Akrobat Maut Rocky, Amien dan Cak Imin

Jumat, 20 April 2018 | 16:22 WIB
0
810
Akrobat Maut Rocky, Amien dan Cak Imin

Dua tokoh berbeda usia yang satu seharusnya sudah menjadi Guru Bangsa, satunya lagi masih ngebet pengen jadi RI dua. Dua-duanya tokoh politik yang tak bisa lepas dari partai yang lahir dari rahim dua organisasi besar, satunya Muhammadiyah satunya lagi NU.

Di dunia yang tak kasat mata ini, melihat informasi bagaikan sekelebat petir begitu cepat, tanpa berangsur-angsur seperti wahyu yang diterima Muhammad. Zaman dahulu kita ingin mengetahui informasi lewat televisi pun susah harus memutar balik arah antena belakang rumah. Namun, hari ini informasi ada di genggaman tangan masing-masing dari kita.

Banyak sekali forum virtual di media-media sosial seperti Facebook, WhatsApp Group, Telegram, dan sebagainya. Media virtual ini bermanfaat untuk melihat, mengetahui dan menyadari bagaimana sebagian opini publik dan impuls-impulsnya yang berkembang.

Media sosial dimainkan semaksimal mungkin dengan jasa buzzer bayaran para politisi. Ya, memang demokrasi itu kontestasi, tak peduli dulu Obama bisa menang karena dibantu efektivitas informasi yang disebarkan via Facebook ke sekitar lima juta buzzernya.

Pemilu ini seperti lotre atau kasino, di mana setiap orang yang sengaja atau tidak sengaja masuk dalam perangkapnya, tergiur dan terjebak mengikuti permainannya. Berbekal "Hasrat" yang sebenarnya ia tahu itu ilusif, hanya ilusi.

Itulah fenomena saat ini, berbagai figur yang merasa dirinya tokoh, entah dengan wangsit atau dasar keberanian dari mana, mencatatkan dirinya sebagai calon presiden atau wakil presiden. Bukan hanya politikus tangguh, karbitan, mentah, dan murahan, tapi juga pedagang/pengusaha, praktisi hukum, pekerja sosial, aktor, pengangguran, hingga dia yang mengaku Kafir, Imam Besar, dan Panglima Santri.

Dan apa yang mereka lakukan dengan kelakuan seperti itu? Tipikal. Bahkan sangat sederhana. Menjual kebolehan dirinya, seperti menjual sepatu obral di pinggir jalan. Memamerkan kelebihan, jasa, atau pahala sosial yang katanya mereka miliki itu. Dan kita tahu, tidak lebih semuanya itu adalah sepatu obralan yang dijual konvensional atau lewat media online. Penggelembungan citra, untuk menggelembungkan nilai, lalu harga pada akhirnya. Syukur kalau ada yang beli, kalau tertipu? Entah itu dikirim struk palsu (dikasih PHP), atau dicuri pakai tangan orang.

Sosok Pak Tua berambut putih, dikenal Bapak Reformasi itu sangat bebal dan ngeyel, istilah halusnya "kekeh", ingin sekali menumbangkan Jokowi. Saya kira, kalau sudah tua hasrat politiknya sudah hilang, ternyata makin tua makin keladi. Hasratnya menggulingkan rezim, menyimpulkan dikotomi istilah partai yaitu partai Allah dan partai Setan.

Pria lulusan Chicago itu mengatakan, "Sekarang ini kita harus menggerakkan seluruh kekuatan bangsa ini untuk bergabung dan kekuatan dengan sebuah partai. Bukan hanya PAN, PKS, Gerindra, tapi kelompok yang membela agama Allah, yaitu hizbullah. Untuk melawan siapa? untuk melawan hizbusy syaithan."

Dua istilah yang dilontarkan yaitu Hizbullah (Partai Allah, dalam tafsiran Amien Rais) dan Hizbusy Syaithan (Partai Setan). Sebelumnya ia mengatakan;  "Bukan hanya PKS, PAN, Gerindra". Selain partai tiga itu yang berkoalisi di gerakan populisme Islam 212 adalah PBB -jika partai- adapun selain partai ada ormas HTI, FPI, FUI, dan banyak lagi sampalannya. Semua nathiq (orang yang berfikir) sudah tahu arahnya kemana, yang dikatakan memperjuangkan Islam hanya yang terlibat dalam koalisi permanen itu, bisa saja nanti juga pecah.

Kalimat mantan Ketum Muhammadiyah itu, mengingatkan kita terhadap warisan guru-guru kita di pondok pesantren. Yaitu tentang nalar manthiqiyah yang dikaji di Ushul Fiqh, santri mengenal istilah ini dengan Mafhum dan Manthuq. Dalam kasus Amien Rais, kita dihadapkan dengan dua istilah Mafhum, yaitu Mafhum Muafaqah (argumen a portiori: dalam bahasa Hukum), dan Mafhum Muafaqah (argumen a contrario).

