Mengapa Jokowi-Cak Imin Disingkat JOIN, bukan KOCAK?

Rabu, 18 April 2018 | 07:53 WIB
0
773
Mengapa Jokowi-Cak Imin Disingkat JOIN, bukan KOCAK?

Cak Imin ngetwit: "Menerima amanah para Kyai dan Ulama se Jawa Tengah untuk mensukseskan JOIN (Jokowi & Cak Imin) 2019." Kenapa "Jokowi & Cak Imin" disingkat "JOIN"? Ya bisa juga sih disingkat "KOCAK". Tapi kan kocak!

Terbaca sebuah status Facebook yang lumayan kocak, menerbitkan senyum dikulum. Meski terkesan main-main, namun sesungguhnya situasi yang digambarkan dalam status pengguna Facebook itu menunjukkan politik kekinian kalau tidak mau dikatakan sebagai politik Indonesia modern jaman now.

Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, Boss Partai Kebangkitan Bangsa yang didirikan Presiden Abdurrahman Wahid yang kini menjabat Wakil Ketua MPR itu memang energik, ulet, penuh ikhtiar dan sampai sekarang belum menyerah. Maksudnya, belum mau menyerah mencapai cita-cita menjadi calon pendamping Joko Widodo sebagai cawapres.

Upaya itu dimulai dengan memasang poster dan baliho besar-besaran segede gaban di setiap sudut kota kecamatan, bahkan sampai ke kampung-kampung dengan menggerakkan mesin partai di pelosok desa. Hal itu dilakukan beberapa bulan lalu sampai berbulan-bulan lamanya, sekadar mengingatkan publik bahwa masih ada Cak Imin dalam belantara politik Indonesia, meski saat itu belum menjadi pejabat negara selepas berhenti sebagai menteri di zaman Susilo Bambang Yudhoyono.

Ketua MPR yang baru diperolehnya dijadikan "jembatan" mengenai kembalinya Cak Imin di lingkup elite politik dalam, yaitu elite pejabat negara. Sesekali "mengancam" -atau tepatnya menggertak- Joko Widodo meski bernada mengingatkan, "Lo rugi kalo ga pilih gua sebagai cawapres!" Kasarnya begitulah.

Itu sebabnya sampai sekarang PKB belum mendeklarasikan dukungannya terhadap Jokowi sebagai Capres 2019. Cak Imin rupanya masih mau bermain layangan alias tarik ulur benang, sedangkan partai-partai sekoalisi sudah berkhidmat untuk mendukung "tukang kayu" bertubuh kerempeng ini. Terkesan lucu jika tiba-tiba Jokowi memilih Cak Imin yang partainya saja belum menyatakan dukungan apapun kepadanya!

Bagi Jokowi, memilih cawapres tidak semudah membalik telapak tangan. Juga tidak mudah mengiyakan atau menolak keinginan Cak Imin. Pertimbangannya tentu saja suasana hati dan perasaan anggota koalisi lainnya seperti Partai Golkar dan Nasdem. Wong dari sisi perolehan kursi Golkar jauh lebih banyak dari PKB-nya Cak Imin. Nasdem bahkan partai pertana yang mendeklarasikan Jokowi sebagai Capres 2019. Apa jadinya kalau tiba-tiba Jokowi menjatuhkan pilihan kepada Cak Imin?

Sebagai "petugas partai", Jokowi pun tidak bisa lepas dari PDIP yang belum tentu mau Cak Imin maju. Bukankah bagi PDIP lebih baik memasangkan Jokowi dengan kader partai banteng moncong putih lainnya seperti Puan atau "cemceman" PDIP semisal Budi Gunawan? Nah, ini barangkali yang tidak pernah dihitung dan diperhitungkan Cak Imin, bahwa Jokowi tidak sendiri.

Ibarat ingin dipinang pemuda orang, belum tentu orangtua dan keluarga dekat si pemuda merestui. Tetapi yang namanya cinta sering menjadi buta; buta terhadap keadaan, juga buta terhadap kenyataan.

Sebenarnya yang "ngebet" kepengen dipinang Jokowi itu tidak hanya Cak Imin. Dikira Airlangga Hartarto, Zulkifli Hasan atau Romahurmuziy tidak ngebet? Sama-sama ngebetlah. Tetapi para politikus itu lebih mahir menyimpan perasaannya. Perasaan mereka itu dipendam saja, meski berakibat ke luar jerawat. Tetapi, Cak Imin lebih impulsif dan meledak-ledak, kadang terkesan grasa-grusu, padahal tenggat waktu janur melengkung masih 10 Agustus 2018 nanti.

Romahurmuziy, boss PPP, juga setali tiga uang dengan Cak Imin dalam "perang" baliho, meski tidak seagresiff Cak Imin. Jika Cak Imin pernah mengkeret sejenak gara-gara KPK bilang mau bekerja sama dengan Jokowi dalam mencarikan cawapres yang bersih dari korupsi, Romy rupanya menggunakan jalan melingkar alih-alih berjalan lurus langsung mengetuk pintu hati Jokowi.

Romy, misalnya, membuat manuver dengan menggerakkan ulama di lingkup PPP mengajukan rekomendasi kepada Jokowi tentang siapa saja yang pantas duduk sebagai cawapresnya. Tentu saja kriteria dan rekomendasi yang diajukan tidak jauh-jauh dari sosok Romy sendiri.

Lucu? Ya bolehlah, tetapi ini 'kan bagian dari usaha Romy, sebagaimana yang dilakukan Cak Imin dengan berbagai cara itu. Bedanya, Romy relatif lebih tahan gertak KPK karena latar belakangnya yang tidak pernah bersinggungan dengan lembaga antirasuah itu.

Meski demikian, toh Cak Imin tetap optimistis akan dipilih Jokowi sebagai cawapresnya, apapun manuver yang dibikin rivalnya seperti Romy ini. Bahkan saat menjawab pertanyaan pers jika kelak Jokowi berpaling muka dan tidak memilihnya, Cak Imin pun menjadab lirih, "Ya, patah hati, masuk kamar, kunci, dan tidur."

Lho kok jadi mirip seorang gadis yang patah hati ditolak pemuda pujaannya dalam sebuah adegan sinetron. Terasa tragis, miris, sedih menyentuh dan mengoyak hati, yang jauh dari suasana kocak.

***