Memahami Amien Rais Melalui Dikotomi Partai Tuhan dan Partai Setannya

Minggu, 15 April 2018 | 13:25 WIB
0
686
Memahami Amien Rais Melalui Dikotomi Partai Tuhan dan Partai Setannya

Ada hal yang menarik sebenarnya ketika seorang politisi senior PAN, Amien Rais melontarkan sebuah pernyataan yang menyebut adanya kelompok yang bersekutu dalam sesuatu yang disebutnya menjadi kelompok "partai Allah" dan "partai setan". Pernyataan ini diungkapkannya  dalam kegiatan tausiyah selepas salat subuh di Masjid Baiturrahim, Jakarta.

Bagi saya, tidak ada yang aneh dalam pernyataan ini, kecuali para politisi baperan yang kemudian merasa bahwa partai setan yang dimaksud oleh Amien Rais menunjuk pada partai atau afiliasi politiknya. Tidak berlebihan jika Amien Rais sebenarnya sedang memainkan sebuah retorika politik, target utamanya tentu saja penerima informasi jamaah masjid yang memiliki kesamaan, bukan ditujukan kepada pihak lain.

Dalam kajian komunikasi, ada sebuah bentuk komunikasi yang "berempati" dibangun atas dasar kesamaan atau homofili sehingga informasi yang disampaikan jelas mudah diterima karena penerima informasi memiliki kesamaan, baik dalam hal ideologi politik, agama, atau pandangan politiknya.

Yang mengherankan justru muncul sikap reaktif dari banyak politisi baperan yang menganggap pernyataan Amien Rais ini menuding kelompok politik diluar afiliasi atau kelompok politiknya sebagai "partai setan". Lho kok bisa? Ya bisa, jika retorika politik seperti ini yang semestinya dianggap biasa kemudian ditanggapi secara berlebihan oleh pihak lawan politik.

Saya memahami alur pemikiran Amien yang mengeksplorasi makna "hizbullah" (partai Allah) yang dipertentangkan secara diametral dengan "hizbussyaithan" (partai setan). Saya tidak menganggap bahwa kata "hizbun" berkonotasi monolitik atau tunggal: hanya berarti "partai" terlebih "partai politik".

Kata "hizbun" dalam bahasa Arab tentu saja memiliki konotasi pada banyak makna (musytarak), bisa berarti "masalah yang bertumpuk", "persekutuan atau kekuatan kelompok", "golongan", atau bisa juga "sesuatu yang sangat diharapkan dari doa". Saya tak melihat bahwa suatu persekutuan politik kemudian masuk dalam kategori partai Allah atau parta setan, karena hal itu tentu saja sangat jauh panggang daripada api.

[irp posts="13365" name="Bantahan Bank Dunia dan Kritik Amien dan Hanafi Rais"]

Bahkan kata "hizbun" malah berkonotasi negatif yang merujuk pada kelompok fanatisme agama yang bangga dengan klaim kebenaran mereka sendiri.

Hal ini sebagaimana disebut dalam Al-Quran, surat Al-Mu'minun: 53: "Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan (hizbun) merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing)".

Jadi, saya kira, mungkin saja Amien Rais sedang mengingatkan para jamaah salat subuh agar mereka tidak menjadi para pengikut setan, yang senantiasa memiliki kecenderungan hawa nafsu, tetapi mengikuti para pengikut Allah, yang dalam banyak hal cenderung beruntung karena meninggalkan atau berhasil menekan nafsu atau syahwat keduaniawian mereka.

Lagi pula, soal partai Allah (hizbullah) yang dimaksud Amien dalam pernyataannya, "Bukan hanya PAN, PKS, Gerindra, tapi kelompok yang membela agama Allah, yaitu hizbullah. Untuk melawan siapa? untuk melawan hizbusy syaithan," (Detik.com, 13 April 2018), tidak berarti kemudian bahwa kelompok-kelompok yang disebut adalah pengikut Allah, apalagi diawali dengan kalimat "bukan hanya" ini berarti menunjukkan masih banyak yang lain. Bisa saja Golkar, PDIP, Nasdem, PPP, atau kelompok-kelompok yang lain.

Yang jadi persoalan karena para politisi baperan yang seolah-olah ungkapan Amien Rais salah, menohok pihak mereka, padahal sedikitpun tidak.

Saya mencoba memahami apa yang dimaksud Amien, ketika menyebut soal partai Allah ini yang disebut secara gamblang sebagai "hizbullah". Mungkin Amien sedang mencoba menerawang dan mengkait-kaitkan kondisi politik kekinian yang memang baperan dengan sebuah ayat Al-Quran, surat Al-Maidah ayat 56: "Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (hizba) Allah itulah yang pasti menang".

Konteks ayat ini tentu saja terkait dengan banyak hal, bukan semata-mata urusan politik-kekuasaan. Bahkan, kemenangan yang dimaksud bukanlah kemenangan dalam memperoleh kekuasaan atau jabatan politik, terlebih dikaitkan dengan perhelatan pilpres yang semakin dekat.

Saya bahkan menganggap, ini adalah upaya media yang mencoba membesar-besarkan ungkapan Amien Rais di masjid yang dihubungkan dengan kenyataan politik. Apalagi Amien Rais distigmatisasi sebagai lawan politik pendukung capres Joko Widodo yang selalu mengumbar syahwat kritisnya dan membuat suasan kegaduhan.

Lalu, kenapa seorang Amien Rais sedemikian ditunggu-tunggu oleh media hingga dirinya berceramah di masjid lalu dibesar-besarkan?

Saya kira, sebagai politisi senior, gerak dan arah kepolitikan yang dibawa oleh Amien Rais tetap selalu diperhitungkan lawan-lawan politiknya. Dalam hal ini, Amien sukses mempermainkan emosi para lawan politiknya bertekuk lutut oleh pernyataan-pernyataannya yang "kontroversial" ditanggapi secara berlebihan dan baper.

[irp posts="13649" name="Sepahit Apapun Kritik Amien Rais, itulah Obat Agar Indonesia Makin Sehat"]

Saya pun mengagumi cara dan taktik dirinya dalam mengolah dan mengelola retorika politik, bahkan sampai-sampai, Amien Rais lebih penting dari PAN, lebih hebat dari Rizieq Sihab dan lebih berpengaruh ketimbang gerakan 212. Nama Amien Rais tetap melambung di jalur politik, tetap menjadi politisi "oposan" yang sudah digelutinya sejak dirinya frontal terhadap kekuatan politik Orde Baru, bahkan sukses menumbangkannya di tengah jalan.

Saya kira, semakin banyak saja politisi baperan belakangan ini, bahkan para dai, orang-orang yang mengaku dirinya suci, bahkan akademisi yang seharusnya justru menyikapi banyak hal secara netral. Dalam hal ini, Amien Rais juga terjangkit virus baper, karena sesuatu yang belum jelas sudah dikomentari.

***

Editor: Pepih Nugraha