Survei Elektabilitas Merusak Kemustahilan Jokowi

Rabu, 25 April 2018 | 15:09 WIB
0
458
Survei Elektabilitas Merusak Kemustahilan Jokowi

Survey terbaru yang dilakukan Litbang Kompas menunjukkan elektabilitas Jokowi mencapai 55,9 persen. Sementara Prabowo "hanya" 14,1 persen. Di antara pesaing Jokowi sampai survei itu dilakukan, hanya Prabowo yang tertinggi. Di bawahnya mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo 1,8 persen. Sementara calon lainnya kurang dari 1 persen.

Survey itu juga menunjukkan peningkatan elektabilitas Jokowi, sementara Prabowo dan lainnya mengalami penurunan --dibanding elektabilitas mereka beberapa bulan lalu. Apakah hal ini akan jadi sebuah tren sampai jelang mendekati Pilpres 2019?

Jarak angka elektabilitas Jokowi bila dibandingkan dengan para pesaingnya bagai bumi dengan langit. Di atas kertas Jokowi menang telak atas seluruh pesaingnya bila Pilpres dilakukan saat survei tersebut. Namun, benarkah hal itu menunjukkan realitas faktual saat Pilpres nanti?

Pilpres masih satu tahun lagi. Bisa dikatakan masih lama, bisa juga dikatakan tidak lama lagi. Semua tergantung cara melihatnya, dan bentuk strategi yang akan dilakukan untuk mensikapinya.

Secara teoritis, sebuah survei dapat dijadikan pegangan bagi masing-masing pihak terkait kontestasi untuk menyusun strategi baru dan melakukan langkah-langkah penting bagi kubunya. Bagi setiap kubu, jarak waktu dari sekarang hingga hari H Pilpres jadi sangat berharga. Setiap waktu yang bergerak harus dibarengi tindakan dan pencapaian tertentu yang mengarah pada pemenangan.

Di satu sisi, Jokowi bisa saja "tidur nyenyak" dengan  hasil survei itu. Sementara para pesaingnya tak punya waktu untuk tidur. Mereka mau tak mau harus kerja keras siang-malam untuk menaikkan elektabilitas. Namun di sisi lain "tidur nyenyak" Jokowi bisa jadi mimpi buruk karena angka 55,9 persen bisa jadi persoalan serius yang membalikkan kenyataan jauh dari harapan.

Sebagai bukti di atas kertas, angka 55,9 bukanlah angka tetap di tangan yang secara pasti diraih bila Pilpres2019 dilakukan. Ada banyak peristiwa di depan belum bisa diprediksi yang membuka segala kemungkinan baru untuk kalah atau menang pada kubu Jokowi maupun kubu pesaingnya.

Kamustahilan Jokowi

Pencapaian elektabilitas Jokowi lebih disebabkan faktor kepuasan publik atas kinerjanya selama ini, sementara di sisi lain pihak pesaing belum melakukan apa-apa, bahkan membangun struktur pemenangan Pemilu pun belum terbentuk. Satu hal jadi pertanyaan bagi kubu Jokowi adalah mampukah beliau menjaga tingkat kepuasan publik --sementara sebuah kepuasan bisa bersifat absurd, dinamis dan "sulit dipegang" secara terus menerus.

Absurd menandakan "kemustahilan" atau suatu  "ketidakmasuk-akalan. Banyak hal dalam strategi pembangunan Jokowi khususnya di bidang infrastruktur yang besar-besaran dan "wah"  yang bikin publik masuk dalam keterpesonaan visual sekaligus sebuah absurditas --dan kemudian membentuk "absurdisme publik" yakni suatu pemikiran bahwa usaha yang dilakukan (Jokowi) akan berakhir dengan kegagalan dan publik kemudian cenderung melihat Jokowi melakukan hal yang mustahil (absurd) tersebut.

Pada posisi absuditas inilah para lawan politik Jokowi bisa "masuk menyerang" dengan strategis baru untuk terus menerus membangun absurdisme baru di pikiran publik dan menjaga absurditas publik yang sudah ada yang mengarah pada penurunan elektabilitas Jokowi sekaligus menaikkan elektabilitas pesaingnya tersebut. Dalam hal ini banyak strategi jitu yang bisa dibentuk. Kalau perlu dengan cara yang sedikit genit dan nakal.

Salah satu yang bisa dilakukan para pesaing Jokowi adalah mendata semua program Jokowi dan menghitung ulang untuk diberikan kepada publik bahwa absurditas Jokowi memang ada dan tidak menguntungkan publik. Lebih praktisnya : hitungan itu berupa target jangka pendek yang tidak bisa dirasakan manfaatnya oleh  publik, misalnya; jalan jalan tol makin banyak tapi rakyat makin miskin--walau politikus yang ngomong makin kaya dan paling menikmati jalan tol tersebut dan bisa cepat bertemu istri simpanan di luar kota.

Investor makin banyak bangun industri tapi rakyat makin sulit berobat di rumah sakit --walau politikus yang ngomong kalau sakit panu berobatnya ke Singapura. Bandara di daerah-daerah makin mentereng tapi rakyat sulit akses pendidikan sehingga makin bodoh--walau politikus itu makin nyaman terbang kesana-kemari dan makin pinter ngublin rakyat kecil.

Jokowi adalah pemimpin yang visioner. Suatu yang visioner mampu membangun suatu bentuk estetika dan kenikmatan visual (venusitas). Disisi lain pesaing Jokowi akan mengimbanginya dengan gempuran target alternatif yang pragmatis (firmitas dan utilitas)--yang lekat dengan kegunaan langsung dan fungsi nyata.

Sementara sebagian publik yang karena berbagai keterbatasannya tidak mampu membaca visi Jokowi secara jelas melihatnya sebagai "kegagalan Jokowi". Disinilah sebenarnya "ruang pertempuran" Jokowi dan para pesaingnya terkait kepuasan tersebut. Waktu sangat menentukan, yakni bagaimana masing-masing pihak mampu menginisiasi pikiran publik menurut kehendak setiap kubu.

Kalau Jokowi "tidur nyenyak" alias tetap dengan gaya lama karena toh bisa unggul, maka para pesaing Jokowi akan merebut waktu itu di tengah segala keterbatasan pemahaman publik akan Jokowi. Kepuasan visual (estetika) yang selama ini dilihat publik pada program pembangunan  Jokowi akan berubah jadi ketidakpuasan fungsi dan utilitas dalam jangka pendek--inilah sebuah paham pragmatis ditanamkan dari para pesaing Jokowi kepada publik.

Dari hasil survey Litbang Kompas itu, dan di sisa waktu mendekati Pilpres 2019, Jokowi harus ubah strategi dari hanya "tingkat kepuasan estetika/visual" ke dalam tingkat "kepuasan utilitas dan fungsi". Strategi ini harus dilakukan intensif dan masif. Salah satu caranya utamakan membuat dan menyelesaikan proyek-proyek jangka pendek yang langung dirasakan publik secara merata.

Ibarat main bola, Jokowi jangan keasikan bermain indah, tapi harus mau bermain taktis dan kalau perlu sedikit keras tapi bukan bermain kasar.

***

Editor: Pepih Nugraha