung #2019GantiPresiden. Saya nggak berkamuflase demi persatuan, demi ini demi itu. Jadi kalau membaca tulisan ini Anda tahu bahwa saya memang sedang berpihak. Jelas identitasnya.

Kalau misalnya saya mau jadi cawapres Jokowi tapi malu-malu kucing, saya akan menulis, "Hati saya seperti tersayat pisau setajam silet melihat persekusi, bla bla bla." Karena kebetulan yang dipersekusi adalah salah satu relawan Jokowi.

Ya, tapi apapun alasannya, latar belakangnya, mempersekusi tetap nggak boleh!

Saya setuju seratus persen tanpa bisa ditawar. Cuma sekali lagi, keterbelahan masyarakat sejak Pilpres 2014 telah melahirkan budaya persekusi dari kedua belah pihak. Apa saja bisa dipolitisasi atas nama moral anti persekusi sekali pun. Satu insiden kecil saja bisa jadi bahan politisasi, bahan persekkusi baru di media sosial. Dan seperti biasa dibungkus atas nama moral. Demi persatuan, demi NKRI, demi ini demi itu. Padahal isinya mah sama saja.

Kapan akan berakhir? Setelah Pilpres 2019? Nggak mungkin. Akan terus berlanjut mungkin sampai kiamat. Jika nanti 2019 ganti presiden, nyinyir berjamaah akan terus berlangsung, cuma bertukar peran saja. Kelompok yang sekarang tukang nyinyirin pemerintah nanti akan menjadi pembela pemerintah. Kelompok yang sekarang membela pemerintah demi persatuan, demi kelangsungan pembangunan, demi ini, demi itu nanti akan menjadi kelompok tukang nyinyir. Sebagai gambaran, Seusai Pilkada DKI apa yang terjadi? Ya, kaya gitulah nanti.

Persoalan ruwet ini tidak terpikirkan bakal terjadi saat Presiden ke-6 berkuasa dulu.

Jadi? Jawab sendiri lah.

***

30042018