Tren Baru Politik; Cari Kesalahan Lawan dan Goreng Isu SARA

Sabtu, 14 April 2018 | 08:10 WIB
0
1212
Tren Baru Politik; Cari Kesalahan Lawan dan Goreng Isu SARA

Indonesia adalah negara yang dikaruniai oleh Tuhan dengan beragam etnik atau suku, beragam bahasa daerah dan budaya, serta beragam agama atau keyakinan dan aliran. Keberagaman ini tentu bisa menjadi suatu kekuatan yang positif dan menjadi bangsa atau negara yang kuat, di tengah-tengah multietnis atau suku dan agama atau keyakinan. Kehidupan pun rukun antarmasyarakat sekalipun banyak perbedaan.

Akan tetapi, segala perbedaan ini juga bisa menjadi ancaman yang negatif kalau tidak bisa mengelola keberagaman dan perbedaan dengan baik, bisa menjadi “bom waktu” yang akan bisa meledak kapan saja, apalagi ada sentimen yang sengaja diciptakan untuk membuat suasana semakin panas dan saling mencurigai antarmasyarakat.

Seperti isu-isu SARA yang sengaja diembuskan oleh sekelompok orang untuk menyerang seorang tokoh atau pejabat negara. Contoh, Presiden Joko Widodo yang dituduh keturunan Cina dan PKI, padahal dari warna kulitnya saja orang juga tahu kalau Joko Widodo itu orang Jawa, yang pada umumnya terkenal dengan sebutan “kulit sawo matang.”

Kalau sampai ada keturunan Cina dengan kulit yang gelap itu namanya “hitaci” alias hitam tapi Cina. Dan tuduhan lain seperti Joko Widodo adalah non Muslim. Lha, non Muslim kok bisa jadi imam shalat. Kalau mau dibandingkan dengan Prabowo, misalnya, apa beliau pernah mimpin shalat? Kalau Hary Tanoe sih ya ga perlu mimpin shalat.

Tentu tuduhan-tuduhan semacam itu untuk tujuan politik dan memanaskan atau membenturkan antarmasyarakat.

Ada lagi kasus yang ramai dan demo sampai berjilid-jilid seperti buku saja, yaitu kasus yang dituduhkan kepada mantan gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama yang dituduh menghina kitab suci Alqur’an atau penistaan agama yang berakhir di pengadilan dan sekarang sedang menjalani hukuman.

Awal muasalnya hanya dari sebuah pidato dalam kunjungan kerja di Kepulauan Seribu, ternyata ada pihak-pihak yang sengaja mencari-cari kesalahannya untuk menjatuhkan dalam kontestasi pilkada dan mereka menemukan suatu kata-kata yang dianggap menghina kitab suci, dan mereka dengan cepat memviralkannya di media sosial dan mendapat respon yang sangat luar biasa. Padahal pidatonya lumayan panjang, tapi yang disorot atau menjadi perhatian adalah kalimat tertentu saja.

Ternyata ada orang-orang yang dengan sengaja mencari kesalahan seorang tokoh atau pejabat lewat media sosial atau Youtube, setelah itu akan dipelajari dan dianalisa dan kalau menemukan kata-kata yang dianggap bisa diolah dan digoreng mereka akan memviralkan supaya mendapat tanggapan atau respon dari masyarakat atau test pasar.

Seperti pidato Kapolri Tito Karnavian di mana pidatonya kurang lebih ada tiga puluh menit, tetapi dipotong hanya sekian menit saja pas di kata-kata yang dianggap menyudutkan ormas lain, seakan-akan selain Muhamadiyah dan NU ormas lain tidak ada konstribusinya untuk negara ini. Padahal pidato ini sudah lama terjadi yaitu bulan Januari 2017, tetapi baru diviralkan awal tahun 2018. Artinya ada pihak-pihak yang sengaja mencari kesalahan seorang pejabat yang dianggap mengganggu kepentingannya.

