Cara Efektif Membela Jokowi

Jumat, 20 April 2018 | 15:38 WIB
0
608
Cara Efektif Membela Jokowi

Banyak orang yang gampang salah menilai Jokowi, bahkan para pendukungnya sendiri. Asumsi mendasar yang keliru tersebut adalah seolah Jokowi butuh jabatan Presiden, bahkan dalam konteks hari-hari ini ia seolah butuh jabatan periode kedua. Kitalah yang membutuhkan Jokowi, lebih dari yang kita perkirakan.

Ada yang melebih-lebihkan Jokowi adalah rahmat bagi Indonesia. Lebay sih, tentu hal-hal seperti inilah yang membuat ia sedemikian dibenci oleh lawan-lawan politiknya.

Saya tak pernah melihat ada orang yang sedemikian nothing to loose terhadap jabatan, kecuali sosok satu ini. Marilah kita ingat pelan-pelan, ketika ia sukses menjadi walikota Sala, orang pertama yang menemui dia datang ke kotanya adalah sahabat dekat saya Andrinof Chaniago. Ialah orang dari Jakarta pertama yang datang menemuinya untuk mengajak membenahi DKI Jakarta.

Gaya kepemimpinan Jokowi memang unik, keberhasilan terbesarnya menata Sala (catat ia bukan membangun, karena nyaris tak ada perubahan berarti secara fisik). Namun ia berhasil menemukan jati diri kota ini, dan terutama mengembalikan harga diri dan rasa bangga warga terhadap kota ini. Hal sama dilakukannya terhadap Jakarta, ia memang belum lagi menata Jakarta menjadi kota modern, tapi ia berhasil memberi harapan bahwa Jakarta itu masih bisa ditata.

Setelah sekian lama (terutama setelah Pasca Reformasi), dimana Jakarta nyaris bergerak menjadi "kota gagal yang banal". Ia bekerja seolah seorang akunpunkturis, yang berhasil menotok sembuh keruwetan pada titik-titik situs tertentu, sehingga menimbulkan simpati luar biasa. Tak banyak sebenarnya yang dilakukan Jokowi di Jakarta, kalah banyak dibanding Ahok sebagai penerusnya.

Pada titik inilah, sebenarnya kita semestinya menangisi kasus "pembunuhan" terhadap Ahok yang sedemikian keji. Ahok itu sangat berharga!

Kelak akan tercatat dalam sejarah bahwa "duet maut" ini, sebagai Gubernur DKI Jakarta paling bergairah dan berselera. Saya ini pernah menuliskan setiap periode Jakarta, sejak dari masa Sunda Kelapa, Jayakarta, di bawah para Gubernur Jendral semasa Batavia, hingga Gubernur-gubernur DKI Jakarta selama ini, sehingga sedikit banyak tahu baru di masa Jokowi-Ahok melakukannya dengan sungguh-sungguh memperbaiki Jakarta.

Pasca kemerdekaan, hanya Ali Sadikin yang punya gairah yang sama. Tapi perlu dicatat ia bisa melakukan hal tersebut terutama karena dukungan dan dorongan Sukarno (dan selanjutnya difasilitasi Soeharto sebagai brand image). Bandingkan dengan Jokowi yang sejak jadi Gubernur justru menjadi rival sang Presiden Gendut itu. Pun yang mungkin orang mulai lupa, AS melakukan pembangunan di Jakarta, harus dengan cara melegalisasikan judi, karena saking minimnya keuangan negara.

Jokowi (dan juga Ahok), lebih menekankan pada memaksimalkan potensi anggaran dengan menekan tingkat kebocoran anggaran dan tentu saja praktek korupsi yang semasa 10 tahun di bawah SBY (siapa pun gubernurnya) mencapai tingkat yang mengerikan. Dan sebenarnya, alasan-alasan mendasar inilah yang menjadi dasar "menghabisi" Ahok, daripada preseden masalah penistaan agama yang dituduhkan.

Dan terbukti, penggantinya adalah seorang doktor yang hanya bisa plonga-plongo. Yang kerjanya hanya sekedar membuktikan bahwa ia menepati janjinya. Walau semua orang tahu (bahkan pendukungnya sendiri), betapa menyedihkannya hasil dan dampaknya. Tapi itulah situasi stagnan (kalau tidak mau dianggap dekaden) yang memang dikehendaki oleh para pendukungnya yang hipokrit itu!