Jika argumen Amien Rais itu mengatakan "partai yang mau berjuang di jalan Allah bukan hanya PKS, PAN, dan Gerindra" berarti argumen a portiorinya adalah koalisi 212, namun argumen a contrarionya adalah beberapa partai dan orang-orang yang menolak terhadap aksi massa kala itu. Logikanya simpel kok! Karena, istilah Hizb ini bisa diartikan tentara, partai, golongan, intinya yang bersifat komunal. Jadi Mafhum Mukhalafah-nya  selain PKS, PAN, Gerindra, dan Hizb "golongan" dalam terma Amien Rais itu adalah partai setan dan golongan setan.

 

Kasus ini mirip akrobat Rocky Gerung yang telah mencederai filsafat, Rocky mengatakan "Kitab Suci itu Fiksi" tanpa menyebutkan Kitab Suci yang mana? Qur'an kah, Injil kah, Weda kah, Tripitaka kah. Dibantah Akbar Faisal, jawabannya mengelak.

Pada titik kesimpulan, Rocky memukul rata seluruh Kitab Suci itu Fiksi. Dalam Manthiq (ilmu logika), ada istilah tashawwur kulli (concept general,pikiran atau gambaran umum), Rocky menggunakan logika ini, hingga pada nyatanya fiksi dan fiktif itu perbedaannya hanya kata sifat dan benda.

Rocky tidak mau menjelaskan tashawwur juz'i (concept parsial) yang dimaksudnya depan publik. Politisi memang pandai berakrobat, muncul keresahan publik akibat cuitan kontroversial yang kurang elegan dari para tokohnya. Negara ini ibarat pasar Tanah Abang, ada yang kesenggol dikit pas belanja langsung dipelototi.

[caption id="attachment_14503" align="alignleft" width="522"] Rocky Gerung dan Amien Rais (Foto: tribunnews.com)[/caption]

Akrobat Amien dan Rocky, tak lebih hebat dari akrobat dan manuver satu-satunya cawapres dari PKB. Balihonya tertempel di mana-mana dari pulai pojok Merauke hingga pojok Sabang terpapar dengan jelas poto tokoh yang mukanya baby face itu, Muhaimin Iskandar. Gambarnya sudah mirip iklan buka lapak yang tersistem di setiap blogger yang sudah terdaftar di google adsense.

Bintang Panglima Tani dan Panglima Santri pun diraihnya, untuk mem-blow up namanya di sudut-sudut kampung di seluruh Nusantara, bukan hanya itu, dari mulai shalawat nariyah hingga dzikir anti narkoba dilaksanakan secara seremonial, meskipun entah dari mana itu rumusnya shalawat nariyah 1 Milyar. Yang tau boleh komentar di tulisan ini. Hehe.

Ia dikenal dengan nama akrab Cak Imin --bukan saudaranya Cak Tarno penjual buku sebelah FIB UI, bukan saudaranya Cak Toha yang punya soto Lamongan dengan puluhan cabang, bukan juga saudara Cak Lontong komedian terkenal itu.

Cak Imin akan jadi bulan-bulanan, mungkin tahun-tahunan jika Jokowi tak mengambil dia jadi wapres di 2019. Oleh karena banyak statemen Cak Imin yang sangat menggelikan bentuknya intimidasi tapi lucu gimana gitu. Loh kok intimidasi? Ini sudah ramai loh di media, seakan-akan kalau Jokowi nggak memilih Muhaimin jadi cawapres, Jokowi akan kalah. Akrobat yang gak tanggung-tanggung. Keren!

Tapi, saya berpikir ulang. Kayaknya kids zaman now itu dan masyarakat era media sosial ini senang model pemimpin yang "story telling" bukan yang tiba-tiba  ngiklan di baliho. Tapi, eh tapi, bagus juga sih minimal banyak orang yang penasaran, apalagi bule, seperti joke-joke Cak Lontong itu loh, Who is MuhaiminMuhaimin Is Kandar. Namun, gimana kalau bulenya itu shareching di google, Who is Muhaimin (dalam kolom google), eh yang muncul kardus duren.  Bulenya nanya lagi, Who is Kardus Duren?. Dijawab, Kardus Duren is Sudurisme (Suka durianisme). Bule itu geleng-geleng juga, nggak paham.

Amien dan Imin punya hasrat yang sama, hingga muncul akrobat-akrobat yang spontanitas lucu dan menggelikan masyarakat. Dua-duanya pernah ada hubungan mesra dengan Gus Dur, dan pernah juga konflik yang tak berkesudahan. Hehehe... Tinggal siapa saja yang belum kena tulahnya, Amien atau Imin yang belum?

Sudah lah, ini bukan negeri dongeng, bukan juga negeri komedi. Biar Kak Seto saja yang mendongeng, dan Sule saja yang melawak.

***

Rikal Dikri