Survey terbaru yang dilakukan Litbang Kompas menunjukkan elektabilitas Jokowi mencapai 55,9 persen. Sementara Prabowo "hanya" 14,1 persen. Di antara pesaing Jokowi sampai survei itu dilakukan, hanya Prabowo yang tertinggi. Di bawahnya mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo 1,8 persen. Sementara calon lainnya kurang dari 1 persen.
Survey itu juga menunjukkan peningkatan elektabilitas Jokowi, sementara Prabowo dan lainnya mengalami penurunan --dibanding elektabilitas mereka beberapa bulan lalu. Apakah hal ini akan jadi sebuah tren sampai jelang mendekati Pilpres 2019?
Jarak angka elektabilitas Jokowi bila dibandingkan dengan para pesaingnya bagai bumi dengan langit. Di atas kertas Jokowi menang telak atas seluruh pesaingnya bila Pilpres dilakukan saat survei tersebut. Namun, benarkah hal itu menunjukkan realitas faktual saat Pilpres nanti?
Pilpres masih satu tahun lagi. Bisa dikatakan masih lama, bisa juga dikatakan tidak lama lagi. Semua tergantung cara melihatnya, dan bentuk strategi yang akan dilakukan untuk mensikapinya.
Secara teoritis, sebuah survei dapat dijadikan pegangan bagi masing-masing pihak terkait kontestasi untuk menyusun strategi baru dan melakukan langkah-langkah penting bagi kubunya. Bagi setiap kubu, jarak waktu dari sekarang hingga hari H Pilpres jadi sangat berharga. Setiap waktu yang bergerak harus dibarengi tindakan dan pencapaian tertentu yang mengarah pada pemenangan.
Di satu sisi, Jokowi bisa saja "tidur nyenyak" dengan hasil survei itu. Sementara para pesaingnya tak punya waktu untuk tidur. Mereka mau tak mau harus kerja keras siang-malam untuk menaikkan elektabilitas. Namun di sisi lain "tidur nyenyak" Jokowi bisa jadi mimpi buruk karena angka 55,9 persen bisa jadi persoalan serius yang membalikkan kenyataan jauh dari harapan.
Sebagai bukti di atas kertas, angka 55,9 bukanlah angka tetap di tangan yang secara pasti diraih bila Pilpres2019 dilakukan. Ada banyak peristiwa di depan belum bisa diprediksi yang membuka segala kemungkinan baru untuk kalah atau menang pada kubu Jokowi maupun kubu pesaingnya.
Kamustahilan Jokowi
Pencapaian elektabilitas Jokowi lebih disebabkan faktor kepuasan publik atas kinerjanya selama ini, sementara di sisi lain pihak pesaing belum melakukan apa-apa, bahkan membangun struktur pemenangan Pemilu pun belum terbentuk. Satu hal jadi pertanyaan bagi kubu Jokowi adalah mampukah beliau menjaga tingkat kepuasan publik --sementara sebuah kepuasan bisa bersifat absurd, dinamis dan "sulit dipegang" secara terus menerus.
Absurd menandakan "kemustahilan" atau suatu "ketidakmasuk-akalan. Banyak hal dalam strategi pembangunan Jokowi khususnya di bidang infrastruktur yang besar-besaran dan "wah" yang bikin publik masuk dalam keterpesonaan visual sekaligus sebuah absurditas --dan kemudian membentuk "absurdisme publik" yakni suatu pemikiran bahwa usaha yang dilakukan (Jokowi) akan berakhir dengan kegagalan dan publik kemudian cenderung melihat Jokowi melakukan hal yang mustahil (absurd) tersebut.
Pada posisi absuditas inilah para lawan politik Jokowi bisa "masuk menyerang" dengan strategis baru untuk terus menerus membangun absurdisme baru di pikiran publik dan menjaga absurditas publik yang sudah ada yang mengarah pada penurunan elektabilitas Jokowi sekaligus menaikkan elektabilitas pesaingnya tersebut. Dalam hal ini banyak strategi jitu yang bisa dibentuk. Kalau perlu dengan cara yang sedikit genit dan nakal.
Salah satu yang bisa dilakukan para pesaing Jokowi adalah mendata semua program Jokowi dan menghitung ulang untuk diberikan kepada publik bahwa absurditas Jokowi memang ada dan tidak menguntungkan publik. Lebih praktisnya : hitungan itu berupa target jangka pendek yang tidak bisa dirasakan manfaatnya oleh publik, misalnya; jalan jalan tol makin banyak tapi rakyat makin miskin--walau politikus yang ngomong makin kaya dan paling menikmati jalan tol tersebut dan bisa cepat bertemu istri simpanan di luar kota.
Investor makin banyak bangun industri tapi rakyat makin sulit berobat di rumah sakit --walau politikus yang ngomong kalau sakit panu berobatnya ke Singapura. Bandara di daerah-daerah makin mentereng tapi rakyat sulit akses pendidikan sehingga makin bodoh--walau politikus itu makin nyaman terbang kesana-kemari dan makin pinter ngublin rakyat kecil.
Jokowi adalah pemimpin yang visioner. Suatu yang visioner mampu membangun suatu bentuk estetika dan kenikmatan visual (venusitas). Disisi lain pesaing Jokowi akan mengimbanginya dengan gempuran target alternatif yang pragmatis (firmitas dan utilitas)--yang lekat dengan kegunaan langsung dan fungsi nyata.
Sementara sebagian publik yang karena berbagai keterbatasannya tidak mampu membaca visi Jokowi secara jelas melihatnya sebagai "kegagalan Jokowi". Disinilah sebenarnya "ruang pertempuran" Jokowi dan para pesaingnya terkait kepuasan tersebut. Waktu sangat menentukan, yakni bagaimana masing-masing pihak mampu menginisiasi pikiran publik menurut kehendak setiap kubu.
Kalau Jokowi "tidur nyenyak" alias tetap dengan gaya lama karena toh bisa unggul, maka para pesaing Jokowi akan merebut waktu itu di tengah segala keterbatasan pemahaman publik akan Jokowi. Kepuasan visual (estetika) yang selama ini dilihat publik pada program pembangunan Jokowi akan berubah jadi ketidakpuasan fungsi dan utilitas dalam jangka pendek--inilah sebuah paham pragmatis ditanamkan dari para pesaing Jokowi kepada publik.
Dari hasil survey Litbang Kompas itu, dan di sisa waktu mendekati Pilpres 2019, Jokowi harus ubah strategi dari hanya "tingkat kepuasan estetika/visual" ke dalam tingkat "kepuasan utilitas dan fungsi". Strategi ini harus dilakukan intensif dan masif. Salah satu caranya utamakan membuat dan menyelesaikan proyek-proyek jangka pendek yang langung dirasakan publik secara merata.
Ibarat main bola, Jokowi jangan keasikan bermain indah, tapi harus mau bermain taktis dan kalau perlu sedikit keras tapi bukan bermain kasar.
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews