Rekonsiliasi Kubu Prabowo-Jokowi Sebelum Pilpres 2019, Sebuah Utopia?

Kamis, 19 April 2018 | 13:45 WIB
0
614
Rekonsiliasi Kubu Prabowo-Jokowi Sebelum Pilpres 2019, Sebuah Utopia?

Hampir dipastikan Pilpres 2019 jadi  pertarungan kubu Jokowi dan Prabowo setelah keduanya  resmi menerima mandat partai sebagai Capres. Disisi lain sebagian besar parpol yang memiliki kursi di parlemen sudah menyatakan dukungan resmi dan setengah resmi mengarah "hanya" pada Jokowi dan Prabowo.

Partai PDIP, PKB, Nasdem, Golkar, PPP, dan Hanura serta pendatang baru Perindo dan PSI berada di kubu Jokowi. Sedangkan tiga partai lagi yakni; PKS, Gerindra, PBB dan PAN nampaknya berada di kubu Prabowo. Sementara partai Demokrat belum jelas arah dukungannya.

Dari konstelasi dukungan parpol, sangat kecil kemungkinan munculnya calon lain. Namun hal itu tetap dimungkinkan seandainya di "tengah jalan" sejumlah partai mencabut dukungan, baik dari kubu Jokowi dan Prabowo untuk membentuk koalisi baru pada tokoh selain Jokowi dan Prabowo.

Pertarungan Jokowi vs Prabowo kali ini bagai ulangan Pilpres214, hanya bedanya kali ini Jokowi diposisi sebagai petahana, sedangkan pada Pilpres 2014 lalu  Jokowi dalam posisi sama dengan Prabowo, yakni sama-sama memperebutkan "kursi kosong" (tanpa petahana) setelah masa dua periode kepresidenan SBY selesai.

Pasca Pilpres 2014 konstelasi politik dalam negeri terbelah jadi dua kutub besar, yakni kubu Jokowi dan kubu Prabowo. Munculnya dua kutub itu berdampak negatif pada relasi kehidupan sosial-politik rakyat di tingkat akar rumput. Mereka seolah terus-menerus digiring oleh situasi persaingan politik tingkat elit dua kutub tersebut, yang berujung pada 'perpecahan" rakyat.

Selama rentang waktu pasca Pilpres2014 hingga kini, politik tak pernah sepi berbagai peristiwa politik yang membentuk "status quo perpecahan" pada tingat akar rumput (rakyat). Api perseteruan kedua kubu tak pernah padam. Rakyat "dipaksa" terus menerus berseteru atas nama kubu Jokowi atau kubu Prabowo.

Hampir tak ada ruang dan waktu rakyat untuk "melupakan" perseteruan Pilpres2014 lalu. Ketika suasana mulai sepi isu politik, maka ada saja canon politis ditembakkan para elit politik sehingga suhu perseteruan kembali memanas.

Di sisi lain, sebagian rakyat jadi lelah dan muak dengan beragam manuver elit politik yang seringkali tidak etis dan diluar nalar awam. Para elit politik itu tak bosan-bosannya mengeluarkan canon-sahut menyahut-- antar kubu atas nama 'kritik-klarifikasi-pembelaan-demi kepentingan rakyat dan lain sebagainya. Ujung-ujungnya ribut yang membuat "perpecahan" di ranah kekerabatan akar rumput (rakyat).

Semakin dekat agenda Pilpres 2019 masing-masing kubu makin masif berseteru dan menciptakan suasana tak kondusif. Semakin banyak manuver politis yang kontraproduktif terhadap suasana persaudaraan rakyat dalam menjalani kehidupan sehari-hari, khususnya penyambutan Pilpres2019, yang sejatinya merupakan pesta demokrasi rakyat.

Apakah hal ini akan dipertahankan terus, sementara sejatinya Pemilu (Pilpres2019) merupakan pesta rakyat yang penuh sukacita?

Kursi presiden hanya ada satu. Sementara kekuasaan atau kepemimpinan nasional tak semata tergantung pada kursi  presiden. Sistem politik kita telah membaginya dalam tiga bagian: Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif dalam level yang relatif seimbang.

Selama ini, sistem kekuasaan itu relatif tersebar diduduki semua kubu politik, namun nampaknya kursi presiden jauh lebih bergengsi. Hal tersebut  selama ini jadi anomali, unik dan "lucu" ketika  dalam kesetaraan kekuasaan masih saja berseteru saling "meributkan  kursi dan posisi kawan" tanpa argumentasi konstruktif. Kondisi ini berlarut dan bikin rakyat gerah.

