Kisah Konglomerat Tiongkok (3): Gara-gara "Apel Washington"

Rabu, 18 April 2018 | 05:50 WIB
0
632
Kisah Konglomerat Tiongkok (3): Gara-gara "Apel Washington"

Konglomerat yang satu ini mencoba berkelit. Dia tidak mau langsung kooperatif. Tidak mau seperti bos Wanda, Wang Jianglin. Tapi juga tidak mau terang-terangan “mbalelo”. Seperti bos Anbang, Wu Xiaohui.

Cara berkelitnya juga canggih. Jadi warga negara Kanada. Juga pemegang green card penduduk Hongkong. Bahkan dia baru saja diberi paspor negara Antigua dan Bermuda. Paspor diplomatik pula.

Dengan empat senjata itu sebenarnya dia bisa berlindung di balik hukum negara lain. Hukum Kanada maupun hukum Hongkong. Bahkan bisa sembunyi di negara mini itu. Di tengah samudra Atlantik.

Nama kinglomerat ini: Xiao Jianhua. Umur 45 tahun. Kelahiran propinsi Shandong. Pantai timur Tiongkok. Nama grup usahanya: Tomorrow Group. Masuk bursa Shanghai dan Hongkong.

Pendidikannya istimewa: Beijing University. 北京大学. Sering disebut sebagai Harvardnya Tiongkok. Umur 14 tahun Xiao sudah masuk universitas elit itu: ilmu hukum.

Karirnya dimulai dari sales komputer: IBM dan Dell. Lantas gabung Microsoft. Baru mendirikan perusahaan sendiri. Merangkul universitasnya.

Nama perusahaannya pun boleh mencantumkan nama universitas: Tomorrow Beda Technology. ‘Beda’ singkatan Beijing Daxue. Beijing University.

Bisnis Xiao berkembang amat pesat. Merambah perbankan, asuransi, securitas, industri semen, batubara dan apa saja.

Kekhasan uniknya: semua body guardnya wanita. Delapan orang setiap pergantian waktu. Baru dia konglomerat yang lakukan kebiasaan itu. Sejak Kolonel Muamar Qadafi tewas ditembak Amerika di Libya.

Yang juga membuat Xiao sakti adalah rumor yang beredar kuat: adik presiden Xi Jinping ikut dalam grup ini.

Tapi Xi Jinping tidak peduli. Konglomerat ini masuk daftar incar. Xiao termasuk yang harus menyelesaikan kredit besarnya. Di bank pemerintah.

Dia juga dinilai terlalu agresif menanam uang di luar negeri. Dengan mengeruk sumber dana dalam negeri.

Xiao dapat bocoran gawat itu: akan ditangkap. Dia pun kabur ke Hongkong. Tinggal di bagian khusus di hotel Four Seasons yang mewah.

Berlindung di bawah hukum Hongkong: hanya polisi Hongkong yang boleh menangkap orang di Hongkong.

Tapi di malam tahun baru Imlek tahun lalu sejumlah orang mendatangi hotelnya. Semua berpakaian necis. Tak lama kemudian dia meninggalkan hotel itu. Bersama orang-orang tadi. Seperti mau pergi biasa. Entah mau bermalam tahun baru di mana.

Lenyap. Tidak ada yang tahu. Semua keluarganya bingung. Apalagi ratusan perusahaannya. Dicari ke mana-mana tidak ketemu.

Lapor polisi. Tidak ada yang tahu. Kantor perusahaannya hanya mengumumkan ini: tidak diketahui keberadaannya. Media mengendus raibnya bos besar ini. Bursa saham Hongkong geger. New York Times pun ikut memberitakan hilangnya konglomerat besar. Polisi Hongkong bungkam. Tidak tahu apa-apa.

Beberapa bulan kemudian baru jelas: dia ditangkap oleh petugas dari Beijing. Di malam tahun baru Imlek itu. Dibawa ke wilayah Tiongkok. Untuk diusut.

[caption id="attachment_14359" align="alignright" width="532"] Ye Jiangming (Foto: Fortune.com)[/caption]

Yang lebih spektakuler adalah kisah konglomerat lebih muda lagi: Ye Jianming. Umur baru 39 tahun. Kelahiran: Xiamen. Kota yang saya kunjungi pekan lalu. Usahanya di bidang minyak. Merambah ke seantero jagat raya. Nama perusahaannya: China Energy Company.