[irp posts="14361" name="Mengapa Jokowi-Cak Imin Disingkat JOIN, bukan KOCAK?"]

Lalu bagaimana membelai Jokowi secara efektif? Menurut saya, Jokowi itu sudah sampai pada titik asketis, di mana semua ejekan, fitnah, nyinyir, kecaman, tekanan, dan lain sebagainya itu nyaris tidak ngefek terhadap dia secara pribadi. Ia akan dengan mudah memaafkan dan melupakan. Ia semakin terbiasa dan biasa.

Saya justru sangat senang, bila musuh-musuhnya terus menerus menyudutkan, apakah ia dibilang bodoh, dianggap otoriter, difitnah sebagi ngibul, bahkan ketika sudah terlalu mengalah dan diam justru dilabeli sebagai "otoriter".

Belakangan muncul sebuah dikotomi baru bahwa ia berasal dari Partai Setan, seraya sang penyinyir menganggap dia sebagai Partai Allah. Jokowi itu adalah seorang perenang, penyelam, sekaligus peselancar yang handal dan terukur. Ia tahu kapan cukup berenang di permukaan, sementara menyelam, tapi juga harus berselancar di tengah gelombang yang ganas.

Ia santai seperti anak pantai, masak kita yang harus ikut bengak-bengok, teriak-teriak dengan menarik urat leher seolah ia sedang dalam ancaman serius.

Saya yakin selama musuh-musuhnya terus berisik, itu tanda Jokwi masih aman tentram. Justru, kita harus waspada ketika mereka mulai diam, apalagi ketika musuh-musuhnya mulai melakukan aksi puja-puji. Itu artinya justru kondisi mulai gawat. Kelemahan Jokowi itu sebagaimana orang Jawa asketis umumnya, "ditaling urip, dipangku mati". Intinya jika dimusuhi ia semakin menjadi, tapi dipuja ia terlena. Jadi, biarkan saja ia dihina dina!

Saya selalu setuju, persoalan yang paling mendesak Jokowi saat ini adalah membantunya memilihkan Wakil Presiden yang benar dan tepat. Jangan sampai mengulang kesalahan SBY yang pragmatis!

Kenapa SBY menjadi presiden yang kehilangan peran, sejak ia lengser. Karena ia terlalu terfokus pada partai, keluarga, dan terjebak hanya berterimakaih pada Wapresnya. Wapres yang dianggap tahu ekonomi makro, namun sebenarnya tak lebih kasir untuk partai, keluarga dan mitra koalisi-nya.

[irp posts="14373" name="Apa!? Puan Maharani Mau Dipasangkan sama Jokowi? Becanda Kamu!"]

Cawapres Jokowi saat ini harus punya proyeksi menjadi presiden selanjutnya, yang memberi jaminan Indonesia yang lebih baik. Di sini, terlihat bahwa saat ini Jokowi didekati dan (juga) mendekati tokoh-tokoh muda. Sayang tidak boleh kita punya dua wakil, kalau bisa tentu sangat melegakan!

Dalam konstelasi ini sebenarnya, saya kagum akan kebesaran hati Jokowi menawarkan jabatan Wapres kepada Prabowo. Ia hanya ingin Indonesia bisa bergerak bersama, menuju kemajuan yang hakiki. Tidak membuang energi yang tidak perlu, hanya untuk sekedar saling mempengaruhi tanpa arti.

Sayangnya, yang ditawari syahwat kekuasaan dan ego kelompoknya masih tinggi. Prabowo ini mungkin cocok dengan sebuah peribahasa Afghan, yang selalu dikutip Jendral Dostun, seorang gerilyawannya yang sekarang bisa mencapai titik tertinggi sebagai Wapres: jika kau pergi meninggalkan gelanggang kau akan selamanya dianggap pengecut, tetapi bila tetap tinggal selamanya hanya musuh yang melulu kalah.

Itulah takdir lawan-lawan Jokowi saat ini. Siapa pun juga, mereka yang gegap gempita hanya untuk sekedar memproklamirkan diri sebagai tukang ejek yang sebenarnya figur-figur reject!

Lalu kenapa selalu gelisah, ngamukan dan marah-marah?

Sekali lagi, mari bantu Jokowi mencari bayang-bayangnya. Tidak usah sama persis, tapi bisa memberi harapan dan optimisme.

Ada kok stocknya....

***

Editor: Pepih Nugraha