Pertarungan Pilpres 2019 nanti menghasilkan kubu kalah dan kubu pemenang. Bila sebelum Pilpres saja tidak kondusif apakah seterusnya akan menghasilkan suasana kehidupan tidak nyaman bagi kubu si kalah dan si pemenang? Sementara usai Pilpres seluruh energi komponen bangsa sejatinya  digunakan untuk pembangunan, bukan berkelahi.

Ini merupakan hal penting, sangat disayangkan bila  karena pesta rakyat sehari menyebabkan lima tahun dan seterusnya rakyat bermusuhan.

[irp posts="12390" name="Tentang Seorang Pendukung Prabowo Subianto yang Berganti Pilihan"]

Saat ini selagi waktu masih relatif cukup, perlu dipikirkan adanya rekonsiliasi nasional kaum elit politik kedua kubu tersebut. Kebiasaan selama ini, bila mendekati hari H Pemilu seringkali ada 'deklarasi pilpres damai', namun berhubung waktunya singkat, hal tersebut tidak terlalu efektif  merekatkan akar rumput.

Agenda deklarasi pemilu damai seolah hanya agenda basa-basi semata. Dalam kenyataannya, masa kampanye terjadi manuver-manuver politik penumbuh perpecahan rakyat.

Konsep deklarasi damai hendaknya dikembangkan lebih lanjut  dan dilakukan dalam rentang waktu lama agar terbangun suasana damai secara nyata di tingkat akar rumput. Selama waktu tersebut, para elit politik secara verbal dan simbolis harus mampu membangun keakraban, komunikasi, interaksi, dan perilaku positif satu dengan lainnya sehingga menjadi contoh bagi kaum akar rumput (rakyat).

Karena para elit politik  tersebut patron dan tauladan pendukungnya, dan  dari mereka itulah bisa terjadi sebuah gerakan dan suasana positif atau negatif di dalam kehidupan rakyat. Adapun sejumlah pihak yang bisa mendukung secara aktif hal tersebut adalah para intelektual, para tetua/bapak bangsa, budayawan, dan pers.

Para intelektual (pengamat) diharapkan tak melulu bicara prediksi/perhitungan menang-kalah, melainkan melahirkan suatu pemikiran/konsep kebersamaan dalam persaingan sehat bagi kedua kubu peserta Pilpres2019.  Bagaimanapun, peran para pengamat akan didengar rakyat yang setiap hari tak lepas dari media. Di sisi lain, peran pers penting untuk menyampaikannya secara kontinyu.

Bila melihat fenomena perseteruan kaum elit politik selama ini yang 'sulit' menyatu, ide rekonsiliasi nasional bagai sebuah utopia atau kemustahilan. Namun agar kita tak bersikap pesimis dan sinis, maka ada satu hal yang perlu dikedepankan bahwa kultur dasar masyarakat Indonesia adalah kekeluargaan dan musyawarah-mufakat. Orang yang sedang marah sekalipun, kalau secara perlahan dan secara terus menerus  diajak bicara akhirnya mau diajak dialog.

Prinsip dasar ini kiranya berlaku di entitas politik yang selama ini mengutamakan komunikasi---walau yang terjadi mereka lebih banyak melakukan monolog menjatuhkan kubu lain demi kepentingan kubunya sendiri yang kemudian digoreng oleh pers demi kepentingan pemberitaan.

Dalam konteks rekonsiliasi kedua kubu tersebut  harus ada 'kepala tali' yang menjadi pihak penghubung  antar kubu agar tak terjebak monolog. Dari upaya kepala tali tersebut kemudian tercipta ruang komunikasi verbal dan interaksi fisik kedua kubu. Kepala tali itu bisa diemban para budayawan atau para tetua bangsa yang memiliki integritas dan disegani masing-masing kubu.

Tentu semua upaya tersebut bukan hal yang mudah, tapi juga bukan sesuatu yang tidak mungkin. Dulu Indonesia dijajah 350 tahun, dan kalau dipikir sepertinya kita tidak mungkin bisa merdeka, bukan? Wilayah Nusantara memuat banyak pulau, terdiri dari banyak teritori/kekuasaan kerajaan/kesultanan dan beragam beragam suku bangsa.

Kalau dipikir, tak mungkin akan jadi satu negara bernama Indonesia. Tapi toh jadi juga.

***