Untuk melihat betapa besar perusahaan Ye sangat gampang: China Energy Company masuk daftar Fortune 500. Nomor 229. Salah satu perusahaan terbesar di dunia.

Ye lantas membeli perusahaan minyak di Kazakhstan. Di Sinegal. Di Chad. Di Republik Ceko. Di … sebut saja nama negara penghasil minyak.

Yang fenomenal saat membeli perusahaan minyak Rusia. Hampir Rp150 triliun. Bahkan akhirnya Ye berhasil membeli bank di Eropa Timur.

Sejak awal karirnya Ye memang lapang. Umur 22 tahun Ye kenal orang Hongkong. Dipakai. Diminta ikut tender di Xiamen. Untuk membeli aset perusahaan bobrok yang disita dari pengusaha bernama Lai Changxing. Semua orang Xiamen tahu nama Lai satu itu. Dan kenapa asetnya disita.

Lai adalah pengusaha minyak. Importir. Juga distributor BBM. Lebih tepatnya: penyelundup BBM. Kayanya bukan main. Dan betapa royalnya.

Suatu saat di depan umum Lai sesumbar: kalau Dong Wenhua mau buka baju sampai telanjang di depannya diberi hadiah 10 juta yuan. Kalau sekarang setara Rp20 miliar.

Penyanyi terkemuka itu melakukannya. Demi uang. Lalu menghilang dari publik. Tiga tahun kemudian Dong Wenhua baru berani muncul lagi di TV.

Tentu Lai juga punya hobi lain: nyogok. Dia bisa beli apa saja: mobil mewah, rumah mewah, nite club, restoran. Dan yang utama dia banyak membeli aparat. Termasuk pejabat pusat. Dari polisi sampai imigrasi. Yang kira-kira sulit disogok dia jebak. Dia pasang kamera di nite clubnya.

Hampir semua orang tahu siapa Lai. Terutama apa pekerjaannya. Lebih khusus lagi bagaimana dia menyelundup. Tapi orang juga tahu Lai tidak akan bisa ditangkap.

Sampailah akhirnya kejadian ini: Beijing kirim pasukan khusus. Tidak ada yang tahu. Info kedatangan mereka tidak lagi bocor. Tapi Lai bisa lari. Ke Kanada. Oknum imigrasi melancarkan pelariannya. Pembelanya terlalu banyak. Tembak-menembak terjadi. Seperti perang.

Ratusan pejabat polisi dan tentara Xiamen diringkus. Termasuk pejabat Pemda sampai propinsi. Sampai pusat.

Banyak yang merasa kehilangan dengan larinya Lai. Terutama para hostess di niteclub.

Pemerintah Tiongkok terus menekan Kanada. Akhirnya Kanada setuju kirim balik Lai dengan syarat tidak dihukum mati. Lai dihukum seumur hidup.

Ye Jianming, anak muda suruhan pengusaha Hongkong tadi memenangkan tender. Aset Lai yang disita jatuh ke tangan Ye. Ye dapat komisi besar. Dia jadikan modal usaha. Tetap di bidang minyak. Sampai begitu suksesnya. Masuk Fortune 500. Dalam waktu singkat. Tentu dengan dukungan pendanaan dari bank pemerintah.

Masalahnya: kegemarannya menyogok pejabat di luar negeri terbongkar. Oleh hukum Amerika. Mirip dengan terbongkarnya kasus Keppel, raksasa BUMN-nya Singapura. Yang menyogok pejabat tinggi di Brazil. Ketahuan hukum Amerika. Karena aliran uangnya pakai “apel Washinton”.

Kini Ye menempuh jalan yang dirintis Wang Jianglin dari Grup Wanda: kooperatif. Jual, jual, jual. Asetnya banyak dilepas. Untuk menyelesaikan kredit banknya.

Ye, seperti juga Wang, tidak sekaya tahun lalu. Tapi masih kaya raya. Sikap kooperatif adalah senjatanya.

Perusahaannya memang sudah diambil alih pemerintah tapi Ye kelihatannya akan selamat. Selamat?

Entahlah.

Konglomerat Tiongkok kini banyak menyimak empat temannya itu: Wu Jianghui dari grup Anbang, Wang Jianlin dari grup Wanda, Xiao Jianhua dari grup Tomorrow dan Ye Jianming dari grup China Energy.

Semua pesta memiliki batas masa kemeriahannya.

(Habis)

***

Tulisan sebelumnya:

http://pepnews.com/2018/04/17/kisah-konglomerat-tiongkok-2-lain-bos-anbang-lain-pak-wang/