Yang baru-baru ini soal puisi Sukmawati yang berjudul “Ibu Indonesia”. Puisi ini juga menjadi heboh luar biasa karena dianggap melecehkan dan diangap membandingkan antara “konde dengan cadar dan "kidung dengan adzan”.

Akibat puisi ini Sukmawati akhirnya meminta maaf kepada umat Islam dan menemui pimpinan MUI Kyai Ma’ruf Amin, tetapi malah Kyai Ma’ruf Amin mendapat hujatan dan kritikan dari kelompok-kelompok yang dulu mendukung Kyai Ma’ruf Amin dalam kasus penistaan yang dilakukan oleh Ahok.

Begitulah dari dampak dari rasa kebencian yang berlebihan. Tidak bisa secara jernih untuk melihat atau menilai sesuatu masalah. Bahkan dampak positif dari puisi Sukmawati ini, banyak bermunculan penyair-penyair dadakan yang membuat puisi dengan tujuan untuk membalas puisi Sukmawati yang dianggap jelek dan melecehkan.

Nah, ada lagi kasus puisi yang diviralkan dengan maksud digoreng untuk kepentingan pilkada, jadi ingin membawa kasus Pilkada DKI ke Pilkada Jawa Tengah dengan sasaran calon gubernur Ganjar Pranowo yang juga sebagai petahana.

Ganjar Pranowo dalam acara KompasTV yang dipandu oleh Rosi: ”Kandidat Bicara”, awal Maret lalu, Ganjar membacakan puisi dengan judul “Kau ini bagaimana atau aku harus bagaimana”. Sudah diberitahukan pengarang puisi tersebut, yaitu Gus Mus, sebelum puisi itu dibacakan. Puisi yang begitu panjang itu rupanya ada orang yang sengaja memilih kalimat dalam puisi itu yang dianggap kontroversi dan memviralkan supaya mendapat tanggapan atau respon dan komentar dari masyarakat.

Orang yang pertama mengunggap lewat akun twitter adalah @Agung Izzulhaq. Lewat akun twitternya @Agung Izzulhaq dengan sengaja menyebarkan editan foto Ganjar Pranowo disertai kutipan puisi yang dibacakan oleh Ganjar Pranowo.

Kau bilang Tuhan sangat dekat, tapi kau memanggilnya dengan pengeras suara setiap saat .(Satu lagi puisi murah nan tidak bermutu! Bukankan adzan panggilan untuk manusia, bukan untuk Tuhan! Ohh Tuhan, banyak sekali makhlukmu yang memilih dungu)”. Begitu tweet dari Agung Izzuhaq.

Tentu tujuan tweet itu biar mendapat tanggapan atau respon dari masyarakat yang dianggap puisi ini juga melecehkan umat Islam. Dan benar, banyak masyarakat dunia maya yang mencaki-maki Ganjar Pranowo dan merespon secara emosional, bahkan ingin diahokkan dan ingin dilaporkan seperti puisi Sukmawati.

[irp posts="13997" name="Puisi Sukmamati yang Memaksa Guntur Tampil, Menjaga Puti?"]

Rupanya mantan pembawa berita kriminal “Patroli” dari TV swasta dan sekarang menjadi pembawa acara “damai Indonesiaku” itu menyadari kesalahanya dan kekeliurannya bahwa puisi yang di bacakan oleh Ganjar Pranowo itu bukan puisi karangan Ganjar Pranowo pribadi, tetapi karangan tokoh terkenal dan juga sebagai ahli dalam bidang agama, yaitu Kyai Mustofa Bisri atau yang lebih dikenal Gus Mus.

Gus Mus adalah seorang Kyai yang lain dari kyai yang lainnya, ia juga seorang penyair atau membuat dan membacakan puisi dan seorang pelukis dan mengikuti dunia maya.

Kembali ke Agung Izzulhaq, menyadari kesalahanya akhirnya lewat akun twitternya ia meminta maaf karena tidak tahu kalau itu puisi dari Gus Mus dan tidak ingin merendahkan ulama. Ia juga meminta maaf kepada Ganjar Pranowo dan mendatangi pimpinan Banser di kantornya untuk meminta maaf atas kesalahannya.

