Pesan Rocky Gerung: Kita Mesti Sinis terhadap Kekuasaan

Sabtu, 14 April 2018 | 20:06 WIB
0
869
Pesan Rocky Gerung: Kita Mesti Sinis terhadap Kekuasaan

Jika jenuh kuliah jurusan ilmu politik di FISIP UNAS, salah satu yang dilakukan menuju ke LIPI. Belajar dari doktor-doktor ilmu politik, seperti Alfian dan Lie Tek Tjeng pada 1986-1991. Di situ kami puas 'digoblok-goblokin' doktor-doktor tersebut.

Selain ke LIPI, kami juga berguru ke Sekolah Ilmu Sosial (SIS) di kawasan Cikini. Tempat berkumpulnya orang-orang sosialis di Indonesia. UNAS pun cenderung ke kiri-kirian. Saat itu kepala SIS, Rocky Gerung. Ideologinya Rocky cenderung 'jalan kiri'.

Dia tahu kami konsentrasi pada ilmu politik. Ilmu politik juga yang digeluti Rocky di FIS UI. Ia juga kuliah ilmu filsafat di kampus yang sama. Entah bagaimana dia bisa menyiasatinya.

Baginya, ilmu politik harus ditambah dengan minimal satu ilmu tambahan lainnya.

Saya pilih ilmu komunikasi, karena ingin jadi jurnalis. Beberapa kali diskusi buku di kampus, kami pun mengundang Rocky dan Ridwan Saidi. Ridwan 'jalan kanan', kuat dalam ilmu budaya politik. Mereka 'orang-orang' aneh yang selalu sinis terhadap kekuasaan.

Dalam beberapa diskusi, Rocky yang 7-8 tahun lebih senior dari saya, memang menunjukkan keangkuhan keilmuannya. Pilihan-pilihan diksinya membuat kami tercengang.

Tercengang, karena kami tak paham tentang ilmu filsafat yang 'digilai'-nya.

Suatu ketika, kami berdiskusi tentang korupsi yang menggerogoti pemerintah Korea Selatan. Ia jauh berpikir ke depan bahwa suatu ketika Presiden Chun Doo Hwan wajib ditangkap. Ternyata kini, hampir semua presiden Korea Selatan dijebloskan ke penjara, karena korupsi.

Selesai diskusi di SIS, saya pernah diberikan hadiah sebuah disertasi S3 tentang korupsi di Korea Selatan dalam bahasa Inggris akademis yang tak mampu saya terjemahkan. Saat itu skripsi S1 saja belum, eh diberikan hadiah disertasi S3. Ya, klenger!

Pesan Rocky satu kalimat: kita mesti sinis terhadap kekuasaan!

[irp posts="7883" name="Rocky Gerung: Ada Infeksi dalam Demokrasi Kita"]

Mungkin cuma itu yang bisa kita berikan untuk negeri ini, walau kita miskin harta. Ilmu kita gunakan untuk mengingatkan pemerintah agar tidak dungu.

Kini, soal pernyataannya, "kitab suci adakah fiksi". Terus terang, saya tak mampu mendebatnya. Sebab, ia pun tak menyebutkan kita suci apa. Ah, mungkin kitab suci perguruan tapak tengkorak naga hitam. Akan terungkap jika orang-orang itu sudah jadi tengkorak.

Walahualam.

***

Editor: Pepih Nugraha