Darurat Sampah di Negara Kita Sudah Sampai Taraf Darurat

Sabtu, 21 April 2018 | 17:03 WIB
0
777
Darurat Sampah di Negara Kita Sudah Sampai Taraf Darurat

“Itu kantong-kantong apa?” tanya ibu penjaga warung ketika aku datang untuk mengembalikan gelas.

“Isinya sampah-sampah plastik yang ada di bawah, Bu,” jawab suamiku. “Di bawah banyak sampah plastik bekas makanan dan minuman. Jadi tadi kami bersih-bersih supaya enak buat kami duduk-duduk.”

“Yang nyuruh siapa?” tanya ibu penjaga warung.

“Gak ada yang nyuruh, Bu. Tapi kami bersih-bersih supaya enak buat kami duduk-duduk,” kataku.

Ibu tua itu menganggukkan kepalanya.

“Di sini gak ada tukang sampah, Bu?” tanyaku.

“Gak ada,” jawabnya. “Ada tukang sampah di dekat jalan raya sana. Sampah-sampah di warung ibu dibakar sendiri sama ibu.”

Kini giliran aku yang mengangguk.

Saat itu, aku dan suamiku bergabung dalam acara kolaborasi beberapa komunitas dan perpustakaan jalanan yang ada di Bekasi Raya. Lokasi acaranya di Curug Parigi yang berlokasi di desa Cikiwul Kecamatan Bantargebang Kota Bekasi. Sampai di sana kami melihat air sungainya cokelat seperti membawa lumpur dan banyak sampah yang bertebaran di penjuru area curug. Kami pun memutuskan untuk membersihkan sampah-sampah yang bisa kami raih sebelum kami menggelar tikar dan berdiskusi sambil bercanda ria.

Kebanyakan sampah yang kami kumpulkan adalah sampah plastik bekas botol minuman dan plastik bekas pembungkus makanan ringan. Aku memang tidak menemukan tempat sampah di lokasi ini. Padahal biaya masuknya menurutku tergolong mahal. Untuk masuk ke area parkir kami diminta uang lima ribu rupiah dan untuk mencapai area curug kami diminta uang dua ribu rupiah.

Aku kemudian mengeluhkan lokasi wisata yang tidak ada tempat sampahnya pada suamiku. Suamiku hanya berkata, “Kayak yang kalo disediain tempat sampah bakal dipake aja.”

Aku kemudian terdiam teringat perjalanan kami sebelum ini.

Beberapa waktu yang lalu, kami jalan-jalan ke Museum Multatuli yang berlokasi di Rangkasbitung Provinsi Banten. Di depan gedung museum terdapat sebuah pendopo yang luas. Di pendopo itu, orang-orang duduk sambil menikmati makanan dan minuman yang mereka bawa dari luar.

Di setiap sudut pendopo disediakan tempat sampah. Namun tetap saja, orang-orang meninggalkan sampahnya di lantai pendopo. Tidak memasukkan sampahnya ke tempat sampah dan membuat pengelola museum merasa jengkel.

Aku jadi sadar, sepertinya kesadaran orang-orang untuk membuang sampah pada tempat yang semestinya itu sangat kurang. Sulit membuat orang peduli pada sampah.

Suatu hari saat aku sedang duduk-duduk di alun-alun Kota Bekasi, aku mendengar seorang anak bertanya pada ibunya, “Mama, ini bekas minumnya dibuang kemana?”

Ibunya menjawab, “taruh situ saja. Nantikan ada yang membersihkan.”

Bukan hanya sekali dua kali aku mendengar tanya jawab itu. Bahkan, saat aku berjalan-jalan di daerah Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, aku pernah melihat seseorang membuang sampah di sungai. Saat aku tanya, “kok buang sampah di sungai sih? Kan bikin kotor.”

Orang itu kemudian menjawab, “Enggak. Nanti di sungai sampahnya dimakan sama ikan.”

Padahal yang dibuangnya ke sungai adalah sampah-sampah plastik. Aku kemudian berfikir, mungkin kalau LIPI mendengar kata-kata yang dilontarkan orang itu, dia akan mengurungkan niatnya untuk membuat studi tandingan soal limbah plastik dan menerima dengan lapang dada penelitian ilmuwan Amerika Serikat.

Pada tahun 2015, sekelompok ilmuwan AS memublikasikan hasil penelitiannya yang mengungkapkan bahwa kawasan laut di Asia Pasifik tercemar oleh 11 trilyun pecahan sampah plastik. Dan Indonesia merupakan penyumbang sampah plastik terbanyak kedua.

Tim peneliti yang dipimpin oleh Jenna R Jambeck, Asisten Guru Besar di jurusan Teknik Lingkungan di Universitas Georgia itu memperkirakan setiap tahun Indonesia membuang 3,2 juta ton limbah plastik ke laut. Pada tanggal 26 Februari 2018, dw.com merilis sebuah artikel yang menyatakan bahwa LIPI ingin menguji kebenaran studi tersebut dengan membuat penelitian tandingan.

Yang ingin kutanyakan, penelitian tandingan itu untuk apa?

Dalam wawancara dengan dw.com, Dr. Dirhamsyah, direktur pusat penelitian oseanografi di LIPI, mengatakan kalau penelitian tandingan ini tidak terlalu penting. Namun harapannya, penelitian ini bisa memulihkan nama baik Indonesia.

Dr. Dirhamsyah mengatakan bahwa sungai-sungai yang melalui Jakarta relatif bersih karena secara berkala pemda DKI mengambili sampah dan membersihkan sungai. Ini di Jakarta, bagaimana di daerah lainnya? Masih hangat diperbincangan, akhir tahun lalu Sungai Winong di Cirebon dicemari oleh limbah beracun. Menurut merdeka.com, Sungai Citarum bahkan didapuk sebagai sungai terkotor dan terhitam di Jawa Barat.

Kalau dari pengalaman-pengalaman yang kuceritakan tadi, aku legowo Indonesia dikatakan penyumbang sampah terbanyak. Hal itu bisa menjadi teguran supaya pihak-pihak terkait bisa lebih serius dalam menangani masalah sampah ini. Sosialisasi untuk tidak membuang sampah sembarangan ini sepertinya perlu dikuatkan lagi.

Tempat-tempat wisata terutama wisata alam, harus dikelola dengan baik oleh pemerintah daerah, termasuk penyediaan tempat sampahnya. Jangan lagi ada orang yang membuang sampah sembarangan kemudian ngeles karena tidak adanya tempat sampah.

Anak-anak harus bisa dibiasakan untuk membuang sampah di tempatnya. Dan itu tentu harus dimulai dari pemahaman orang tua anak-anak tentang sampah. Jangan sampai ada orang tua yang ketika ditanya dimana buang sampah, dia menjawab taruh saja di situ.

Larangan membuang sampah di sungai (termasuk sampah industri) harus ditegaskan. Perlu ada sanksi yang berat untuk pelanggarnya. Ikan tidak bisa memakan sampah.

Banyak hal yang bisa dan harus dilakukan terkait masalah sampah ini selain membuat penelitian tandingan. Penelitian tandingan tidak akan membuktikan apapun bila kenyataannya, masyarakat kita memang tidak peduli dengan urusan sampah ini.

***