Jelas orang ini, yaitu Agung Izzulhaq, jiper dan ketakutan sendiri karena telah berbuat konyol. Dan dalam kasus ini, masyarakat Jateng ternyata jauh lebih dewasa dan matang dibanding sebagian warga Jakarta yang termakan postingan Buni Yani hehehe... (jangan marah, ya Sis en Bro!).

Ini salah satu contoh bagaimana ada orang yang mempelajari atau mencari-cari kesalahan dalam puisi, padahal kalaimat yang diviralkan itu adanya di tengah-tengah puisi yang relatif panjang itu. Ia pelajari betul puisi yang dibacakan oleh Ganjar Pranowo dan menemukan kalimat yang bisa menjadi bahan untuk diviralkan.

Padahal puisi Gus Mus ini di buat pada tahun 1987 di masa orde baru dan sudah sering dibacakan oleh Gus Mus atau tokoh lain, dan aman-aman saja tidak ada yang protes dengan puisi ini. Tidak ada pula yang mempermasalahkan kalimat dalam puisi ini, menjadi masalah karena yang membacakan adalah tokoh politik yang sedang menjadi calon gubernur.

Hanya karena Ganjar Pranowo adalah calon gubernur Jateng, maka lewat puisi ini, mereka ingin menjadikan puisi ini momen untuk menyerang Ganjar dan mengesankan kalau calon gubernur itu orang yang anti Islam atau tidak pro Islam. Coba kalau yang membacakan puisi ini Prabowo, dijamin dunia tenang dan damai, tak akan dicari-cari kata-kata atau kalimat yang dianggap menghina suku atau agama!

Padahal suasana pilkada Jawa Tengah saat ini adem ayem dan tidak ada gangguan. Dua pasangan calon gubernur sudah sepakat menjaga suasana yang aman dan kondusif. Tetapi ada pihak-pihak orang dari luar Jawa Tengah ingin membuat suasana pilkada Jawa Tengah memanas dan tidak kondusif dan ingin mengambil manfaat untuk kepentingan politik atau kekuasaan. Seperti yang terjadi di DKI Jakarta.

Puisi Gus Mus ini sekalipun di buat pada tahun 1987 masa orde baru, tetapi masih seperti puisi baru yang menggambarkan situasi masyarakat kekinian yang mudah marah dan sensitif, mudah menuduh orang lain sesat dan kafir.

Dalam acara ILC hari Selasa, Rocky gerung mengatakan "kitab suci adalah fiksi", ucapan ini kalau yang mengucapkan adalah tokoh politik yang dianggap berseberangan dengan kelompok yang hobi demo, pasti akan digoreng habis sampai gosong dan dianggap melecehkan kitab suci. Tetapi karena yang mengucapkan adalah pengamat yang berpihak pada kelompoknya, maka ucapan "kitab suci adalah fiksi" tidak menjadi masalah dan tidak laku dijual, bahkan mereka membela mati-matian pendapat Rocky Gerung yang oleh orang Bandung namanya diplesetkan menjadi "Rocky Gering".

Inilah salah satu contoh bahwa mereka memilih dan memilah sasaran yang menjadi target!

Berhentilah untuk mencari-cari masalah atau menggoreng isu-isu tertentu hanya untuk kepentingan politik atau kekuasaan dan membuat suasana semakin panas di masyarakat.

Dalam dunia “saham” memang ada istilah “saham gorengan” di mana saham jenis ini bisa naik secara tiba-tiba karena ada bandar-bandar atau pemodal besar yang sengaja menggorengnya. Dan yang jadi peminatnya biasanya investor kecil dan sering jadi korban kerugian.

Jangan terlalu banyak makan gorengan, ga baik buat ksehatan.

Sehatlah Indonesiaku!

***

Editor: Pepih Nugraha