Cowok Brengsek Itu Bernama Mahbub Djunaidi

Selasa, 17 April 2018 | 19:34 WIB
0
913
Cowok Brengsek Itu Bernama Mahbub Djunaidi

Saya dan Mahbub adalah sama-sama kader PMII yang pernah di HMI. Ya, Mahbub dulu HMI masuk dalam kepengurusan PB HMI di masa Ismail Hasan Matareum. Namun pada saat NU harus mengambil keputusan demi melestarikan tradisi Islam kultural dan intelektual NU, ia harus membentuk sebuah organisasi kemahasiswaan yang khusus menaungi mahasiswa NU lahirlah PMII 17 April  1960, dan Mahbub terpilih ketua umum tiga priode.

Konon Mahbub itu cowok brengsek, sering melanggar aturan di pondok pesantren. Cowok brengsek itu bukan hanya ada dalam kamus gombal si Wira Nagara (Stand Up Comedy Kompas TV), kata Wira; "Cowok brengsek itu bagaikan pohon pisang, berjantung tapi gak punya hati". Bukan.

Brengseknya Mahbub, harus menanggung malu ayahnya karena Mahbub bukanlah santri yang berhasil, bahkan ayahnya yang juga seorang kiai sempat dibuat malu oleh hal ini. Sebagai hukumannya kala itu Mahbub diwajibkan menghafal Barzanji di luar kepala (Emmy Kuswandari, 2008).

Brengsek gak? Ya, hampir mirip saya dulu ngaji di Darussunnah Ciputat, Hahaha..... tak kuat menahan kantuk di kelas halaqah Hadits al-Nasa'i, saya tertidur, dan akhirnya dihukum oleh Ustadz suruh berdiri dan menghafal hadits al-Arba'in al-Nawawi sebanyak 40 Hadits, semua yang tercatat di kitab itu.

Brengseknya Mahbub, sudah jadi santri gagal malah jadi mahasiswa gagal. Sebagai aktor mahasiswa Mahbub tidak mempunyai catatan baik di perkuliahan, ia hanya sampai tingkat dua atau semester tiga di Fakultas Hukum UI, sama halnya saya hanya sampai tingkat dua di Darussunnah International Institute for Hadith Science, Ciputat. Tapi, saya masih punya harapan untuk lulus di FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hehehe...

Semua kebrengsekan Mahbub itu, untungnya tertutupi oleh kehebatan Mahbub sebagai sosok aktivis.

Mahbub dikenal sebagai wartawan, aktivis,  kolomnis, dan jurnalis, meskipun rambutnya ikal tak klimis seperti aktivis zaman now ini.

Goenawan Mohamad menulis sebuah pengantar di buku "Kolom demi Kolom; Humor-humor bernas Sang Maestro", Goenawan menyatakan kekagumannya terhadap Mahbub. Ia mengatakan; "Saya punya kecemburuan pada Mahbub. Bagaimana dia bisa menulis hingga orang tertawa, padahal isinya; cukup serius?"

Sekelas Goenawan Mohamad saja cemburu, apalagi kita sebagai kader PMII zaman now yang hanya mengenal Mahbub lewat karya-karyanya saja.

Saya belum bisa menulis seperti Mahbub, jadi saya masih cowok paling brengsek dari pada Mahbub. Kecemburuan saya terhadap Mahbub, kenapa dia yang ditakdirkan jadi penulis yang hebat. Hahaha.

[caption id="attachment_14324" align="alignleft" width="443"] Sketsa Mahbub[/caption]

Mahbub si Pendekar Pena juga seorang sastrawan. Orang NU itu sangat terkenal dengan naskah turats dengan tumpukan karya sastra berbentuk Syair Arab, seperti Mahbub menghafal al-Barjanzi, begitu juga kita harus hafal syair itu seperti menghafal syair Burdah, dan lain sebagainya.

Memang Mahbub pernah menerbitkan novel berjudul Dari Hari ke Hari, serta Maka Lakulah Sebuah Hotel yang dituliis dalam penjara, bersamaan dengan terjemahannya atas Road to Ramadhan karya Haikal. Konon Mahbub mengidolai penulis-penulis realis seperti Anton Chekov, Nikolai Gogol, Buya Hamka dan Pramudya Ananta Toer (Tempo, 2008). Karya terjemahannya yang lain dan sempat mendapat sukses besar berjudul 100 Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah.

Mahbub meninggal dunia pada 1 Oktober 1995. Jasanya dan karyanya masih bisa dinikmati oleh kita, gagasannya yang cemerlang masih relevan dengan konteks kekinian. Karena yang paling penting itu bukan infrastruktur dzahir (fisik), tapi yang paling penting adalah infrastruktur akal dan pikiran. Mahbub telah berhasil membangun infrastruktur pemikiran kader-kader PMII.

Andaikan saja saya bisa berkomunikasi dengan Mahbub, saya akan bilang;"Bung! Setelah hari wafatmu tanggal 1 Oktober 1995, pada akhir bulan itu juga, 29 Oktober 1995 telah lahir cowok paling brengsek (aku), setelah wafatnya cowok brengsek. Hahaha."

Terimakasih Bung!

***

Ciputat, 16 April 2018.

Rikal Dikri Muthahhari